JAKARTA, KOMPAS - Setahun setelah euforia Asian Games 2018, dunia olahraga Indonesia masih dihinggapi masalah klasik seperti ketersediaan dana, keterlambatan penyaluran anggaran, dualisme kepengurusan, dan kesulitan mencari bibit atlet berbakat. Pola pembinaan olahraga yang langsung ditangani cabang olahraga dinilai paling tepat saat ini meski diperlukan banyak perbaikan.
Yang kini dibutuhkan adalah komitmen penuh pembina dan pengurus olahraga karena Indonesia telah memiliki banyak ajang untuk membina atlet, mulai dari pekan olahraga pelajar hingga PON, dari sekolah olahraga, PPLP, hingga klub.
”Sistem keolahragaan kita sudah benar. Kita tidak kekurangan wadah untuk membina atlet. Yang kurang hanya komitmen. Kalau semua itu dikelola dengan optimal, kita pasti bisa melahirkan banyak juara dunia di setiap cabang olahraga,” ujar Sekretaris Umum PB PASI Tigor M Tanjung di Jakarta, pekan lalu.
Tigor mengatakan, Indonesia telah memiliki payung hukum berupa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional. Adapun fokus pemerintah lima tahun mendatang di bidang sumber daya manusia bisa menjadi momentum untuk meningkatkan prestasi olahraga.
”Kita akan mulai dari awal lagi jika mengubah sistem yang ada, dan tidak dapat apa-apa,” katanya. Sistem itu akan optimal jika pemerintah dan pengurus cabang olahraga berkomitmen menjalankannya. Tigor menilai komitmen itu masih rendah, misalnya pada poin pelatnas ditanggung negara.
Ketua KONI Marciano Norman di tempat terpisah mengatakan, pola pembinaan atlet yang dilakukan pengurus cabang sudah tepat. Namun, perlu ada regulasi yang lebih jelas dalam mengatur tugas pemangku kebijakan. Pengurus cabang lebih memahami proses perekrutan atlet, tetapi perlu menyediakan kompetisi berkesinambungan. Adapun KONI berperan sebagai pengawas dan mendampingi cabang.
Efektif
Pola pembinaan olahraga yang langsung ditangani cabang dinilai Kementerian Pemuda dan Olahraga cukup efektif meningkatkan prestasi, seperti pada Asian Games 2018. ”Seusai Asian Games, kami mengevaluasi lima poin utama. Poin pertama adalah penyaluran anggaran kepada cabang lebih cepat dan dapat memangkas birokrasi,” kata Sekretaris Kemenpora Gatot S Dewa Broto di Jakarta.
Poin kedua, penyusunan target olahraga yang lebih realistis beserta pelaporannya. Poin ketiga, tersedianya arena olahraga yang lebih baik setelah Asian Games. Pada poin keempat, Kemenpora menyadari masih ada masalah pengucuran anggaran kepada cabang, misalnya akibat dualisme pengurus cabang olahraga. Cabang diminta menunjukkan bukti hukum mengenai susunan pengurus yang sah sebelum pencairan anggaran. Evaluasi terakhir adalah minimnya atlet pelapis.
Dualisme, misalnya, ada di cabang tenis meja. Ketua Umum PP PTMSI Oegroseno mengatakan, hingga kini Kemenpora belum menyalurkan anggaran kepada pelatnas tenis meja karena dualisme kepengurusan antara PP PTMSI yang diketuai Oegroseno dan PB PTMSI dengan ketua Peter Layardi Lay. Hal ini berdampak negatif terhadap pembinaan atlet.
Menurut Oegroseno, PP PTMSI sudah memenangi sengketa dualisme itu di PTUN sejak 2014. ”Kalau pemerintah tidak tegas, masalah ini bisa jadi besar yang menjadi benalu dalam pembinaan olahraga nasional,” ujar Oegroseno.
Sementara itu, pengamat olahraga Fritz E Simanjuntak berpendapat, sistem keolahragaan saat ini belum ideal karena tumpang tindih kebijakan dan terlalu banyak tangan yang mengelola. Dia mengusulkan pembinaan olahraga dikelola satu badan kompeten seperti halnya pembinaan olahraga di Australia.
Pembinaan atlet muda dilakukan cabang terkait, lalu atlet elite dikirim ke pelatnas yang dikelola secara independen dan profesional. (DRI/DNA/PDS)