Hanya di Indonesia kata lokalisasi dimaknai sebagai ”bursa kelamin”, bahkan sudah terekam maknanya di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai \'tempat prostitusi\'. Dampak pergeseran makna ini begitu dahsyat sampai-sampai pengguna bahasa Indonesia berpantang memakainya meski untuk konteks berbeda, katakanlah lokalisasi sebagai padanan localization.
Di bidang teknologi informasi, lokalisasi menjadi kata penting yang tak pernah luput dari penyebutan. Secara spesifik kata ini mengacu pada pengertian \'upaya mengadaptasi informasi suatu produk atau jasa dari bahasa sumber ke dalam bahasa lain\'. Tujuannya tentu saja memudahkan pemahaman bagi masyarakat setempat karena disampaikan dalam bahasa lokal. Jadi, prosesnya melibatkan kegiatan mengalihkan bahasa (penerjemahan) atau melokalkan bahasa (pelokalan). Dalam pengertian ini, cakupan lokalisasi amat luas, termasuk pelokalan dokumen, perangkat lunak, dan situs jejaring sosial. Facebook, Google, Twitter, dan YouTube versi bahasa Indonesia adalah contoh hasil lokalisasi dalam lingkup media informasi dan komunikasi berbasis Internet. Dalam konteks Indonesia, lokalisasi dalam pengertian ini dapat dipadankan dengan pengindonesiaan. Sayangnya, sudah sekian lama KBBI belum juga memuat definisi ini di samping makna lain yang sudah ada.
Berbeda dengan kerabatnya--nasionalisasi, regionalisasi, internasionalisasi, dan globalisasi--yang tak pernah dipadankan dengan penasionalan, peregionalan, penginternasionalan, dan pengglobalan; kata lokalisasi malah sebaliknya. Rantai silsilahnya terputus dan kedudukannya bergeser menjadi ”hina”, mirip anak jadah yang dikucilkan keluarga. Akibatnya, penutur bahasa Indonesia lebih memilih istilah pelokalan ketimbang lokalisasi. Bahkan, hingga saat ini pelokalan menjadi satu-satunya kata yang digunakan sebagai padanan localization.
Faktor penyebab tercemarnya lokalisasi tentu dapat diduga. Orang malas berpanjang kata dengan menyebut lokalisasi prostitusi. Mereka mau yang gampang dan singkat-singkat saja. Selain ringkas, lokalisasi terdengar samar dibandingkan dengan kompleks pelacuran. Namun, masyarakat pengguna bahasa tanpa sadar telah menafikan makna asal lokalisasi itu sendiri, yaitu upaya melokalisasi (dulu: melokalisir) atau membatasi suatu kegiatan atau kejadian di lingkungan tertentu agar tidak meluas ke mana-mana. Misalnya, lokalisasi perjudian, lokalisasi wabah kolera, lokalisasi pedagang kaki lima, dan lokalisasi prostitusi. Istilah terakhir inilah biang keladi terciptanya eufemisme tak-sengaja (lokalisasi) yang telah menggeser makna denotatifnya terlalu jauh.
Mengingat bahasa Indonesia bersuku kata banyak, multisilabis, Badan Bahasa dituntut lebih prigel dalam menciptakan akronim untuk istilah baru. Dengan begitu, sepatah kata tanpa dosa tidak lantas terstigma. Dalam kaitan ini, komunitas pengawal bahasa Indonesia-penulis, pengarang, penyunting, penerjemah, juru bahasa, dan wartawan--seyogianya berkukuh menyandingkan lokalisasi dengan pelokalan. Demi pengayaan kosakata, netralitas lokalisasi harus dijaga sebagaimana bahasa lain menyerapnya tanpa deviasi makna: localization, lokalisatie, localizzazionoe, lokalisasyon, lokalizÁciÓ, lokalisointi, lokalizacija, lokalizimi, dst.
BAMBANG SUGENG, Penerjemah