ITF atau tempat pengolahan sampah antara di Sunter direncanakan sekaligus menjadi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) berkapasitas 35 megawatt per hari dengan mengolah 2.200 ton sampah per hari.
Oleh
J GALUH BIMANTARA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Warga yang menghuni lahan PT Kereta Api Indonesia di sekitar lokasi proyek fasilitas pengelolaan sampah dalam kota, Intermediate Treatment Facility Sunter, Kelurahan Sunter Agung, Jakarta Utara, menerima ongkos pindah karena bangunan tinggal mereka akan dibongkar.
Penanggung jawab penyelenggaraan Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter, PT Jakarta Solusi Lestari, memastikan pihaknya memantau kepindahan warga agar uang benar-benar dimanfaatkan untuk bermukim di tempat yang layak dan legal.
Sebelumnya, dalam keterangan pada Senin (9/9/2019), Wali Kota Jakarta Utara Sigit Wijatmoko mengatakan, terdapat 116 keluarga yang tinggal di lahan PT KAI di sekitar lokasi proyek ITF Sunter. Semua bakal diikutkan dalam program resettlement action plan (RAP) sebagai wujud perhatian pemerintah terhadap warga terdampak.
Penjual makanan dan pemilik kontrakan, Siti Nafziah (54), adalah salah satunya. Meski berat harus meninggalkan rumah yang dihuni sejak 19 tahun lalu, Siti menyepakati mekanisme ganti rugi tersebut. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia tinggal di lahan yang bukan miliknya. ”Ya, orang kita di sini istilahnya menumpang, mau dipakai sama yang punya tempat, ya, kita harus nyadarin,” ujarnya, Selasa (10/9/2019).
Namun, Siti masih bersyukur karena mendapatkan uang untuk ongkos pindah. Ia berpengalaman tinggal di lahan eks Taman Bersih, Manusiawi, Berwibawa (BMW) di seberang tempat tinggalnya sekarang yang kini disiapkan jadi kawasan olahraga terpadu dengan dilengkapi Jakarta International Stadium (JIS). Sewaktu rumahnya di sana digusur, tidak ada ganti rugi sama sekali dari Pemprov DKI.
Menurut Siti, lingkungan tinggalnya tidak memiliki nama apa pun serta tidak ada perangkat rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW). Mereka biasa menyebut tempat ini sebagai hunian di samping pengepresan sampah. Lahan untuk ITF Sunter dulunya memang Unit Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Dinas Kebersihan DKI.
Siti mengatakan, warga di lahan PT KAI sekitar lokasi proyek ITF Sunter sejak sebelum Idul Fitri tahun ini menerima informasi bahwa mereka mesti pindah. Setelah itu, mereka diajak ikut pertemuan di dalam lokasi proyek pada pertengahan Agustus lalu dan mendapat kepastian bahwa terdapat ongkos pindah bagi mereka. Sebagian besar warga sudah menerima setidaknya uang muka terlebih dahulu, termasuk Siti yang menerima pada akhir Agustus.
Besaran ongkos pindah per keluarga bervariasi, antara lain, bergantung pada status bangunan (dimiliki atau dikontrak) dan seberapa luas bangunan yang dimiliki. Siti dijanjikan menerima Rp 100 juta karena ia membangun tujuh kamar semipermanen yang masing-masing berukuran sekitar 2 meter x 2 meter, empat di antaranya dikontrakkan. Uang muka yang sudah di tangannya Rp 10 juta.
Seorang pengemudi ojek yang mengontrak di tempat Siti, Mohammad Hasan (39), juga menerima ganti rugi. Menurut dia, uang yang mesti diberikan padanya Rp 15 juta dan saat ini ia sudah menerima Rp 5 juta.
”Itu uang untuk per orang. Teman-teman saya juga dapat segitu,” ujar Hasan. Ia tinggal sekamar dengan dua pengemudi ojek lainnya.
Siti membangun rumah beserta kontrakan pada lahan seluas lebih kurang 200 meter yang terimpit tembok pembatas area rel kereta dengan tembok lokasi proyek ITF Sunter. Hanya terdapat gang selebar 40 sentimeter dengan penerangan minim untuk mengakses kamar-kamar di sana.
ITF atau tempat pengolahan sampah antara di Sunter direncanakan sekaligus menjadi pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) berkapasitas 35 megawatt per hari dengan mengolah 2.200 ton sampah per hari. Jika berhasil beroperasi, ITF Sunter bisa menurunkan beban volume sampah warga DKI hingga 29 persen per hari, dengan bonus menghasilkan listrik.
Total volume sampah sekarang bisa mencapai 7.500 ton per hari yang semuanya diangkut ke Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi. TPST ini diperkirakan tidak mampu lagi menerima sampah pada 2021.
Pemprov DKI menugasi PT Jakarta Propertindo (Jakpro) untuk penyelenggaraan ITF Sunter sesuai Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penugasan Lanjutan kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengelolaan Sampah di Dalam Kota/Intermediate Treatment Facility.
Dalam pelaksanaannya, PT Jakpro bekerja sama dengan perusahaan asal Finlandia yang berpengalaman membangun dan mengoperasikan PLTSa, Fortum. Kedua perusahaan ini membentuk perusahaan patungan bernama PT Jakarta Solusi Lestari untuk mengurusi proyek ITF.
Soal ongkos pindah, pemberian memang direncanakan bertahap. Chief Executive Officer PT Jakarta Solusi Lestari, Faisal Muzakki, menyebutkan, akan ada tiga tahap pemberian. ”Penyampaian bertahap karena kami ingin memastikan penerima menggunakan dana sebagaimana seharusnya. Jangan sampai dipakai untuk yang lain-lain,” tuturnya.
PT Jakarta Solusi Lestari bekerja sama dengan konsultan untuk program RAP. Setelah menerima uang tahap pertama, warga penerima dipantau guna memastikan mereka tinggal di tempat yang layak dan tidak ilegal lagi, termasuk dibuktikan dengan surat keterangan ketua RT setempat. Itu jadi prasyarat pencairan dana tahap kedua.
Para penerima kemudian ditawari ikut program pelatihan pengelolaan keuangan agar bisa menggunakan uang dengan bijak. Dana tahap terakhir lantas akan cair.
Faisal menambahkan, pihaknya hingga akhir tahun ini menargetkan penyiapan lahan proyek selesai. Salah satu kegiatan dalam penyiapan lahan adalah uji tanah (soil test) guna menentukan daya dukung tanah dan mengetahui kedalaman lapisan tanah keras. Data tersebut diperlukan untuk merancang fondasi yang tepat.
Adapun pembangunan fisik ITF Sunter ditargetkan berjalan mulai caturwulan pertama 2020. Faisal memperkirakan, pembangunan dimulai pada Maret mendatang. Konstruksi ditargetkan rampung tahun 2022 dan ITF beroperasi di tahun itu. Pembangunan ITF Sunter bakal menelan dana berkisar 250 juta-350 juta dollar AS (Rp 3,5 triliun-Rp 4,9 triliun), tetapi tanpa membebani APBD DKI.