Letupan Art Jakarta
Penyajian karya seni rupa memiliki tantangan rasa ”de javu” atau ”pernah dilihat” hingga dikhawatirkan menjadi hal yang membosankan. Tak ayal kemudian lahirlah karya-karya seni rupa kontemporer yang mengasah perwujudan ide secara kontekstual dan baru. Ini bisa kita saksikan letupannya di perhelatan Art Jakarta.
Art Jakarta diselenggarakan di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, 30 Agustus hingga 1 September 2019. Dari sekitar 70 galeri yang berpartisipasi, terhitung sedikitnya ada 43 galeri asal luar negeri.
Letupan karya seni rupa kontemporer Art Jakarta ini banyak datang dari galeri luar negeri. Misalnya, instalasi berjudul Unisex Adult Cotton Tee (2019) karya seniman Alex Seton asal Australia yang disajikan di dinding ruang pajang Galeri Sullivan + Strumpf, galeri yang berbasis di kota Sydney dan Singapura.
Selintas karya itu terlihat sebagai sepotong handuk putih bersih yang digulung dan disampirkan di atas kerangka besi. Posisinya cukup menarik perhatian karena diterpa pencahayaan yang sangat terang berwarna putih.
Banyak pengunjung melewati begitu saja instalasi handuk putih bersih itu. Namun, kala itu tiba-tiba petugas galeri, Megan Arlin (Manajer Gallery Sullivan+Strumpf), menghampiri dan menjelaskan, itu bukan terbuat dari kain, melainkan dari batu marmer yang dipahat menyerupai kain handuk putih.
Megan Arlin menguraikan, ada metafora di situ. Sesuatu yang terlihat lunak dan mudah rapuh bisa jadi itu sesuatu yang sesungguhnya keras bukan kepalang.
Megan Arlin menerangkan, metafora berkebalikan dari karya Irfan Hendrian asal Indonesia yang ada di samping karya Alex Seton tersebut. Karya Irfan diberi judul Piles of Bricks on Top of Wooden Slab Supported by Two Bricks (2019).
”Ini seperti instalasi patung yang keras, tetapi sebenarnya terbuat dari kertas yang empuk,” ujar Megan Arlin.
Kontras
Instalasi seni rupa kontemporer ”Balitsa Ehoor” karya seniman Syaiful Aulia Garibaldi asal Jakarta dan kini menetap di Bandung juga memukau. Ia menyajikan 200 batang besi untuk pagar yang sudah ditumbuhi lumut tipis di permukaannya.
Di situ kembali dihadirkan metafora kontras antara keras dan lunak. Lumut yang lunak dalam rentang waktu yang entah berapa lamanya itu diyakini mampu melumat dan melebur besi pagar yang tampak begitu kerasnya.
Instalasi besi pagar ditumbuhi lumut karya Syaiful ini disuguhkan Galeri ROH Projects Jakarta.
Galeri The Columns yang berbasis di kota Seoul, Korea Selatan, menghadirkan rangkaian karya seniman You Ji In asal Korea yang diberi judul ”North” atau Utara. Rangkaian karyanya, seperti potongan cermin kaca yang dipatri, kemudian dipigura dengan berbagai bentuk yang disertai beragam tulisan di atas kaca.
Dari segi teknik pembuatannya, tidak ada yang mengejutkan. Namun, You Ji In menyuguhkan wacana menarik tentang propaganda Korea Utara, seperti terpampang di tulisannya yang menjadi ilusi di atas cermin yang terdistorsi pecah-pecah.
Seniman Mella Jaarsma asal Belanda yang kini menetap di Yogyakarta menyuguhkan karya instalasi sepatu berbentuk perahu. Di situ ada kompas dan mengandung metafora universal yang cukup mendalam.
”Mobilisasi manusia yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain itu tak terhindarkan. Namun, ini seharusnya seperti perahu bahwa mobilisasi manusia membutuhkan kompas sebagai penunjuk arah,” ucap Mella.
Karya Mella ini disuguhkan Galeri Baik + Khneysser yang berbasis di Los Angeles, Amerika Serikat. Kolonialisasi pada masa lampau juga sebagai sejarah mobilisasi manusia yang tidak ingin diulang sebagai sejarah penjajahan.
Masih banyak lagi narasi kemanusiaan lewat karya seni rupa kontemporer yang dihadirkan di Art Jakarta. Para seniman melalui galeri-galeri tersebut menyuguhkan ide kemanusiaan dengan cara baru yang menyegarkan.
Setidaknya, hal itu mampu mengusir perasaan ”de javu”, perasaan yang menganggap karya seni rupa yang ditampilkan pernah dilihat atau dianggap itu-itu saja. Meski hal ini tidak bisa sepenuhnya dihindari, perasaan ”de javu” masih saja menggelayut ketika menyaksikan karya-karya lainnya.
Pusat seni kontemporer
Direktur Art Jakarta Tom Tandio dalam pembukaan acara tersebut mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki jumlah seniman terbesar. Begitu pula, jumlah kolektor seni rupa juga yang terbesar, setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara.
Dalam sambutan pembukaannya pula, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mendorong Art Jakarta dirintis menjadi pusat seni kontemporer, baik dalam skala nasional maupun lingkup regional Asia Tenggara atau lebih luas lagi.
”Art Jakarta mampu menunjukkan ragam karya seni rupa kontemporer yang sangat menarik. Kita bisa merintis ini menjadi pusat seni kontemporer,” kata Hilmar.
Karya seni rupa kontemporer berbeda dengan karya seni rupa modern dan klasik. Rumusan makna yang masih sering diperdebatkan antara lain seni rupa kontemporer diciptakan dengan gagasan yang lebih diutamakan itu terikat dengan kontekstual ruang dan waktu kekinian yang menyelimuti dunia seniman dan audiensnya.
Seorang kolektor karya seni rupa kontemporer asal Jakarta, Wiyu Wahono, mengungkapkan, ide atau gagasan kontekstual itu nomor satu di dalam proses penciptaan karya seni rupa kontemporer. Keindahan atau nilai estetikanya menyusul kemudian.
Nilai keindahan yang ada di belakang nilai gagasan ini kerap membangun benturan. Wujud seni rupa kontemporer yang menjadi tanpa sekat material dan lintas disiplin ilmu kerap menjadi polemik. Karyanya tidak mudah dipahami dan sering dipertanyakan nilai keindahannya.
Meskipun demikian, ada satu kaidah yang mengikat karya seni rupa kontemporer. Di situ haruslah ada gairah moral.
Gairah moral bisa saja tentang kebaikan dalam lingkup hidup manusia dengan lingkungannya. Gairah moral bisa saja dalam gairah penghargaan terhadap keberagaman.
Gairah moral bisa untuk mempertanyakan sebuah kebenaran hakiki dan sebagainya. Mengenai batasan wujud gagasannya, tiada pagar yang membatasinya.