Laris Manis...
Festival musik di Tanah Air makin marak. Penonton tak kunjung surut. Anak-anak muda berduyun-duyun menuju festival dengan pakaian ”necis”, kadang ”minim”, yang pasti wangi. Tiket berjuta-juta rupiah, laris-laris saja.
We The Fest 2019 di Jakarta, 19-21 Juli, penuh sesak. Pada hari pertama, satu jam sebelum festival dimulai, antrean penonton mengular. Festival yang digelar di Jakarta International Expo (JIExpo), Kemayoran, itu padat sejak pukul 17.00 hingga tengah malam.
Di loket, tiket harian dijual mulai dari Rp 680.000 per orang. Tiket very important banana selama tiga hari dijual mulai dari Rp 2,8 juta per orang. Tersedia pula paket menginap tiga hari di hotel tak jauh dari JIExpo dengan harga mulai dari Rp 6,5 juta untuk dua orang.
Pengunjung muda mendominasi. Kerumunan penonton yang bercengkerama atau berlalu lalang, semarak dengan hot pants, tank top, topi beledu, baby doll, baju hawai, bot, dan bandana. Baju-baju dengan mode mutakhir jadi pemandangan umum.
Tahun ini, We The Fest dimeriahkan antara lain oleh Anne-Marie, Travis, Alvvays, Dewa 19 bersama Ari Lasso dan Dul Jaelani, RAN, Sal Priadi, serta The Adams. Total, ada 65 musisi, terdiri dari 24 artis internasional dan 41 artis Indonesia. Rata-rata solois atau grup yang sedang naik daun. We The Fest yang dimotori Ismaya Live itu digelar pertama tahun 2014.
Kevin Wiyarnanda, Public Relations and Media Relations Ismaya Live, tersenyum saat ditanya jumlah penonton We The Fest 2019. ”Masih proses, tetapi ada kenaikan dibandingkan dengan We The Fest tahun lalu yang sekitar 56.000 orang selama tiga hari,” katanya.
Di We The Fest, yang tampil tak hanya artis aneka genre, tetapi juga lintas generasi. Penonton bisa mengeksplorasi ragam lagu yang belum pernah mereka dengar. ”Setiap fans punya idola, We The Fest jadi semacam edukasi agar massa tahu karya musisi lain,” ujar Kevin.
Pada 31 Agustus-1 September lalu, juga ada Hodgepodge Superfest 2019 yang tak kalah menyedot penonton. Festival ini menampilkan The Used dan Prophets of Rage sebagai headliner. Tampil juga penyanyi Betty Who (Australia), Phony Ppl (AS), Superorganism (Inggris), dan The Japanese House (Inggris).
Dari Tanah Air antara lain Danilla, Petra Sihombing, trio GAC, Maliq & D’Essentials, hingga kolaborasi rapper lawas Iwa K dan Sweet Martabak. Ada juga band dan penyanyi ”baru”, seperti Joko in Berlin, Dried Cassava, dan Adrian Khalif.
”Di semua festival yang kami kerjakan, standarnya seperti itu. Ada musisi yang sudah punya nama, juga yang baru. Sekarang festival sangat banyak, kesempatan para musisi untuk menampilkan karya makin besar. Festival memang jadi media bagi mereka berpromosi karya,” ujar Dewi Gontha, Presiden Direktur Java Festival Production, penyelenggara Hodgepodge Superfest.
Hodgepodge artinya campur aduk. Tak heran ada banyak musisi dan band beragam aliran. Termasuk musisi dan band indie yang dinilai punya potensi besar sehingga layak diberi kesempatan tampil bersama musisi atau band-band bereputasi.
Program Team Java Festival Production, Nikita Dompas dan timnya, berjibaku mencari bakat-bakat baru lewat berbagai platform musik digital atau media sosial. Ibaratnya, mencari buah yang sudah matang dan sebentar lagi jatuh dari pohon.
Pengayaan jiwa
Festival-festival lain di Jakarta juga selalu disesaki penonton, seperti Djakarta Warehouse Project, Love Festival Indonesia, Festival Mesin Waktu, Festival 90’s, dan Java Jazz Festival hingga Synchronize. Demamnya menular ke kota lain, seperti Bandung, Bali, dan Yogyakarta.
Walaupun harga tiket mencapai jutaan rupiah, jumlah penonton bisa sampai puluhan ribu. Betapa besar perputaran uang di sebuah festival musik.
Bagi penonton, dibandingkan dengan konser tunggal, festival lebih menyenangkan karena memanggungkan banyak musisi. ”Vibe-nya juga lebih seru. Enggak cuma musik, tetapi juga fashion, sampai makanan,” ujar Dissa (35), seorang ”festival goers”.
Raafi (26), karyawan sebuah bank di Jakarta, datang ke festival, selain mengincar aksi musisi idola, ia juga menonton musisi-musisi dari genre lain. Berbeda dengan Vanya (26), yang memilih datang ke festival ”hanya” untuk menyaksikan penampilan penyanyi atau band kesayangannya. Selebihnya, hanya menghabiskan waktu berkeliling di arena festival dan merasakan pengalaman seperti berkuliner.
Menurut musisi sekaligus pengamat musik Harlan Boer, festival musik di Indonesia sangat banyak karena setiap corak musik punya pasar tersendiri. Festival pun makin beragam.
Harlan yang pernah menjadi manajer Efek Rumah Kaca dan anggota grup musik The Upstairs itu menilai, khalayak Indonesia punya referensi personal soal musik. ”Majemuk. Semua genre musik tumbuh. Begitu juga festival,” katanya.
Festival musik, katanya, juga sudah jadi gaya hidup. Kebutuhan publik bergeser. ”Bukan sekadar materi. Masyarakat menginginkan pengayaan jiwa. Seperti paket perjalanan, sekarang makin laku,” katanya.
Festival digelar di panggung tertutup, lapangan terbuka, hingga alam bebas. Penonton bisa memilih hiburan di beberapa panggung sekaligus. ”Kesuksesan festival enggak bisa dilihat dari jumlah penontonnya. Ada konser yang nonton 100 orang, tetapi belum tentu gagal,” ucap Harlan.
Sejumlah festival memang tak menyasar banyak pengunjung, tetapi menawarkan sensasi berbeda melalui kedekatan musisi dengan penggemarnya. ”Paling penting, experience (pengalaman). Maraknya festival jadi indikasi daya beli masyarakat yang meningkat,” ucapnya.
Datang ke sebuah festival, kini, juga dianggap sebagian masyarakat sebagai prioritas. ”Ada yang nonton semua festival. Banyak juga yang datang ke festival dengan tema tertentu. Ada irisan-irisannya,” paparnya.
Lebih jauh lagi, festival juga menjadi ajang eksistensi. Penonton datang untuk menunjukkan kerupawanan, berikut sepatu, baju, dan arloji mentereng. ”Natural. Di mana ada keramaian, selalu ada segmen seperti itu. Ada fashion yang ingin dipamerkan,” kata Harlan.
Sumber pendapatan
Lepas dari semua itu, konser di panggung festival jadi andalan bagi para musisi karena penjualan cakram kompak sudah tak bisa diharapkan. Musisi kini mengandalkan konser sebagai sumber pendapatan. ”Sudah terjadi lebih dari 10 tahun lalu. Sempat ringtone (nada dering) jadi penghasilan utama, tetapi sudah menurun,” papar Harlan.
Bagi Danilla Riyadi, jadwal manggung di sejumlah festival menambah panjang daftar tampilnya sebagai penyanyi. Jadwalnya padat sejak awal tahun. Ada lebih dari 10 panggung festival, besar dan kecil, yang telah dan akan dia ikuti hingga akhir tahun. Akhir pekan ini Danilla tampil di Soundrenaline di Bali, disusul Synchronize Fest pada 4-6 Oktober 2019.
”Panggung-panggung (festival) itu bisa jadi tempat mempromosikan karya, juga menambah pengalaman dan networking. Bisa kumpul-kumpul dengan sesama musisi. Tahu artis dan musik-musik baru. Seru. Bisa tahu sekarang sedang tren apa. Nah, baru bonusnya, ya (keuntungan), finansial,” ujar Danilla.
Menurut Dadang Pranoto dari Dialog Dini Hari (DDH), festival musik penting karena saat ini band tidak bisa sekadar memainkan musik. Sebuah band harus bertanggung jawab dalam pemasaran ataupun manajerial. ”Festival menjadi wadah untuk saling berbagi informasi, berbagi trik menghadapi musik industri hari ini, termasuk menyebarkan musik kepada audiens,” katanya.
Festival juga ajang promosi. Band baru yang main di festival sebelum band terkenal tentu akan dapat promosi ”gratis”. ”Jadi, festival itu mengikat semua hal. Ya, industri, produksi, kreasi, juga entrepreneurship,” katanya. Bagi DDH, poin paling fundamental adalah menyebarkan karya seluas mungkin.
Di sisi lain, keberadaan festival juga penting karena memengaruhi iklim industri musik. Festival bisa jadi barometer iklim industri musik. ”Festival juga memberi kesempatan kepada musisi menimba ilmu. Menarik lihat orang lain tampil. Ilmu berjalan terus, enggak berhenti. Tinggal gimana caranya kita ambil,” ucap Dadang.
Laris manis....