Pelemahan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan China serta risiko perang dagang kedua negara itu dapat meningkatkan tekanan ekonomi global.
Oleh
C ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelemahan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan China serta risiko perang dagang kedua negara itu dapat meningkatkan tekanan ekonomi global. Sejumlah lembaga sudah merevisi angka pertumbuhan ekonomi tahun ini dengan mempertimbangkan risiko tersebut.
Bank Dunia memproyeksikan perekonomian dunia tahun ini tumbuh 2,6 persen. Adapun Dana Moneter Internasional memperkirakan 3,2 persen dan Bank Indonesia memperkirakan 3,3 persen.
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk optimistis stabilitas ekonomi RI masih terjaga dan dapat tumbuh lebih baik dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain.
Menurut kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro, ekspor Indonesia ke China dan AS berkontribusi sekitar 25 persen terhadap total ekspor Indonesia. Pertumbuhan ekonomi kedua negara yang menurun dapat berdampak terhadap perekonomian RI.
”Terakhir kami menghitung elastisitas RI terhadap China sebesar 0,1 persen. Kalau ekonomi China turun 1 persen, ekonomi Indonesia turun 0,1 persen. Sementara, untuk AS, angkanya relatif sama, yakni 0,07-0,08 persen,” ujar Andry dalam tinjauan makroekonomi di Jakarta, Senin (9/9/2019).
Dengan demikian, tanpa perang dagang AS-China, pelambatan pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut akan berdampak pada pelambatan pertumbuhan ekonomi RI.
Berdasarkan tinjauan Bank Mandiri, perang dagang AS-China berdampak negatif terhadap penurunan kinerja ekspor Indonesia, yakni melalui penurunan harga komoditas.
Belakangan, harga minyak sawit tertekan menjadi sekitar 500 dollar AS per ton. Padahal, harga rata-rata CPO pada 2017 sebesar 648 dollar AS per ton dan pada 2018 sebesar 556 dollar AS per ton. Adapun harga batubara turun menjadi 65 dollar AS per ton. Padahal, rata-rata harga batubara pada 2017 di atas 100 dollar AS per ton dan pada 2018 sekitar 88,3 dollar AS per ton.
Sementara Direktur Keuangan Bank Mandiri Panji Irawan menyebutkan, sejauh ini kondisi perbankan nasional cukup kuat dalam menghadapi berbagai risiko akibat tekanan ekonomi global, perang dagang, dan pelemahan harga komoditas.
Panji menuturkan, rasio kecukupan modal (CAR) perbankan nasional masih cukup tinggi, yakni 22,6 persen, pada Juni 2019. Kualitas aset perbankan nasional juga membaik, dengan rasio kredit bermasalah (NPL) 2,5 persen.
Tantangan yang meningkat, tambah Panji, akan menekan permintaan kredit perbankan nasional. Pada saat bersamaan, bank-bank nasional juga kian selektif menyalurkan kredit.
Namun, di tengah peningkatan risiko dan ketidakpastian ekonomi, Bank Mandiri masih melihat cukup banyak peluang bisnis, baik dari sisi kredit maupun transaksi. Sejumlah sektor yang dinilai prospektif, di antaranya, jasa kesehatan, farmasi, pendidikan, ekonomi kreatif dan pariwisata, infrastruktur, serta telekomunikasi. Sektor perdagangan barang-barang konsumer lekas ganti (FMCG) juga dinilai prospektif.
Bank-bank nasional juga kian selektif menyalurkan kredit.
Ketika dihubungi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menekankan, tantangan saat ini adalah menciptakan iklim kondusif bagi industri atau produsen barang di dalam negeri.
”Apabila produsen dalam negeri tumbuh, dampaknya akan sampai ke industri plastik di Indonesia. Sebagian besar produk makanan, minuman, dan FMCG yang dihasilkan di dalam negeri menggunakan kemasan yang juga diproduksi di Indonesia,” kata Fajar. (CAS)