RUU Pertanian Mengancam Petani dan Keragaman Hayati
›
RUU Pertanian Mengancam Petani...
Iklan
RUU Pertanian Mengancam Petani dan Keragaman Hayati
Dewan Perwakilan Rakyat diminta tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Budidaya Pertanian yang Berkelanjutan.
Oleh
Ahmad Arif
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat diminta tidak terburu-buru mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Budidaya Pertanian yang Berkelanjutan. Hal ini karena terdapat sejumlah pasal dalam rancangan undang-undang tersebut berpotensi merugikan petani, masyarakat adat, dan mengancam keragaman sumber daya hayati di Indonesia.
Rancangan undang-undang ini diusulkan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (UU SBT) dan ditarget akan disahkan pada September 2019 ini.
”Pembahasan untuk pengesahan RUU SBPB (Sistem Budidaya Pertanian yang Berkelanjutan) ini sebaiknya ditunda pengesahannya. RUU ini harusnya diuji secara meluas dan melibatkan semua komponen masyarakat petani,” kata Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), di Jakarta, Senin (9/9), mewakili sejumlah lembaga swadaya masyarakat.
Menurut Said, koalisi sejumlah lembaga swadaya masyarakat di bidang pertanian telah melakukan kaji ulang RUU SBPB dan menemukan sejumlah catatan kritis. Misalnya, Pasal 5, 6, dan 7 mengatur tentang rencana sentralisasi budidaya pertanian dari pusat hingga ke tingkat kabupaten/kota. Pasal ini dinilai mengabaikan rencana pembangunan atau budidaya pertanian di kawasan desa sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang memberikan kewenangan kepada desa.
Sementara itu, Pasal 11 dalam RUU ini berpotensi memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memaksa petani menanam sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dari pusat hingga daerah. Hal ini juga dikhawatirkan akan mendorong penyeragaman produksi dan jenis tanaman, yang akan mengancam keberagaman budi daya tanaman dan budaya lokal.
Pasal 11 dalam RUU ini berpotensi memberikan kewenangan pemerintah untuk memaksa petani menanam sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dari pusat hingga daerah.
Sumber genetik
Manajer Ekosistem Pertanian Yayasan Keanekaragaman Hayati (Kehati) Puji Sumedi mengatakan, dalam RUU ini partisipasi petani atau masyarakat dalam pelestarian sumber daya genetik cenderung dipinggirkan. Padahal, praktik di lapangan banyak inisiatif perlindungan sumber daya genetik dari kepunahan justru dilakukan oleh masyarakat karena biasanya lekat dengan kearifan lokal dan tradisi bertani mereka.
Menurut Puji, Kehati terlibat dalam koalisi lembaga swadaya masyarakat untuk mendesak agar RUU ini ditinjau kembali. ”Mengacu pada sejumlah kasus petani yang dipidanakan karena mengembangkan benih sendiri, seharusnya revisi UU ini pun lebih hati-hati dengan mengutamakan kepentingan petani di dalamnya, termasuk petani lokal dan masyarakat adat,” tuturnya.
Seharusnya revisi UU ini pun lebih hati-hati dengan mengutamakan kepentingan petani di dalamnya, termasuk petani lokal dan masyarakat adat.
Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Serikat Petani Indonesia Henry Saragih menyebutkan, Pasal 27 RUU ini yang mewajibkan petani kecil pemulia benih untuk melapor kepada pemerintah bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 99/PUU-X/2012. Putusan MK atas Uji Materi UU SBT menyatakan kebebasan bagi petani dan rakyat Indonesia untuk mencari dan mengumpulkan plasma nutfah dan atau benih. Oleh karena itu, menurut Henry, seharusnya dalam pasal ini dijelaskan peran aktif pemerintah dalam pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik yang dilakukan oleh petani.
Demikian halnya Pasal 29 RUU yang membatasi peredaran varietas hasil pemuliaan petani kecil hanya boleh dalam satu wilayah kabupaten/kota juga bertentangan dengan putusan MK. Padahal, dalam putusan MK tersebut, petani kecil diperbolehkan mengedarkan varietas hasil pemuliaan kepada komunitasnya dan tidak dibatasi oleh wilayah.
Apalagi, dalam Pasal 108 dan 112 RUU ini juga disebutkan tentang sanksi administratif dan ancaman pidana bagi petani kecil yang dianggap melanggar pasal tentang pencarian dan pengumpulan Sumber Daya Genetik tanpa izin. Ancaman penjara selama lima tahun atau denda Rp 1 miliar rupiah dinilai akan menjadi alat untuk mengkriminalkan petani.