Elemen masyarakat kembali memberi dukungan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Kini, Lembaga keumatan menolak revisi Undang-Undang KPK yang dianggap akan melemahkan lembaga itu.
Oleh
Sharon Patricia
·4 menit baca
JAKARTA KOMPAS — Lembaga keumatan dengan tegas menolak revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Revisi payung hukum ini dinilai berpotensi melemahkan kewenangan KPK. Penolakan mereka sebagai bentuk dukungan bagi KPK agar dapat tetap memberantas korupsi secara maksimal.
”Kesepakatan melakukan revisi UU KPK terasa ’dipaksakan’. Sebab, revisi tersebut tidak masuk dalam daftar RUU prioritas pada Program Legislasi Nasional 2019. Bahkan, upaya reivisi ini sempat ditunda Presiden pada awal 2016,” ujar pengurus harian Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Yanto Jaya, di depan Gedung KPK, Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Yanto menyampaikan penolakan terhadap revisi UU KPK bersama para perwakilan lembaga keumatan lainnya, yakni Penrad Siagian dari Paritas Institute, Romo Heri dari Konferensi Waligereja Indonesia, Ubaidillah dari PP Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama, Henry Lokra dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, Suhadi Sendjaja dari Dewan Kerukunan Agama Perwakilan Umat Buddha Indonesia, Peter Lesamana dari Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia, dan Muhammad Sahlan Ramadhan S.
Ubaidillah menyampaikan, upaya pelemahan KPK dimulai sejak 2011 yang semakin agresif pada 2015. Tercatat sebanyak tiga kali upaya pembahasan revisi UU KPK, yaitu pada Juni, Oktober, dan Desember 2015. ”Meski telah ditunda oleh Presiden Joko Widodo pada awal 2016, di akhir masa periode pertamanya kembali anggota DPR dari seluruh fraksi sepakat untuk merevisi UU KPK,” ujarnya.
Penolakan revisi UU KPK ini dilakukan karena ada beberapa poin pelemahan pemberantasan korupsi, yaitu pembatasan penyelidik dan penyidik yang hanya dari unsur kepolisian, kejaksaan, dan aparatur sipil negara. Artinya, tidak mencakup penyidik dan penyelidik yang dilatih mandiri oleh KPK.
Sementara itu, pembentukan dewan pengawas oleh DPR seolah menjadi KPK bayangan atau bahkan ”KPK sesungguhnya”. Sebab, proses pemilihan yang serupa dan mengambil alih peran penting dari pimpinan KPK.
Misalnya, dalam hal penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan, KPK harus mendapat izin terlebih dahulu dari Dewan Pengawas. Selain itu, adanya penghentian penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tindak pidana korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Artinya, kasus bisa dihentikan kapan saja.
Untuk itu, Lembaga Keumatan mendesak agar Presiden tidak mendukung tindakan pelemahan pemberantasan korupsi, termasuk di dalamnya pelemahan KPK. Presiden juga diminta untuk tidak mengirimkan surat presiden (surpres) kepada DPR agar pembahasan dapat terhenti.
Masyarakat juga diminta terus menyuarakan dan menghadang pelemahan pemberantasan korupsi. Sebab, korupsi merupakan akar pemiskinan dan merenggut hak-hak warga masyarakat secara umum. ”Pernyataan sikap dan desakan ini kami landaskan di atas nilai-nilai keagaam yang kami yakini. Semoga seruan ini makin memperkuat perjuangan kita bersama dalam mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan pemberantasan korupsi di Indonesia,” tutur Henry.
Terlalu dipaksakan
Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi UKSW Salatiga Umbu Rauta menyampaikan secara formal, memang DPR periode 2014-2019 masih berwenang sampai pelantikan anggota DPR 2019-2024 awal Oktober 2019. Namun, pengajuan RUU baru atau perubahan seharusnya masuk dalam Prolegnas.
Kalaupun tidak masuk dalam Prolegnas, harus dapat ditelusuri apakah revisi UU KPK masuk dalam kategori RUU kumulatif terbuka atau RUU karena alasan atau kondisi kebutuhan masyarakat yang mendesak. Sejauh ini RUU tersebut tidak masuk dalam ketiga kategori tersebut sehingga alangkah baik menjadi agenda DPR yang baru.
Selain itu, dari aspek kepantasan, DPR yang akan berakhir pada akhir September lebih baik berfokus pada penyiapan laporan akhir kinerja yang telah dilakukan selama lima tahun ini, sebagai wujud akuntabilitas terhadap pemilih atau rakyat.
”Kurang elok jika masih melakukan agenda strategis, dalam hal ini mengajukan inisiatif perubahan UU KPK. Lain halnya jika RUU tersebut telah memasuki tahap pembicaraan akhir atau pandangan akhir fraksi atas hasil pembahasan bersama pemerintah,” tutur Umbu.
Sementara dari aspek materi, ke depan perlu dipercakapkan secara meluas dan masif dengan seluruh pihak terkait. Dengan begitu, materi perubahan tidak melemahkan atau mengurangi agenda pemberantasan korupsi.
”Sampai saat ini korupsi masih menjadi pekerjaan rumah (kejahatan luar biasa) sehingga untuk sementara waktu masih membutuhkan langkah-langkah yang tidak biasa, sebagaimana tindak pidana lainnya,” kata Umbu.