Aturan yang baru diterapkan sering kali memiliki celah. Sebagian orang menyiasati pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil genap menggunakan pelat nomor palsu. Bagaimana aparat mengantisipasi hal ini?
JAKARTA, KOMPAS — Penjualan pelat nomor palsu meningkat seiring dengan perluasan pembatasan kendaraan dengan sistem ganjil genap di 25 ruas jalan Jakarta. Petugas kepolisian kesulitan mendeteksi jenis pelanggaran itu. Sementara petugas hanya bergantung pada kamera tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement.
Alwi (42), penjual pelat di Jalan Palmerah Utara, Palmerah, Jakarta Barat, mengatakan, ada peningkatan pemesanan pelat nomor semenjak perluasan ganjil genap dibandingkan dengan hari biasa. Setidaknya ia telah mendapatkan delapan pembeli pelat mobil, baik ganjil maupun genap.
”Biasanya sehari satu orang. Kemarin itu ada lima orang yang beli dan tadi ada tiga orang. Mereka bilang (pesanan itu) untuk melewati jalan di jalur ganjil genap,” ujar Alwi. Alwi menjual pelat seharga Rp 100.000 sampai Rp 150.000. Harga ini sesuai ketebalan pelat. Semakin tebal pelat, semakin mahal juga harganya.
Pelat yang dijualnya tidak dilengkapi logo kepolisian. Ia pun tidak bisa menjamin pelat yang dibuatnya itu bisa lolos dari deteksi electronic traffic law enforcement
(ETLE). ”Saya tidak tahu (terdeteksi atau tidak). Soalnya pembeli, ya, beli saja pelatnya,” ucap Alwi.
Sementara itu, di Jakarta Pusat, sebagian tukang pembuat pelat nomor mengaku mendapat sejumlah pesanan pelat nomor palsu. Jimmy (37), salah satu pedagang di kawasan Senen, kemarin, mendapat dua pesanan pelat bernomor genap. ”Jumlah pesanan itu tidak banyak, ada satu atau dua. Saya cuma bikin pelatnya seharga Rp 150.000, kalau pakai logo polisi jadi Rp 200.000. Ada juga tukang lain yang membuat dudukan pelat nomor di mobil, jadi tinggal pasang di pelat sebelumnya,” kata Jimmy.
Haris (40), penjual pelat nomor di kawasan Matraman, mengaku, pesanan pelat kendaraan meningkat sejak seminggu sebelum penerapan perluasan ganjil genap. Seperti hari ini saja, ada tiga pelanggan yang datang ke ruko kecilnya yang berukuran sekitar 3 meter × 3 meter. Meski sadar pekerjaannya melanggar aturan, Haris tetap melayani pembuatan nomor pelat palsu demi menghidupi keluarga yang tinggal di Bogor.
Ia mengatakan, selama dua hari ini, total ada 10 orang yang sudah memesan pelat nomor. Ia memasang tarif Rp 100.000 hingga Rp 200.000. Penetapan harga berdasarkan tingkat kesulitan, model, hingga waktu pengerjaan.
”Sejak seminggu yang lalu, mulai berdatangan, tapi saya lupa total jumlahnya. Pemasukan saya lumayan besar jika dibandingkan dengan hari biasa. Untuk harga pun saya sesuai dengan model atau bentuk pelatnya. Kalau sulit dan butuh cepat, ya, agak mahal,” ujarnya.
Kelemahan
Terkait pemalsuan pelat nomor untuk pembatasan kendaraan ganjil genap, Kepala Satuan Lalu Lintas Polres Metro Jakarta Barat Komisaris Hari Admoko menyatakan, pelanggaran pelat palsu termasuk kategori yang sulit terdeteksi oleh kepolisian di lapangan. Pihaknya hanya mengandalkan kamera ETLE untuk mendeteksi pelat nomor palsu.
”Petugas di lapangan hanya bisa mengidentifikasi pelat nomor palsu jika tidak ada logo. Kalau memang ada yang ditemukan seperti itu, kami coba periksa berkasa-berkasnya,” kata Hari.
Secara terpisah, Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Yusuf juga menyampaikan, polisi baru bisa menindak pelanggar yang menggunakan pelat palsu jika terdeteksi ETLE.
Yusuf menjelaskan, petugas di lapangan akan terus berkoordinasi dengan tim command center yang ada di Traffic Management Center (TMC) Polda Metro Jaya untuk mendeteksi pelat mobil palsu.
”Dari command center yang ada di TMC Polda Metro Jaya, mereka akan memberikan informasi kepada petugas yang ada di lapangan bahwa nomor polisi sekian yang dikendarai oleh kendaraan ini palsu. Nanti langsung diamankan,” kata Yusuf.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo menuturkan, pemalsuan tanda nomor kendaraan bermotor (TNKB) sudah masuk ranah pidana sehingga itu merupakan kewenangan kepolisian. ”TNKB palsu ranahnya kepolisian,” katanya.