Raung dan Kenangan Seluas Kabut
”Kalian berdua beruntung cuma dijenggong anjing yang lehernya terikat. Tadi, selepas Isya, kuntilanak mengejar rombongan pendaki asal Jakarta,” begitu kata Ibu Sunarya kepada ayahmu ini, Nak.
Napas terengah akibat sangar gonggong anjing, kami redam dengan kopi yang disuguhkan Ibu Sunarya di Pos 1. Ayahmu ini, Nak, sewaktu muda memang pengecut. Suara gonggong anjing pun membuat nyali ayahmu ini menciut.
”Benar kalian tak melihat kuntilanak?” tanya Ibu Sunarya. Kami berdua hanya menggelengkan kepala, Nak. ”Ibu dan Bapak, seumur- umur di sini memang tak pernah melihat kuntilanak,” sambung Ibu Sunarya.
”Aku kangen Ibu di rumah,” kata Nisa; kawan perempuan yang menemani ayah mendaki Gunung Raung bersama kawan-kawan lainnya, Nak. Harusnya, Nisa yang menjadi ibu kandungmu. Tapi, nasib berkata lain. Kau, lahir dari rahim perempuan lain.
”Raung memang luar biasa. Ini puncak pertama saya, Bu,” kata Nisa kepada Ibu Sunarya. ”Kelak saya ingin memberi nama ’Raung’ kepada anak saya,” cerocos Nisa melanjutkan.
Nak, kau memang hanya bisa berkedip sembari merengek saat ayahmu ini bercerita. Tapi ayah yakin, di usiamu yang belum genap sebulan ini, kau bisa menikmati setiap jengkal cerita yang ayah sampaikan.
Wajah Nisa seperti wajahmu, Nak. Kalian sama-sama ayu. Bahkan, bibirmu tak menyerupai bibir ibu kandungmu. Bibirmu lebih menyerupai bibir Nisa. Oh, mungkinkah teori hubungan biologis dikalahkan bayang-bayang kenangan?
Tiap kali ayahmu ini bercinta dengan mendiang ibu kandungmu, ayah selalu membayangkan Nisa. Tiap kali ayah memagut jengkal demi jengkal tubuh ibu kandungmu, ayah merasakan tubuh Nisa. Pun ketika ayah melumat bibir ibu kandungmu, yang ayah rasakan adalah bau napas Nisa.
Nak, kau memang terlahir bukan dari rahim Nisa, tapi ragamu serupa Nisa. Harus ayah akui, ayah merasa berdosa kepada mendiang ibu kandungmu. Ayah menikahinya tanpa cinta. Sebaliknya, mendiang ibu kandungmu sangat mencintai ayah.
Di pesta pernikahan ayah dan mendiang ibu kandungmu, satu hal yang bikin ayah bahagia. Yakni, ketika ayah melihat Nisa datang ke pesta itu, meskipun ia bergandengan tangan dengan tunangannya.
”Sebaiknya kita berteman saja, Mas,” begitu ucap Nisa kepada ayah, berminggu- minggu kemudian setelah kami menaklukkan Puncak Sejati Gunung Raung. ”Aku nyaman berteman denganmu. Sebaiknya kau cari perempuan lain saja,” Nisa menggarami.
Ayah patah hati, Nak. Tapi ayah lega, setidaknya ayah bisa membuang kepengecutan dengan berani menyatakan perasaan kepada Nisa. Di tengah-tengah patah hati, ayah bertemu Dewi, mendiang ibu kandungmu.
Di sinilah letak dosa itu, Nak. Ayah menerima cinta Dewi hanya untuk mengobati patah hati dan mengubur kenangan. Pengembaraan pun ayah lakukan bersama Dewi. Ironisnya, ayah selalu membawa Dewi ke tempat-tempat yang pernah ayah singgahi bersama Nisa. Bahkan, ayah pernah mengajak Dewi ke kaki Gunung Raung di Kalibaru, Banyuwangi, di Pos 1.
”Ini calon istri saya, Bu,” kata ayahmu ini kepada Ibu Sunarya—perawakan Ibu Sunarya masih sama seperti ketika dulu ayah dan Nisa turun gunung. ”Namanya Dewi, Bu,” sambung ayah.
”Oh, ini toh, saya kira sampeyan nikahnya sama Nisa yang dulu,” jawab Ibu Sunarya. Untung di bagian ini, Dewi tidak mendengarnya karena sedang sibuk membalas WhatsApp dari orang rumah. ”Semoga cepat ke pelaminan,” Ibu Sunarya menambahi. ”Amin, Bu,” Dewi membalas ucapan Ibu Sunarya.
”Dewi enggak diajak sekalian ke Puncak Raung?” Ibu Sunarya memecah suasana yang mulai hening kala itu, Nak.
”Tidak, Bu. Cukup di sini saja. Sebab di atas banyak kenangan. Saya ndak pingin memugarnya lagi,” balasku.
”Memangnya kenangan apa, Mas?” Dewi, mendiang ibu kandungmu yang tidak pernah ayah cintai itu, merengek.
”Ah, cuma kenangan tentang tebing yang curam dan kabut saja. Aku kapok mengulanginya lagi. Sebaiknya, kalau naik gunung, cari yang ringan saja. Penanggungan, misalnya. Atau Bromo,” kata ayah sambil memegang tangan Dewi.
Jujur, Nak, setiap ayah memegang tangan ibu kandungmu, kenangan memegang tangan Nisa selalu menggelayut. Dulu, ayahmu ini suka memegang tangan Nisa, entah itu ketika berjalan, nongkrong di kedai, ataupun nonton bioskop.
”Raung memang ganas,” kata Ibu Sunarya. ”Puluhan tahun ibu tinggal di Pos 1, setiap pendaki yang turun gunung selalu sambat tentang medan Raung. Kata mereka, Raung lebih berat ketimbang Semeru atau Rinjani,” cetus Ibu Sunarya melanjutkan.
”Makanya, Bu, saya kapok,” kata ayah sambil terkekeh.
Nak, ayahmu ini memang memadu kasih dengan mendiang ibu kandungmu, tapi ayah tak bisa berpaling dari Nisa. Kencan demi kencan ayah lewati bersama Dewi, tapi ayah serasa menjalani kencan bersama Nisa. Kenangan tentang Nisa tak bisa purba, ia selalu belia dan memerah, seperti usiamu.
”Kau masih berkenan mendengarkan cerita ayah, kan, Nak?”
Ah, kau hanya berkedip dan terus merengek. Tapi tak apalah, ayah akan terus bercerita, mumpung hari masih pagi.
Kegemaran ayah bercerita ini menular dari Nisa. Ia adalah tukang cerita ulung. Bahkan, di sepanjang pendakian ke Gunung Raung, meskipun medan terjal diwarnai tebing curam dan batuan cadas serta kabut yang mahaluas, Nisa selalu menghibur ayah dengan cerita-ceritanya.
”Biar enggak capek, aku bercerita saja, ya, Mas,” kata Nisa sewaktu menuruni tebing curam menuju batas vegetasi. ”Siapa tahu ceritaku ini bisa mengalihkan perhatian terhadap medan pendakian yang ganas,” sambungnya.
Banyak hal yang diceritakan Nisa selama pendakian. Namun, hanya dua hal yang selalu ayah kenang; cerita tentang kucing-kucing kesayangannya dan kegemaran Nisa makan durian. Padahal, dua hal ini; kucing dan durian, adalah sesuatu yang paling ayah benci.
”Oh ya, kamu punya utang, katanya mau beliin aku durian,” kata Nisa di jalan setapak antara Pos 8 dan Pos 7.
Kau tahu, Nak, meskipun ayahmu ini pria pengecut, tapi ayah tak pernah ingkar janji. Sepulangnya dari Raung, berhari-hari kemudian, ayah mengajak Nisa makan durian di pinggiran Kota Malang.
”Aku tahu kau membenci durian, tapi kau harus mencobanya,” kata Nisa. Ia memaksa ayah menelan secuil daging durian di ujung jarinya. Ayah pun manut ketika ia menyuapi.
Kalau bukan karena Nisa, ayah tak mungkin mau menelan durian. Sebagaimana Raung, kalau bukan karena ajakan Nisa, mungkin ayah juga tak ’kan berani mendaki Raung.
”Temani aku ke Raung, ya?” begitu kata Nisa kala nongkrong di kedai kopi nan sunyi. ”Kamu kan belum pernah ke Raung. Berani, enggak?” lanjutnya.
Tiap ajakan Nisa, ayah tak pernah menolaknya. Dengan cara inilah, ayah bisa selalu dekat dengannya. ”Baiklah, aku akan ambil cuti,” balasku, dan Nisa pun riang.
Dari Surabaya menuju Banyuwangi, kami melaju bersama kereta ekonomi, Nak. Sebelum pendakian, kami tidur di rumah penduduk Kalibaru yang kami sebut sebagai basecamp. Di sana, banyak pendaki dari daerah lain yang nantinya akan gabung bersama kami, tentu saja didampingi guide.
Di basecamp inilah, ayah pernah mengajak ibu kandungmu sowan. Tapi, hanya sekadar lewat saja, tak sampai menemui pemilik basecamp. Kau harus tetap terjaga, Nak, cerita ayah belum selesai. Ah, matamu terus berkedip. Bibirmu bergerak, persis bibir Nisa, bibirmu bergerak seakan-akan kau akan mengucapkan sebuah kalimat, Nak.
Dua pekan setelah napak tilas di Kalibaru, ayah dan ibu kandungmu menikah. Di malam pertama, tiba-tiba Dewi, ibu kandungmu itu, bertanya kepada ayah.
”Nanti, anak kita diberi nama siapa?”
”Jika perempuan, beri nama Raung saja. Dipanggil Rara,” jawab ayah kepada Dewi. Dan benar, kau bayi perempuan mungil yang lahir dari rahim Dewi. Nama Raung tersemat dalam jiwa dan ragamu, Nak.
Tapi sayang, kelahiranmu harus dibayar mahal. Ibu kandungmu harus meregang nyawa, Nak. Inilah kali kedua ayah mengalami kehilangan. Yang pertama, tentu saja ayah kehilangan Nisa—ayah gagal mendapatkannya.
Dewi adalah obat penawar patah hati, Nak. Kini, dia telah tiada. Ayah kembali dihantui kenangan tentang Nisa. Namun, apa daya, ayah tetaplah lelaki pengecut. Ayah tak berani menemuinya, meskipun kabarnya Nisa gagal menikah dengan tunangannya yang ia bawa saat menghadiri pesta pernikahan ayah dengan ibu kandungmu.
Bagi ayah, Nisa adalah kabut di Gunung Raung. Kabut yang mengaburkan mata dan melenyapkan keindahan semesta. Kabut yang menemani setiap jengkal perjalanan, mengambang menghindari maut di antara ketinggian dan jurang menganga.
”Kita kurang beruntung, Mas. Kabut pekat menutup keindahan Puncak Raung. Tak ada awan dan langit biru. Kawah juga tak nampak,” kata Nisa begitu tiba di ketinggian 3.344 mdpl, Puncak Sejati, puncak tertinggi Gunung Raung.
”Ah, ini cuma kabut, sebentar datang, sebentar pergi. Beda dengan kenangan,” balasku.
”Maksudnya?”
”Kenangan selalu abadi, kabut tidak,” desisku. ”Tapi, ada satu persamaan antara kabut dan kenangan.”
”Apa itu?”
”Keduanya sama-sama luas, susah menemukan ujungnya,” ucap ayahmu lirih kepada Nisa, sambil tubuh menggigil menahan tusukan dingin.
”Duh, kalimatmu seperti penyair. Aku enggak paham.”
”Aku bukan penyair, aku hanyalah pengecut!”
”Hah? Apa sih?”
”Kenangan juga seperti kuntilanak, selalu bikin takut!”
Eko Darmoko, lahir dan tinggal di Surabaya. Lulusan Sastra Indonesia Unair Surabaya. Penulis buku kumpulan cerpen Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015). Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, dan esai pernah dimuat di Jawa Pos, Radar Surabaya, Radar Malang, Malang Post, dan Surabaya Post. Bermukim di akun Twitter dan Instagram @ekodarmoko
Ong Hari Wahyu, populer di kancah perfilman Indonesia sebagai visual artis dan art director. Salah satu karya visualnya yang diakui banyak kalangan adalah sampul buku Pramoedya Ananta Toer seperti Gadis Pantai, dan tetralogi Pulau Buru. Ong Hari Wahyu semakin mencuat setelah meraih predikat The Best Art Director dalam Festival Film Indonesia untuk film Daun Di Atas Bantal yang dibintangi Christine Hakim dan disutradarai Garin Nugroho (1996).