Kewajiban menggunakan helm bagi pengemudi dan pembonceng sepeda motor yang berlaku saat ini pernah diwarnai pro dan kontra. Polemik itu diawali terbitnya Maklumat Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Hoegeng Iman Santoso pada 2 Agustus 1971.
Dalam maklumat itu dinyatakan, karena tingginya angka kecelakaan lalu lintas di kalangan pengemudi dan pembonceng sepeda motor, tiga bulan sejak maklumat itu terbit atau 1 November 1971, pengemudi dan pembonceng sepeda motor harus menggunakan helm.
Sebagai gambaran, selama Januari-Juni 1971, korban tewas akibat kecelakaan sepeda motor di Jakarta tercatat 22 orang. Sebagian besar korban cedera di bagian kepala. Jumlah sepeda motor di Jakarta saat itu tercatat 98.202 unit. Saat ini jumlah sepeda motor di Jakarta sekitar 14 juta unit.
Kembali ke soal kewajiban menggunakan helm, ketentuan itu banyak mendapat tentangan dari masyarakat dengan beragam alasan. Ada yang beralasan tidak praktis, tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia, tidak sesuai dengan iklim tropis, dan bahkan ada yang menyatakan ketentuan itu tidak ada dasar hukumnya.
Hingga akhir masa jabatan Hoegeng, penggunaan helm tak pernah menjadi kewajiban. Bahkan, pada 1975, kepala Polri saat itu, Jenderal (Pol) Widodo Budhidarmo, hanya menganjurkan masyarakat menggunakan helm, tidak mewajibkan.
Sosialisasi penggunaan helm terus berjalan sesuai kondisi daerah. Payung hukum juga dibuat, yaitu dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 188/AJ.403/Phb-86 tanggal 29 Desember 1986. Meski demikian, demonstrasi penolakan penggunaan helm terus terjadi di sejumlah perguruan tinggi, seperti di Bandung, Yogyakarta, dan Makassar.
Kewajiban menggunakan helm kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Meski sudah ada dasar hukumnya, masih ada masyarakat yang melanggar. Mereka mengabaikan keselamatan diri sendiri dengan tidak menggunakan helm. (THY)