DPR akan meminta calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023 untuk menandatangani surat pernyataan bermeterai setelah mereka terpilih menjadi pimpinan KPK sebagai bentuk kontrak politik.
Oleh
Age/Dvd
·4 menit baca
DPR akan minta capim KPK menandatangani kontrak politik jika mereka terpilih menjadi pimpinan KPK periode 2019-2023. Kebijakan itu berpotensi mengancam independensi KPK.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat akan meminta para calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023 untuk menandatangani surat pernyataan bermeterai setelah mereka terpilih menjadi pimpinan KPK sebagai bentuk kontrak politik. Langkah ini ditengarai untuk mengunci komitmen dan sikap para calon pimpinan KPK terhadap sejumlah isu, termasuk terkait revisi Undang-Undang tentang KPK.
Prosedur yang kali ini baru diterapkan DPR itu dikhawatirkan bisa mengganggu independensi pimpinan KPK. Padahal, UU KPK menegaskan bahwa KPK merupakan lembaga independen,
Polemik yang muncul terkait rencana revisi UU tentang KPK, yang isinya ditengarai akan melemahkan komisi itu, menjadi salah satu pertimbangan utama Komisi III DPR dalam menguji 10 calon pimpinan (capim) KPK periode 2019-2023. Uji kelayakan dan kepatutan itu akan diadakan Rabu sampai Kamis (11-12/9/2019) ini di Kompleks Parlemen, Jakarta.
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, mengatakan, surat pernyataan bermeterai dibuat untuk mengikat konsistensi para capim KPK terhadap sejumlah isu yang ditanyakan saat sesi uji kelayakan dan kepatutan, termasuk salah satunya terkait revisi UU KPK. Ini akan menjadi preseden baru. Selama ini, surat pernyataan bermeterai tidak menjadi bagian dari prosedur seleksi.
Ini akan menjadi semacam kontrak politik antara calon itu dan DPR kalau yang bersangkutan nanti terpilih.
Ia mengacu pada proses uji kelayakan dan kepatutan capim KPK 2015-2019 pada 2015. Saat itu, revisi UU KPK juga dijadikan salah satu bahan pertanyaan di sesi wawancara. Menurut Arsul, beberapa capim yang akhirnya terpilih sempat menyatakan mendukung revisi UU KPK beserta substansinya. Namun, mereka berubah pikiran dengan menolak revisi setelah menjabat.
Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi PDI-P Herman Hery mengatakan, hal-hal yang perlu ditegaskan dalam surat pernyataan bermeterai itu adalah pandangan para capim terhadap arah pemberantasan korupsi ke depan, termasuk substansi revisi UU KPK. Capim yang ragu-ragu atau menolak rencana revisi UU KPK bisa saja berpeluang lebih kecil untuk lolos.
”Jadi, tentang revisi UU KPK, pasal-pasalnya apa saja? Juga akan kami lontarkan ke mereka saat wawancara, apakah mereka setuju atau tidak,” katanya.
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril menilai, penandatanganan pakta tidak diperlukan karena bisa mengancam independensi dan kewenangan KPK ke depan. Padahal, UU KPK menegaskan KPK adalah lembaga independen.
Menurut Oce Madril, uji kelayakan dan kepatutan capim KPK kali ini terlalu bernuansa politik karena diadakan bersamaan dengan rencana revisi UU KPK yang ingin dikebut dalam waktu singkat. ”Hal-hal seperti ini sebetulnya tidak etis dan akan mendegradasi kewibawaan KPK, tidak menutup kemungkinan, bisa memengaruhi independensi pimpinan juga ke depan,” katanya.
Namun, ia berharap pakta tersebut tidak terlalu berimplikasi pada komposisi pimpinan KPK yang baru ke depan karena surat pernyataan tertulis itu tidak akan berimplikasi hukum yang serius.
Herman dan Arsul menampik anggapan jika penandatanganan pakta itu akan menyandera pimpinan KPK yang baru dan memengaruhi independensi KPK. ”Pakta ini dilakukan setelah terpilih, bukan sebelum terpilih,” ujar Herman.
Menanggapi itu, Alexander Marwata, salah satu capim KPK, mengatakan, tidak tahu adanya rencana para capim wajib menandatangani kontrak politik dengan DPR. ”Saya tidak tahu. Hal ini belum dibicarakan,” katanya.
Topik makalah
Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III DPR dan Panitia Seleksi (Pansel) Capim KPK, topik terkait revisi UU KPK berulang kali muncul. Substansi revisi UU KPK juga muncul dalam pilihan topik uji makalah para capim, kemarin. Para anggota Komisi III ingin para capim KPK dapat memahami isi revisi UU KPK dan punya pandangan yang sejalan dengan DPR terkait konsep baru pemberantasan korupsi.
Kami tidak ingin capim KPK terpilih menjadi sosok yang menentang sistem dan aturan yang ada. Saat uji kelayakan dan kepatutan berjanji menaati undang-undang, tetapi setelah terpilih malah membelot.
Komisi III pun meminta Pansel Capim KPK menjelaskan dasar pertimbangan menyeleksi capim KPK tersebut. Terkait itu, anggota Pansel Capim KPK, Hendardi, meyatakan, pihaknya bekerja berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo.
Adapun sejumlah capim, kemarin, menyatakan setuju dengan adanya sejumlah gagasan yang ada di revisi UU KPK. Salah satu capim, Irjen Firli Bahuri, mengatakan, setuju dengan pembentukan Dewan Pengawas KPK dan penerapan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Senada dengan Firli, capim lainnya, yaitu Nurul Ghufron, juga tidak mempermasalahkan pasal terkait SP3 dalam draf revisi UU KPK.