Media massa konvensional bertarung memperebutkan pendapatan iklan. Pelaku industri dituntut mengembangkan model bisnis sembari meningkatkan mutu konten jurnalistik
Oleh
MEDIANA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Media massa konvensional bertarung memperebutkan pendapatan iklan. Pelaku industri dituntut mengembangkan model bisnis sembari meningkatkan mutu konten jurnalistik.
Perebutan kue iklan di media massa konvensional, yakni televisi, koran, majalah dan tabloid, serta radio, berlangsung di tengah pesatnya pertumbuhan pemasaran digital. Alokasi belanja bergeser. Namun, selain meningkatkan mutu konten, inovasi model bisnis membuka peluang sumber pendapatan baru.
Pendiri dan Chairman MarkPlus Inc Hermawan Kartajaya berpendapat, pesatnya perkembangan teknologi digital tidak mengubah esensi pemasaran. Konsep 4C dan 4P tetap jadi pegangan utama. Konsep 4C terdiri dari nilai konsumen, ongkos, kenyamanan, dan komunikasi, sementara 4P mencakup produk, harga, penempatan, dan promosi.
”Tren digital hanya mengubah medium beriklan. Dasar-dasar pemasaran tetap. Tambahan esensi pemasaran sekarang, pemilik merek harus berani menampilkan keunikan, diferensiasi, dan segmentasi yang jelas,” ujarnya.
Tuntutan itu menyebabkan penyesuaian pengemasan konten iklan. Menurut Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Janoe Arijanto, pemilik merek atau pengiklan akan mendesain dan mendistribusikan konten berdasarkan jenis dan model medium.
Berdasarkan riset Nielsen Indonesia, nilai belanja iklan di seluruh kategori bentuk media massa mencapai Rp 112,86 triliun tahun 2014, lalu naik jadi Rp 118,19 triliun (2015), Rp 136,99 triliun (2016), Rp 148,07 triliun (2017), dan Rp 153,41 triliun (2018). Nielsen mengukur belanja iklan di stasiun televisi, surat kabar, majalah dan tabloid, serta radio nasional berdasarkan gross rate card atau tanpa menghitung diskon, bonus, promo, dan harga paket.
Meski demikian, belanja iklan di penerbit digital tumbuh dan diproyeksi menggeser media konvensional. Hasil survei eMarketer, porsi belanja iklan di penerbit digital diperkirakan mencapai 25,8 persen dari total belanja di Indonesia pada 2023.
Kondisi itu membuat belanja iklan di penerbit digital berada di urutan kedua terbesar setelah televisi, yaitu 58,2 persen, tahun 2023. Kondisi tahun 2019, porsi belanja iklan di televisi diperkirakan 60,4 persen atau di urutan pertama, lalu diikuti penerbit digital (20,4 persen) di urutan kedua dan koran (13,9 persen) di urutan ketiga.
Executive Director Nielsen Media di Indonesia Hellen Katherina mengatakan, persebaran jumlah judul koran atau majalah/tabloid memengaruhi alokasi belanja iklan. Faktor lain yang ikut memengaruhi belanja iklan antara lain kepercayaan pengusaha/pemasang iklan, peluncuran produk baru, kompetisi, dan acara nasional.
Mutu konten
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan menambahkan, data riset belanja iklan Nielsen Indonesia di empat kategori media massa tak mencerminkan kondisi sesungguhnya karena mengandalkan harga kotor. Kenyataan yang dihadapi pelaku industri media massa adalah pesatnya perkembangan digital.
Pola konsumsi informasi warga tak lagi melulu ke media arus utama. Akibatnya, alokasi belanja iklan bergeser ke mesin pencari, media sosial, dan media massa daring. ”Tuntutan ke pelaku industri media cetak, seperti koran, adalah menginovasi model bisnis sembari tetap mempertahankan konten jurnalisme bermutu,” ujarnya.
Tuntutan ke pelaku industri media cetak, seperti koran, adalah menginovasi model bisnis sembari tetap mempertahankan konten jurnalisme bermutu.
Menurut Ketua Bidang Penyiaran Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Hardijanto Suroso, alokasi belanja iklan televisi bergeser ke digital. Persentasenya 5-10 persen. Seperti riset Nielsen, anggaran iklan ke televisi masih tinggi, yakni di atas 60 persen. Namun, perkiraan nilai pendapatan hasil penjualan bersih pemasangan iklan turun, dari 45 persen pada 1999 menjadi 15 persen tahun 2017.
Vice President MNC Group Sukma Archie berpendapat, masyarakat Indonesia tetap menonton televisi, tetapi sambil membuka gawai. Oleh karena itu, durasi rata-rata menonton televisi turun, sementara durasi mengakses gawai bertambah. Pelaku industri penyiaran dituntut mengikuti tipe, format konten, atau saluran distribusi sesuai selera penonton.
Menurut Hermawan, pada akhirnya, konsumen akan tetap menuntut media massa menampilkan keunikan atau sisi diferensiasi.