Sinergi Membangun Destinasi Wisata Labuan Bajo
Terkenal sebagai pintu gerbang menuju habitat hewan purba komodo, Labuan Bajo memiliki berbagai daya tarik. Tak hanya komodo, padang savana, goa cermin, dan pantai eksotik, kawasan ini juga kaya akan wisata budaya. Sinergi pembangunan perlu dilakukan agar pariwisata berkembang, tetapi keberlangsungan lingkungan, sosial, dan budaya tetap terjaga.
Labuan Bajo merupakan ibu kota Kecamatan Komodo di Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Nama desa ini jauh lebih terkenal daripada 19 desa dan kelurahan di Kecamatan Komodo karena menjadi salah satu destinasi wisata utama NTT. Setelah ditetapkan sebagai salah satu tujuan wisata ”premium” oleh Presiden Joko Widodo pada 11 Juli 2019, Labuan Bajo berpotensi makin berkilau.
Salah satu indikasi yang dapat diamati adalah peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke Labuan Bajo. Jumlah kedatangan penumpang di Bandara Komodo meningkat hingga 158,6 persen (2018). Terjadi pula peningkatan penumpang kapal di Pelabuhan Labuan Bajo, yakni dari 50.900 orang (2015) menjadi 159.500 orang (2018).
Dari sektor akomodasi, geliat pariwisata juga terasa. Ada peningkatan jumlah hotel di Manggarai Barat. Pada tahun 2015, ada sebanyak 50 unit hotel. Jumlah itu meningkat menjadi 97 unit pada 2018. Berdasarkan nilai investasinya, sektor perhotelan di Manggarai Barat telah menarik 56 investor dengan nilai total 84,7 miliar dollar AS (2017).
Pemerintah pun memperpanjang landas pacu menjadi 2.250 meter serta memperluas terminal penumpang menjadi 3.300 meter persegi. Landasan yang kian panjang itu memungkinkan pesawat berbadan besar, seperti Airbus A320 dan Boeing 737-900, mendarat.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Pekerjaan Rakyat telah membangun jalan menuju bandara sepanjang 9,5 km, tetapi kondisi di jalan koridor utama sepanjang pantai masih membutuhkan penataan ulang. Selain terkesan tidak rapi, kondisi dari kawasan kuliner Kampung Ujung ke arah dermaga terkesan kumuh. Tidak mudah pula menemukan sarana transportasi umum yang layak bagi wisatawan yang hendak berkeliling kawasan, kecuali dengan menyewa kendaraan.
Di laut, sejak pertengahan 2015, PT Pelni (Persero) mulai menawarkan kapal jetliner atau kapal feri cepat rute Makassar-Labuan Bajo. Kapal ini memiliki kapasitas penumpang 600 orang, ditambah 160 mobil, dan memiliki waktu tempuh perjalanan 9 jam.
Infrastruktur dasar
Meski telah melakukan berbagai upaya, perbaikan infrastruktur dasar masyarakat justru belum tersentuh. Ketersediaan fasilitas kesehatan, misalnya, masih minim. Tahun 2018, BPS mencatat jumlah rumah sakit, puskesmas, dan poliklinik di Manggarai Barat baru 55 unit.
Jangkauan listrik warga Manggarai Barat juga masih terbatas. Tahun 2018, ada 12,9 persen rumah tangga yang belum teraliri listrik. PLN baru melayani 57,8 persen rumah tangga, sedangkan sisanya, 29,3 persen, menggunakan listrik non-PLN seperti genset.
Menurut data BPS tahun 2018, dari total panjang jalan 141,8 km, hanya 29,9 persen yang masih dalam kondisi baik. Mayoritas di antaranya, yakni 51,23 persen, berada dalam kondisi rusak berat. Kondisi ini juga ditemukan di salah satu ruas jalan yang sangat terkenal, yaitu Jalan Soekarno-Hatta. Jalan yang terletak di jantung kegiatan ekonomi Labuan Bajo ini tampak masih tidak tertata.
Lambatnya pembenahan infrastruktur dasar diperparah oleh kualitas sumber daya manusia. Hingga 2018, porsi besar SDM adalah tamatan SD (40,8 persen), sedangkan lulusan S-1 ke atas 5,3 persen. Jika kondisi ini tak segera diperbaiki, industri pariwisata di Labuan Bajo bakal diisi tenaga kerja dari luar Manggarai Barat.
Selain kondisi fisik wilayah, kesiapan mental dan budaya masyarakat juga harus dipersiapkan di tengah terjadinya alih fungsi lahan pesisir dan masuknya kapital serta tenaga terampil dari luar daerah. Pembangunan berbagai hotel berbintang, misalnya, sempat memunculkan kasus konflik lahan antara investor dan warga.
Akuisisi lahan di daerah Labuan Bajo dan sekitarnya dengan berbagai cara kerap menimbulkan problem sosial. Salah satunya, penduduk asli merasa tersingkir dan jatuh miskin. Kekhawatiran ini membesar beberapa tahun terakhir pasca-penguasaan hampir sebagian besar garis pantai produktif di Labuan Bajo oleh investor-investor.
Selain itu, di tengah masuknya pendatang dengan kemampuan modal dan keterampilan lebih tinggi dari warga setempat, sektor-sektor jasa yang bisa dijalankan penduduk juga terbatas. Mereka umumnya hanya bisa membuka usaha seperti kios kecil.
Saat ini, dengan jumlah kunjungan wisatawan lebih dari 1.000 orang per hari, kondisi timpang belum terlalu terlihat. Namun, seiring meningkatnya kunjungan wisatawan pada tahun mendatang, ”ketegangan sosial” dipastikan semakin terasa. Untuk itu, pemerintah daerah perlu menerjemahkan secara bijak program prioritas Bali baru dengan kondisi faktual di Labuan Bajo. Lewat cara ini, tujuan pengembangan pariwisata dan pelestarian budaya dapat berjalan selaras.
Kekayaan Labuan Bajo
Nama Labuan Bajo semakin terdengar setelah pemerintah menjadikannya sebagai satu dari empat destinasi super prioritas. Labuan Bajo termasuk di dalamnya bersama Danau Toba, Borobudur, dan Mandalika. Penetapan ini sangat tepat karena Labuan Bajo merupakan destinasi wisata yang unik. Keunikan muncul dari hewan purba komodo, juga keindahan bentang alam dan kekayaan budaya masyarakatnya.
Taman Nasional Komodo (TNK) terdiri dari gugusan pulau dan perairan. Menurut buku Panduan Sejarah Ekologi Taman Nasional Komodo (Arnaz M, 2004), luas TNK mencapai 1.817 km persegi. Luas kepulauannya mencapai 603 km persegi, sementara sisanya merupakan taman laut. Di dalamnya ada tiga pulau utama, yaitu Pulau Komodo, Pulau Padar, dan Pulau Rinca. Pulau Komodo merupakan pulau terluas, yaitu 336 km persegi, disusul Pulau Rinca (211 km persegi), dan Pulau Padar (16 km persegi).
Para ahli memperkirakan Komodo Barat terbentuk pada era Jurasic atau sekitar 130 juta tahun lalu. Adapun Komodo Timur, Rinca, dan Padar terbentuk lebih muda, yakni pada era Eosin atau 49 juta tahun lalu.
Lebih dari 70 persen luasan TNK merupakan savana. Padang savana ini merupakan perbukitan terbuka dengan rerumputan tinggi dan sebaran pohon yang jarang. Jenis flora lain yang juga ditemukan di TNK ialah hutan tropis musim (25 persen), hutan bakau, dan terumbu karang. Terumbu di TNK menjadi daya tarik tersendiri karena merupakan habitat bagi 1.000 jenis ikan, 250 jenis koral pembentuk karang, serta 70 jenis bunga karang.
Hingga pertengahan 2019, jumlah komodo di TNK sekitar 2.800 ekor. Sebanyak 1.700 ekor berada di Pulau Komodo, 1.040 di Pulau Rinca, dan sisanya tersebar di Pulau Padar, Nusa Kode, dan Gili Motang. Jenis fauna lain yang juga ada di TNK antara lain 111 jenis burung, 34 jenis reptil, 10 jenis paus, 8 jenis lumba-lumba, dan 3 jenis amfibi.
Selain TNK, tidak sulit mencari obyek wisata di seputar Labuan Bajo. Tercatat ada 22 lokasi cagar budaya dan situs peninggalan sejarah, seperti Compang Nangka di Kecamatan Mbeliling, Kubur Tua Lale Lombong di Kecamatan Lembor, Benteng Ndope di Kecamatan Macang Pacar, dan Watu Kolang di Kecamatan Kuwus. Deretan obyek wisata alam juga ada di Manggarai Barat, seperti Goa Batu Cermin. Ada pula danau vulkanik di Kecamatan Sano Nggoang. (Litbang Kompas)