Efisiensi menyasar pos belanja barang, seperti perjalanan dinas, rapat dinas, seminar, dan honor kegiatan. Ketegasan pemerintah dibutuhkan karena hal serupa sudah sering didengungkan, tetapi urung dilaksanakan.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah meningkatkan efisiensi belanja untuk mengantisipasi risiko penerimaan perpajakan yang lesu. Efisiensi menyasar pos belanja barang, seperti perjalanan dinas, rapat dinas, seminar, dan honor kegiatan.
Mengutip data Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan perpajakan per Juli 2019 sebesar Rp 810,7 triliun atau 45,4 persen dari target APBN. Penerimaan perpajakan pada Juli 2019 hanya tumbuh 3,9 persen dibandingkan Juli 2018. Proyeksi penerimaan perpajakan tahun ini Rp 1.643,1 triliun atau 92 persen dari target APBN, yaitu Rp 1.786,4 triliun.
Sementara itu, realisasi belanja pemerintah pusat pada Juli 2019 sebesar Rp 761,5 triliun atau 46,6 persen dari pagu APBN, yaitu Rp 1.634,3 triliun. Belanja negara pada Juli 2019 tumbuh 9,2 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2018. Proyeksi belanja pemerintah pusat sepanjang 2019 sebesar Rp 1.527,2 triliun atau 93,4 persen target APBN.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani mengatakan, belanja barang jadi target utama efisiensi anggaran.
Pos belanja yang akan diperketat adalah anggaran perjalanan dinas, rapat dinas, seminar, dan honor kegiatan. Meski demikian, pengetatan anggaran tetap mempertimbangkan tugas dan fungsi aparatur.
”Penghematan belanja barang ini cukup signifikan. Realisasinya ditekan terus turun hingga mendekati realisasi tahun 2015 sesuai arahan Presiden,” kata Askolani seusai rapat dengan Badan Anggaran DPR, di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Efisiensi akan tecermin dalam penurunan realisasi belanja barang dari Rp 347,2 triliun tahun 2018 menjadi Rp 333,6 triliun proyeksi tahun 2019. Adapun proyeksi belanja barang tahun 2020 ditetapkan sama dengan tahun 2019. Sebagai perbandingan, realisasi belanja barang tahun 2015 sebesar Rp 233,1 triliun.
Askolani mengatakan, efisiensi juga dilakukan dengan penajaman belanja barang yang akan diserahkan kepada masyarakat dan pemerintah daerah, termasuk pengembangan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Selain itu, belanja pemeliharaan diperketat dengan mempertimbangkan penambahan aset di tahun-tahun sebelumnya. ”Strategi efisiensi sudah dirumuskan sejak Rancangan APBN disusun, termasuk untuk tahun 2020,” ucap Askolani.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan tidak ada pemangkasan anggaran kendati proyeksi penerimaan perpajakan hingga akhir 2019 akan di bawah target. Belanja pemerintah pusat dan transfer ke daerah serta dana desa tetap sesuai rencana. Pemerintah juga tidak mengajukan APBN Perubahan.
Pada 2020, pemerintah akan merealokasi anggaran belanja barang ke belanja modal. Alokasi belanja barang secara bertahap dikurangi, sementara belanja modal ditingkatkan. Dalam Rancangan APBN 2020, belanja modal naik 8 persen dibandingkan tahun 2019 menjadi Rp 185,9 triliun. Adapun pagu belanja barang tahun 2020 sama dengan 2019 sebesar Rp 333,6 triliun.
”Sebagian belanja barang digunakan secara benar, tetapi harus diteliti betul bermanfaat atau tidak untuk masyarakat,” kata Sri Mulyani.
Menurut catatan Kementerian Keuangan, belanja modal rata-rata hanya tumbuh 4,1 persen per tahun selama periode 2014-2019. Pertumbuhan belanja modal paling rendah dibandingkan dengan belanja lain, seperti belanja barang yang mencapai 14,3 persen dan belanja pegawai 9,5 persen.
Butuh ketegasan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdulah, berpendapat, kebijakan efisiensi belanja membutuhkan ketegasan pemerintah. Misalnya, terkait larangan penyelenggaraan rapat di hotel serta pengurangan fasilitas perjalanan dinas.
”Efisiensi belanja sudah sering didengungkan pemerintah, tetapi sempat menuai protes dari internal dan pelaku usaha. Di situlah, pemerintah harus tegas,” kata Rusli.
Sejauh ini, efisiensi yang paling memungkinkan adalah belanja barang. Pemerintah dapat mengganti lokasi rapat dari hotel ke kantor, mengurangi lama inap perjalanan dinas, termasuk menurunkan fasilitas transportasi. Efisiensi juga bisa dilakukan dari hal-hal kecil, seperti mengurangi pencetakan dokumen fisik.
Menurut Rusli, pemerintah disarankan tidak melakukan efisiensi belanja subsidi. Di tengah risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi, belanja subsidi justru diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mencegah kemiskinan naik. Belanja subsidi juga jadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi.
Selain efisiensi, kualitas belanja pemerintah patut dicermati. Mengutip kajian Bappenas, grafik pertumbuhan ekonomi dan belanja negara periode 2011-2018 membentuk kurva U.
Belanja negara meningkat 75,34 persen dari Rp 1.294 triliun pada 2011 menjadi Rp 2.269 triliun pada 2018. Namun, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat dari 6,16 persen pada 2011 menjadi 5,17 persen pada 2018.
Menurut Direktur Keuangan Negara dan Analisis Moneter Bappenas Boediastoeti Ontowirjo, penggunaan yang tidak tepat sasaran juga kerap terjadi pada dana alokasi umum (DAU). Sebagian besar DAU digunakan pemerintah daerah untuk belanja operasional sehingga tidak mendorong perekonomian.