JAKARTA, KOMPAS— Wakil Presiden Jusuf Kalla, Senin (9/9/2019), menerima 15 tokoh agama dari Myanmar di Kantor Wakil Presiden, Jakarta. Dalam kesempatan itu, Kalla berbagi pengalaman tentang dinamika mengelola keberagaman dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pendamping Kalla antara lain tokoh Muhammadiyah, Din Syamsuddin. Sementara tokoh agama dari Myanmar antara lain Seindita dari Asia Light Pariyatti Monastery, Pemimpin Pusat Islam Myanmar Al-Haj U Aye Lwin, dan Uskup Yangon Kardinal Charles Bo yang juga pemimpin delegasi. Seusai pertemuan tertutup sekitar 45 menit, Din bersama sejumlah tokoh agama dari Myanmar menjawab pertanyaan wartawan. Din mengatakan, Kalla pada intinya menyampaikan bahwa Indonesia memiliki Pancasila sebagai dasar negara berikut Bhinneka Tunggal Ika sebagai moto yang menggalang kerukunan umat beragama. Selain itu, agama-agama di Indonesia juga mengajarkan ajaran-ajaran moderat.
”Karena itulah ada toleransi, ada saling menghargai. Bahwa ada masalah-masalah, alhamdulillah, dapat kita atasi. Oleh karena itu, pelajaran ini dilirik dunia dan diharapkan nanti bisa menjadi model kerukunan antarumat beragama tingkat dunia,” kata Din.
Delegasi dari Myanmar yang tergabung dalam Religions for Peace Myanmar, menurut Din, hadir atas undangan dari Interreligious Council Indonesia. Dalam perjalanan beberapa hari tersebut, tokoh agama dari Myanmar menemui dan berdialog dengan sejumlah tokoh untuk memahami pengalaman Indonesia dalam membangun kerukunan umat beragama.
Apresiasi
Kardinal Charles menyatakan apresiasinya atas kebaikan Pemerintah Indonesia. ”Kami mengadakan pertemuan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan kami melihat banyak pengalaman bagaimana di negara mayoritas Muslim ini menjaga kesetaraan tanpa diskriminasi untuk semua agama. Saling menghormati satu sama lain, sehingga kami mempelajari soal kesatuan dalam perbedaan,” kata Charles.
Al-Haj U Aye Lwin mengatakan, pihaknya menganggap Indonesia sebagai contoh model yang pas karena Indonesia dan Myanmar memiliki kesamaan. Kesamaan yang dimaksud adanya keragaman agama dan budaya.
”Indonesia telah membuktikan bahwa perbedaan bukanlah ancaman, melainkan tantangan sehingga kita perlu belajar bagaimana mengatasi tantangan itu. Karena radikalisme, ekstremisme, elemen radikal selalu membajak agama. Ini terjadi di Indonesia dan Myanmar sehingga kita harus membagikan pengalaman masing-masing negara,” kata Lwin.
Tentang situasi di Myanmar terakhir, Lwin mengatakan, berbagai pihak masih mengupayakan perdamaian. Ia berharap konflik yang terjadi akan berangsur-angsur bisa diselesaikan secara damai. ”Kami masih berjuang serta punya tantangan dan peluang. Kami berusaha mengubah tantangan menjadi peluang. Insya Allah segalanya akan berubah,” kata Lwin.
Seindita mengatakan, ia pernah ke Indonesia tiga kali. Pada kedatangan yang pertama, beberapa tahun silam, pembangunan di Indonesia belum mencolok. Namun kali ini, pembangunannya sangat tampak. ”Jadi, ini contoh bagi masyarakat Myanmar agar mengikuti Indonesia dalam pembangunan dan persatuan,” kata Seindita. (LAS)