Suasana Papua dan Papua Barat berangsur kembali normal setelah sempat diwarnai aksi unjuk rasa dan pembakaran sejumlah bangunan dan fasilitas umum.
Sejak pertengahan pekan lalu kehidupan masyarakat dan layanan publik kota-kota di Papua dan Papua Barat kembali berjalan. Kehadiran aparat keamanan mencegah aksi massa melebar.
Meski demikian, akar persoalan Papua dan Papua Barat tetap perlu dipahami untuk mendapat penyelesaian tuntas. Apalagi, ada upaya terus membawa isu Papua dan Papua Barat ke panggung internasional, termasuk melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kita meyakini Papua dan Papua Barat sebagai bagian NKRI sudah final dan telah melalui mekanisme yang diakui masyarakat internasional melalui PBB.
Pemerintah memberi perhatian khusus bagi Papua dengan memberlakukan otonomi khusus melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi dan hak dasar masyarakat Papua.
Presiden Joko Widodo selama hampir lima tahun pertama pemerintahannya telah 12 kali berkunjung, termasuk ke Nduga. Ketertinggalan di dua provinsi itu coba diatasi, antara lain, dengan memprioritaskan pembangunan jalan Trans-Papua, penyediaan bahan bakar minyak satu harga, serta perhatian pada pendidikan dan kesehatan.
Dalam dialog mencari solusi persoalan Papua dan Papua Barat di harian Kompas pekan lalu, tersirat dan tersurat persoalan tidak kunjung selesai karena beberapa hal. Salah satunya, ada perasaan sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap warga Papua dan Papua Barat sebagai liyan.
Rantai kekerasan tidak pernah putus di Papua sejak sebelum Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969. Kekerasan itu menyisakan ingatan getir yang diwariskan turun-temurun. Meskipun juga ada yang memiliki ingatan tentang membaiknya kesejahteraan di dalam bingkai NKRI, sebagian besar warga belum merasakan manfaat pembangunan, terlihat dari rendahnya indeks pembangunan manusia dibandingkan dengan angka rata-rata nasional.
Penyelesaian tuntas masalah Papua membutuhkan pendekatan baru. Menghargai jati diri masyarakat Papua menjadi keharusan. Kekuatan strategis baru, yaitu kelompok orang muda, mahasiswa, perlu diajak berdialog; mereka memiliki pengalaman, pengetahuan, dan cara berkomunikasi berbeda dari tokoh-tokoh adat dan agama.
Ketika pemerintah ingin mengedepankan pendekatan budaya, kekerasan berpuluh tahun harus selesai. Pelaksanaan otsus perlu dievaluasi lagi, terutama untuk memastikan bantuan dana yang diberikan kepada Papua dan Papua Barat benar-benar menyentuh kebutuhan rakyat dalam pendidikan, kesehatan, pangan, dan penciptaan lapangan kerja bagi orang muda. Keseimbangan demografi sudah waktunya diperhatikan agar tidak menjadi bom waktu.