Bentrok TNI-Warga Kembali Terjadi di Pesisir Kebumen
Bentrok antara TNI dan warga kembali terjadi di pesisir selatan Kebumen, Jawa Tengah, Rabu (11/9/2019). Sebanyak 16 orang terluka, 1 di antaranya terkena peluru karet.
KEBUMEN, KOMPAS — Bentrok antara TNI dan warga kembali terjadi di pesisir selatan Kebumen, Jawa Tengah, Rabu (11/9/2019). Sebanyak 16 orang terluka, 1 di antaranya terkena peluru karet.
Bentrokan terjadi saat warga mencoba menghentikan pembangunan tembok keliling di sekitar area latihan tembak TNI di Desa Brecong, Kecamatan Buluspesantren. Warga dihalau secara represif.
”Hari ini ada pemagaran lapangan tembak oleh TNI dan itu tidak boleh oleh masyarakat,” kata Camat Buluspesantren Suis Idawati, saat dihubungi dari Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah, Rabu.
Hari ini ada pemagaran lapangan tembak oleh TNI dan itu tidak boleh oleh masyarakat.
Idawati menyampaikan, kasus ini pernah mencuat pada 2011 dan pihak kecamatan tidak bisa lagi mengatasi konflik tersebut. ”Permasalahan dulu belum selesai dan itu sudah ranah pusat. Permasalahan sudah ditangani pusat, camat sudah tidak mempan,” tuturnya.
Kepala Desa Wiromertan Widodo Sunu mengatakan, warga memiliki sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional dan surat Letter C. Pemagaran dilakukan pihak TNI mulai 2013 dan pada 2019 ini masih ada areal yang belum dipagar, yaitu di Desa Brecong dan Desa Setrojenar.
”Warga mempertahankan tanahnya sendiri supaya tidak dipagar. Tadi pukul 08.00 warga mulai berkumpul di situ dan pukul 09.00 sampai pukul 10.00 kekerasannya,” tutur Widodo.
Widodo mengatakan, pihak TNI menghalau warga menggunakan tongkat kayu dan senjata laras panjang. Warga yang terluka adalah Wiwit Herwanto (30), Imam Suryadi (25), Haryanto (38) yang mengalami luka tembak pada bagian pantat karena peluru karet, Edi Afandi (32), Supriyadi (40), dan Wawan (26).
Ada pula Manto (34), Partunah (42), Saikin (53), Sartijo (52), Sartono (45), Wadi (27), Tolibin (30), Sumarjo (70), Martimin (53), dan Saryono (34).
Teguh Purnomo, kuasa hukum warga, menyayangkan kejadian kekerasan tersebut. ”Akar masalahnya adalah konflik tanah yang diabaikan penyelesaiannya oleh pemerintah. Seharusnya TNI tidak main hakim sendiri memagar tanah rakyat dan melakukan kekerasan seperti itu,” tutur Teguh.
Akar masalahnya adalah konflik tanah yang diabaikan penyelesaiannya oleh pemerintah. Seharusnya TNI tidak main hakim sendiri memagar tanah rakyat dan melakukan kekerasan seperti itu.
Kepala Penerangan Kodam IV/Diponegoro Letkol Kav Susanto membenarkan peristiwa tersebut terjadi saat pemagaran areal Lapangan Tembak Ambal tahap ketiga. ”Pada saat yang sama datang masyarakat yang mengaku memiliki tanah tersebut, tetapi tidak mempunyai surat kepemilikan yang sah,” kata Susanto.
Susanto menyebutkan, pengusiran warga yang dilakukan aparat dengan tindakan keras di lapangan dikarenakan masyarakat tidak mau diusir dengan cara-cara persuasif. ”Masyarakat sudah tidak bisa dikendalikan dan cenderung berbuat anarkistis, maka terjadi tindakan yang represif dari aparat tersebut di lapangan,” tuturnya.
Menurut Susanto, tanah tersebut adalah sah milik TNI sesuai ketentuan BPN. Hingga saat ini, pihaknya masih melakukan upaya mediasi dengan warga. Saat ini pekerjaan pemagaran dihentikan. Pihaknya juga meminta masyarakat untuk menghentikan aktivitasnya di sekitar areal lapangan tembak.
Pada saat yang sama datang masyarakat yang mengaku memiliki tanah tersebut, tetapi tidak mempunyai surat kepemilikan yang sah.
”Apabila ada masyarakat yang merasa komplain memiliki kepemilikan lahan secara sah, silakan menuntut sesuai dengan jalur hukum di pengadilan. Itu punya TNI secara sah dari BPN,” katanya.
Susanto menambahkan, berdasarkan Surat DJKN Kanwil Provinsi Jawa Tengah Nomor S-825/KN/2011 tanggal 29 April 2011 tentang penjelasan bahwa tanah kawasan latihan TNI seluas 1.150 hektar diperoleh dari peninggalan KNIL tahun 1949. Saat ini tanah tersebut sudah masuk daftar barang milik negara dengan nomor registrasi 30709034.
Baca juga; Bentrok Petani dan TNI Kembali Pecah di Kebumen
Bupati Kebumen Yazid Mahfudz menyampaikan, pihaknya terus berupaya memediasi warga dan TNI dengan mengedepankan musyawarah mufakat karena warga kurang berkenan membawa kasus ini ke pengadilan. Untuk saat ini demi alasan keamanan, pembuatan tembok dihentikan dan semua alat berat ditarik dari lapangan.
Selanjutnya, Bupati berkoordinasi dengan Gubernur dan BPN untuk mengumpulkan data, baik berupa sertifikat maupun surat Letter C dari 15 desa terdampak di 3 kecamatan, yaitu Ambal, Mirit, dan Buluspesantren, untuk dijadikan data.
”Saya sendiri juga dilematis sebagai pejabat negara. TNI juga aparatur negara, Kabupaten saya juga warga negara ini perlu solusi terbaik. Ini PR yang harus saya selesaikan, saya sudah habis di 2021, mudah-mudahan sudah selesai (kasus ini),” kata Yazid.
Dalam catatan Kompas (17 April 2011), bentrokan juga pernah terjadi di Desa Setrojenar, Kecamatan Buluspesantren, Kebumen pada Sabtu (16/4/2011) dan menyebabkan 13 orang luka berat dan 4 orang tertembak. Kompas, 21 April 2011, memberitakan konflik masyarakat-TNI di Urut Sewu berpangkal pada saling klaim tanah seluas 1.050 hektar yang terbentang dari Sungai Luk Ulo hingga Muara Sungai Wawar sepanjang 22,5 kilometer dengan lebar 500 meter dari bibir pantai. Konflik mencuat dalam tiga tahun terakhir.
Baca juga; Bentrokan TNI dengan Petani Disesalkan
Masyarakat dan TNI punya versi berbeda soal hak atas lahan itu. Mantan Kepala Desa Setrojenar Nur Hidayat mengatakan, warga merasa memiliki tanah yang sekarang digunakan untuk latihan militer itu karena selama ini membayar pajak berdasarkan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT). Tanah mereka juga tercatat berstatus letter C di kas Desa Setrojenar.
Sebaliknya, Kepala Perwakilan Laboratorium Dinas Penelitian dan Pengembangan TNI Angkatan Darat Mayor (Inf) Ksumayadi menegaskan, kawasan Urut Sewu yang meliputi tiga kecamatan, yakni Buluspesantren, Ambal, dan Mirit, merupakan satu-satunya tempat latihan militer di Jateng untuk uji coba senjata berat seperti meriam kaliber 105 yang punya jangkauan 18 kilometer. Wilayah ini bahkan sudah sejak zaman Belanda (1937) digunakan sebagai benteng pertahanan. Pada 1949, Pemerintah RI mengambil alih tanah tersebut dan selanjutnya digunakan untuk latihan dan uji coba persenjataan TNI.
Ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS) Seniman juga mengaku hal itu. Akan tetapi, dia berkeras bahwa batas tanah TNI hanya 200 meter dari garis pantai, bukan 500 meter. Hal itu dia tunjukkan dengan keberadaan patok pembatas yang terpasang sejak zaman Belanda.
Meski dalam ”sengketa”, selama ini petani tetap diperbolehkan menanami lahan Urut Sewu dengan berbagai sayuran seperti cabai dan sejenisnya. Konsekuensinya, setiap ada latihan atau uji coba senjata, mereka diminta tidak beraktivitas. Larangan inilah yang dianggap merugikan para petani.