Tak Cukup Satu Bingkai
Indonesia sedang direpresentasikan melalui karya seni kontemporer di Canberra. Keragaman Indonesia dipotret dengan seni yang amat kaya kosakata. Karya seni kontemporer adalah refleksi perjalanan personal tiap seniman. Bagaimana Indonesia menjiwai gagasan yang menuntun proses di balik karya itu?
Pameran ”Contemporary Worlds: Indonesia” di Galeri Nasional Australia (National Gallery of Australia/NGA), Canberra, Australia, disebut sebagai pameran terbesar seni kontemporer Indonesia yang pernah diadakan di luar negeri sejauh ini. Pameran di galeri prestisius ini berlangsung pada 21 Juni hingga 27 Oktober 2019.
Sejumlah 24 seniman Indonesia menyuguhkan karya kontemporer seni rupa, media baru, dan performing arts. Karya mereka dikurasi NGA dengan melibatkan sejumlah kurator Indonesia, seperti Alia Swastika, Enin Supriyanto, Agung Hujatnikajennong, dan Grace Samboh.
Karya-karya seni itu berbicara tentang Indonesia, sekaligus responsif dengan isu global. Mulai dari soal seksualitas, peran jender dan keluarga, kepedulian lingkungan, hingga dinamika pasar seni. Ada pula eksplorasi bentuk dan material baru. Karya- karya ini juga menunjukkan keterhubungan antara masa lalu dan representasi kontemporer.
Greg Doyle, peneliti di Universitas Sydney yang melakukan studi tentang seni kontemporer Indonesia, menggarisbawahi arti penting pameran ini. Sebelumnya, karya seni kontemporer Indonesia memang sudah tampil dalam sejumlah perhelatan di Australia, seperti Sydney Biennale dan Asia Pacific Triennial of Contemporary Arts. Beberapa seniman Indonesia juga sudah mencuri perhatian kolektor.
Namun, sebelum pameran di NGA ini, koleksi karya seni rupa Indonesia belum cukup terepresentasikan di galeri- galeri publik Australia. ”Dunia seni Australia lama fokus ke Eropa. Belakangan memang mulai memandang Asia. Tetapi, pada Indonesia, institusi seni Australia lebih tertarik pada seni yang berbasis tradisi,” ujar Doyle.
Menurut Direktur NGA Nick Mitzevich, pameran ini cukup mengagetkan publik Australia yang mengunjunginya, apalagi jika mereka hanya ”kenal” Indonesia sebagai Bali atau sekadar lewat potongan berita media. ”Pameran ini menunjukkan Indonesia adalah kepulauan dengan keragaman luar biasa, sangat hidup, sangat dinamis,” ujar Nick.
Karakter dinamis pada karya seni kontemporer Indonesia bisa jadi terbentuk dari gesekan—atau perpaduan—antara tradisi lama dan street art, antara rekaman masa lalu dan kontemporer, antara jejak rural dan urban. ”Seniman-seniman Indonesia ini tak ragu mencampurkan berbagai elemen itu sehingga tercipta dinamika sangat kuat,” ujar Nick.
Pameran seni kontemporer ini memotret praktik seni di Indonesia pada era pasca-Reformasi. Tiga generasi seniman Indonesia, mulai FX Harsono, Tisna Sanjaya, Melati Suryadarmo, hingga generasi ketiga, seperti Julian Abraham ”Togar” dan Albert Yonathan Setyawan, menghadirkan karya di situ.
Enin Supriyanto dalam catatan kuratorial mengingatkan, cara pandang satu bingkai yang mengutamakan karya-karya terkait realitas sosial-politik Indonesia pasca-Reformasi tidak lagi punya dasar kokoh. Di antara para seniman generasi baru ini, ada pula yang berpandangan bahwa persoalan sosial politik tidak harus tecermin dalam karya atau menjadi motivasi mereka berkarya.
Karya Handiwirman Saputra, misalnya, membuktikan kepiawaian teknik kerajinan, eksplorasi bahan, sekaligus keliaran imajinasi yang mendobrak batas elemen visual. Sementara Tromarama menyuguhkan animasi stop-motion yang mengaburkan batas realitas fisik dan virtual. Karya ini menggoda persepsi dan ekspektasi penikmatnya tentang hidup yang didominasi teknologi digital.
Pesan kuat
Sekali lagi, tak ada satu bingkai yang cukup mewadahi gagasan para seniman kontemporer Indonesia ini. FX Harsono, seniman paling senior di pameran ini, dikenal konsisten menyuarakan nasib kaum marjinal, termasuk trauma historis etnik China-Indonesia selama Orde Baru. Pasca-Reformasi, warga keturunan China di Indonesia mulai menggali lagi tradisi dan identitas.
Hal ini menginspirasi karya ”Gazing on Collective Memory 2016”. Harsono menggunakan rangkaian kayu untuk menopang berbagai memorabilia, termasuk foto, mangkuk porselen, dan buku tua, sebagai representasi memori personal dan kolektif.
Tak sedikit generasi muda di kalangan etnik ini kehilangan referensi, ujar Harsono. Pencarian identitas melalui penggalian tradisi pun berbaur dengan komodifikasi industri. Karya ini jadi pengingat agar kita belajar dari kegagalan masa lalu untuk membangun masyarakat lebih inklusif.
Sementara itu, Tita Salina mengekspor sekitar 400 kilogram sampah plastik Jakarta ke Canberra dalam karya perpaduan instalasi dan gambar bergerak. Karyanya mengangkat isu pencemaran lingkungan.
Adapun Agus Suwage mengajak pengunjung pameran mendekatkan ke telinga-telinga logam keemasan yang ia tanam pada sebidang tembok bata seng. Melalui telinga-telinga itu, bisa didengar bebunyian di kampung tempat tinggal sang seniman, termasuk suara azan yang lirih, lembut, dan menjadi privat. Karya ini ia dinamai ”Tembok Toleransi 2012”.
Karya instalasi jaringan lampu neon yang terkoneksi aplikasi gim interaktif dihadirkan oleh kolaborasi Uji ”Hahan” Handoko Eko Saputro dan Adi ”Uma Gumma” Kusuma. Karya ini dilatari penelitian kreatornya tentang pasar seni, dengan tiga aktor utama: galeri, kolektor, dan seniman.
Dari situ, pengunjung pameran diajak ”bermain” sekaligus merenungkan seperti apa formula sukses di dunia seni. Hasilnya, tak ada resep untuk pasti sukses. Hanya ada relasi yang harus terus dipelihara dan bernilai lebih dari sekadar kontrak di atas kertas.
Ada pula Zico Albaiquni yang hadir dengan lukisan-lukisan dalam palet warna cerah, khas, dan sarat kajian tentang sejarah seni Indonesia. Ia memasukkan elemen berbagai genre dan ikon, antara lain jejak S Sudjojono, Raden Saleh, dan Katharina Grosse. Beragam elemen, rujukan sejarah, dan ikon dia jahit dalam komposisi teatrikal pada lukisan. Itulah cara Zico mengajak penikmat karyanya berproses melalui dialog.
”Kita perlu stop sebentar untuk memperhatikan lebih tentang makna simbolis yang dimunculkan orang. Orang Indonesia sekarang, mungkin karena pengaruh media sosial, jadi terbiasa mendapat jawaban instan. Banyak dialog dan pengetahuan hilang,” ujar Zico.
Kurator senior NGA untuk seni Asia, Carol Cains, menilai karya-karya seni kontemporer Indonesia ini mencerminkan upaya para seniman mendorong batas-batas untuk mengeksplorasi dan memeriksa kembali sejarah, isu-isu politik, dan perkembangan sosial.
Koleksi tetap
Sebagian besar karya seniman Indonesia yang dipamerkan ini dibeli untuk menjadi koleksi tetap NGA. Hal ini sangat berarti, karena dalam 50 tahun terakhir, koleksi karya seni Indonesia di NGA masih didominasi tekstil atau seni warisan tradisi.
Representasi Indonesia yang sebelumnya tak kokoh di kancah seni di Australia juga merefleksikan belum kuatnya pemahaman dalam relasi dua negara bertetangga ini. Duta Besar Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, bahkan menilai masyarakat Australia belum cukup kenal dan memahami Indonesia meskipun sangat familier dengan Bali.
Tak terbantahkan bahwa Indonesia sangat kaya secara kultural. Namun, pameran ini menegaskan, seni sebagai produk budaya tidak selalu harus berakar pada tradisi etnik.
Seni tak pernah sekadar soal estetika, tetapi presentasi gagasan yang membantu kita lebih memahami dunia. Kita tidak perlu selalu setuju dengan gagasan yang disampaikan, tetapi perspektif berbeda yang ditawarkan karya seni tersebut akan selalu memperkaya kita.