Raungan Senyap Adania
Adania Shibli termenung lama saat ditanya pengalamannya paling mengerikan sejak dilahirkan di Palestina tahun 1974. Tatapan perempuan itu kosong. ”Enggak. Aku enggak mau bicara soal itu,” jawab Adania akhirnya. Pedih yang ia simpan dalam-dalam dipendam kesunyian.
Gurat-gurat liat kehidupannya terlihat pada wajah novelis itu. Mata Adania sayu dan ia biarkan rambut keritingnya awut-awutan saat menghadiri pembukaan Jakarta International Literary Festival (JILF) di Jakarta, Selasa (20/8/2019). Namun, trauma tak membenamkan gairah hidupnya.
Ia berbincang ramah dengan Pelaksana Tugas Ketua Dewan Kesenian Jakarta Danton Sihombing, Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Sri Hartini, serta Direktur JILF Yusi Avianto Pareanom. Tawa Adania berderai- derai menyimak gurauan Yusi.
”Baru kemarin (Senin) tiba di Jakarta. Sebenarnya, masih sangat capek. Kayaknya, aku juga mulai terserang flu,” ujarnya sambil tetap tersenyum. Adania yang berkomunikasi dengan bahasa Inggris itu bertolak dari Berlin, Jerman. Perlu satu hari untuk sampai ke Jakarta.
Ia diundang menjadi pembicara kunci JILF yang berlangsung hingga 24 Agustus 2019. Adania juga mengisi acara hampir setiap hari sampai JILF usai. Pidato kunci berjudul ”I Am Not To Speak My Language (Saya Tidak Bercakap Bahasa Saya)” ia sampaikan dengan gamblang dan mengalir.
”Jerusalem. Akhir tahun 2000. Aku membawa paket untuk dikirim ke luar negeri,” ujar Adania bagai bertutur dengan novelnya. Di kantor pos, dua gadis cilik memandangi Adania. Ia menatap berlama-lama hingga menangkap ketakutan di mata mereka.
”Saat itu aku sadar. Air mataku berlinang. Sadar bahwa akulah sumber rasa takut yang dirasakan anak-anak itu,” ucap Adania. Kecemasan itu hanya awal. Kemungkinan rasialisme yang dilancarkan pegawai kantor pos menjalari Adania dan warga Palestina lain.
”Aku tak yakin pegawai itu rasialis. Tapi, aku takut paket telantar kalau ia tahu pengirimnya orang Palestina. Kukatupkan rahangku kuat-kuat. Aku diam,” katanya. Kesunyian dari kisah nyata menjadi penganyam alur kisah-kisah Adania yang juga menulis drama, cerita pendek, dan esai naratif itu.
Dalam novel Masaas yang terbit tahun 2001, ia melingkupi tokoh utamanya, gadis kecil tanpa nama dengan atmosfer suram pembantaian Sabra dan Shatila tahun 1982. Kesenyapan ia jadikan salah satu titik berat sebagai judul salah satu bagian Masaas.
Novel itu diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul Touch. Karya debut Adania itu langsung diganjar penghargaan Young Writer’s Award-Palestine dari Yayasan AM Qattan, disusul karya selanjutnya, Kulluna Ba’id bethat al Miqdar aan el-Hub tahun 2003.
Novel kedua Adania dialihbahasakan dalam Inggris menjadi We Are All Equally Far from Love. Berbagai tokoh diceritakan teralienasi dari cinta dan dirinya sendiri. Perempuan yang surat-suratnya tak dibalas pujaan hati, atau karyawati kantor pos penyuplai informasi untuk kolaborator culas.
Drama-drama yang disajikan Adania puitis sekaligus misterius. Pesan yang ia ungkapkan tersirat lewat kalimat, tetapi tersurat dalam benak pembacanya. Babak-babak novelnya simpel dan alami tanpa banyak menyudutkan pihak tertentu secara kentara.
Narasi keterasingan
Namun, Adania dengan cerdik sebenarnya menyisipkan narasi keterasingan warga Palestina. Ia telah merampungkan tiga novel dan dua buku nonfiksi. Di berbagai forum, Adania tak melewatkan kesempatan menyuarakan penindasan di tanah kelahirannya.
Saat mengisi simposium bertema ”Kanon Selatan” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (24/9/2019), Adania menguraikan pencurian buku di Palestina secara sistematis. Ia menyampaikan materinya berjudul ”Absennya Kata-kata” dalam konteks literatur.
”Tak hanya pasokan air diputus dan tanah dicaplok. Perpustakaan pun dijarah. Banyak buku berbahasa Arab langka dan tak dicetak lagi, dirampas,” ucapnya. Setelah Perang Arab- Israel tahun 1948 saja, Perpustakaan Nasional Yahudi menguasai sekitar 30.000 buku milik warga Palestina.
Amanat itu pula yang ia susupkan saat mengajar paruh waktu di Fakultas Filosofi dan Studi Budaya Universitas Birzeit Palestina. ”Setiap musim panas, aku mengajar sejak tahun 2013. Aku sangat bersyukur masih bebas masuk dan keluar Palestina,” ujarnya.
Adania tahu, banyak masyarakat Indonesia bersimpati terhadap perjuangan masyarakat Palestina. Ia sungguh gembira bisa datang ke Nusantara untuk pertama kali. ”Aku merasa terhormat. Kadang-kadang aku berpikir, bisakah kami memberikan dukungan untuk Indonesia,” ucapya.
Empati Adania berakar dari karut-marut masa kanak-kanaknya. Penutur bahasa Jerman, Perancis, dan Korea itu akrab dengan amarah generasinya. ”Aku lahir di Desa Shibli. Namaku Adania, kata dalam bahasa Arab tua artinya perempuan yang menyenangkan. Shibli artinya anak singa,” ucapnya.
Anak-anak muda seusia Adania mengobarkan Intifadah Pertama yang pecah tahun 1987. Adania memilih mengaum dalam senyap. Jerit kemanusiaan yang ia tuangkan dalam tulisan- tulisannya. Walakin, gelombang tragedi tetaplah rentetan teka- teki bagi Adania.
”Dulu, orangtuaku melewati kekacauan yang lebih hebat. Mereka tahu banyak, tetapi justru juga jadi semakin ketakutan bercerita,” ucapnya. Adania mewakili generasi dengan pertanyaan-pertanyaan atas konflik yang tak terjawab. Mereka menjadi kian garang dari pendahulunya.
”Kami tak tahu kenapa diperlakukan seperti itu dan menolaknya. Banyak yang salah, tapi semua tak jelas,” ucap Adania. Ia terisolasi kesepian dan mencari-cari jawaban. Pusaran keheningan mendesak, menemukan katupnya, dan mengalir menjadi aktualisasi diri.
”Aku menyendiri, membaca, dan menulis. Kuubah senyap menjadi kreativitas. Mengembara dalam alam pikiranku,” ujarnya.
Anak humoris
Sejenak, ia tercenung saat ditanya soal polah anak-anak Palestina. Muka Adania berangsur cerah. Matanya berbinar-binar merefleksikan keceriaan yang masih bersemi.
”Kamu tahu, anak-anak Palestina itu menyenangkan, lihai, dan humoris. Aku telah memilih hidup sebagai anak Palestina. Hidup yang tak abai,” ujarnya. Nasib bocah-bocah di tanah perjuangan itu pilu sekaligus istimewa. Cepat atau lambat mereka akan terseret pergerakan dan menjadi kuat.
”Kami tak seperti anak-anak manja di negara Barat. Hanya duduk dan main gim video atau Lego. Kami berimajinasi untuk menciptakan dunia yang indah,” katanya. Adania konsisten menaruh harapan akan kebebasan masyarakat Palestina di masa datang.
”Secara spiritual, aku punya asa. Penindasan menyumbat suara-suara. Mungkin aku dikira mati. Biarkan sebab sebenarnya aku masih menggeliat,” ujarnya.
Adania bertekad tak henti berjuang. Singa kecil itu akan terus meraung untuk menyuarakan ketidakadilan terhadap bangsanya.
Adania Shibli
Lahir: Desa Shibli, Palestina, 1974
Karya-karya, antara lain
- Novel Tafsil Thanawi (diterjemahkan dengan judul Minor Detail) terbit 2017
- Novel Kulluna Ba’id bethat al Miqdar aan el-Hub (diterjemahkan dengan judul We Are All Equally Far from Love) terbit 2003
- Novel Masaas (diterjemahkan dengan judul Touch) terbit tahun 2001
- Sejumlah drama, cerita pendek, esai naratif, dan buku nonfiksi
Penghargaan:
- Young Writer’s Award-Palestine dari Yayasan AM Qattan untuk novel Masaas dan Kulluna Ba’id bethat al Miqdar aan el-Hub
Pekerjaan:
- Pengajar paruh waktu di Fakultas Filosofi dan Studi Budaya Universitas Birzeit Palestina tahun 2013-sekarang
- Pengajar di Universitas Nottingham, Inggris, tahun 2005-2009