Sekarang, memotret Paradisaea atau burung cenderawasih tak lagi semudah 10 tahun lalu. Keberagaman si "ngari” atau si cantik, begitu masyarakat Papua menyebutnya, kini semakin sulit dijumpai akibat ulah manusia.
Oleh
Fajar ramadhan
·4 menit baca
Sekarang, memotret Paradisaea atau burung cenderawasih tak lagi semudah 10 tahun lalu. Di beberapa lokasi, fotografer harus menyamar dan bersembunyi untuk menunggu kedatangan mereka. Keberagaman si "ngari” atau si cantik, begitu masyarakat Papua menyebutnya, kini semakin sulit dijumpai akibat ulah manusia.
Begitu ungkapan pengamat burung dan fotografer alam Ady Kristanto yang kini juga aktif sebagai peneliti di Flora Fauna Internasional (FFI). Dibutuhkan trik khusus untuk memotret cenderawasih agar mereka tak merasa terusik.
“Kita harus buat semacam tenda dari alam atau bersembunyi di dedaunan dan menunggu hingga mereka datang,” ujar pria yang sudah mengamati cenderawasih sejak 2009 ini dalam Acara Mari Cerita Papua di Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Burung ini dulunya bisa dijumpai dengan mudah. Mereka kerap berjalan di pinggir sungai atau di ranting meski ada manusia di sekitarnya.
Setiap hari, Ady mengaku bisa menjumpai setidaknya 4-5 jenis cenderawasih pada suatu lokasi. Sekarang, hanya 2-3 jenis yang dapat dijumpai. Jika ingin melihat lebih banyak jenis, fotografer harus berjalan jauh ke dalam hutan.
Cenderawasih biasanya mudah menampakkan diri pada musim berbuah sebelum musim penghujan tiba. Masing-masing jenis memiliki waktu kemunculan yang berbeda-beda. Ada yang pagi, siang, atau hanya muncul menjelang pagi. Dari 42 jenis cenderawasih di dunia, sebanyak 30 diantaranya berada di Indonesia.
Perubahan perilaku cenderawasih ditengarai karena maraknya perburuan liar dan alih fungsi lahan yang melanda habitatnya. Hal itu membuat mereka merasa mudah terancam.
Perubahan perilaku cenderawasih ditengarai karena maraknya perburuan liar dan alih fungsi lahan yang melanda habitatnya. Hal itu membuat mereka merasa mudah terancam.
Menurut Adi, para pelaku perburuan hanya menjual burung tangkapan dengan harga Rp 10.000 per ekor-Rp 50.000 per ekor kepada para penadah. “Biasanya hasil perburuan digunakan sebagai bahan souvenir, mereka menjualnya ke luar Papua,” ujarnya.
Alih fungsi lahan terjadi akibat dampak pembangunan infrastruktur. Hal itu mengancam hilangnya endemik cenderawasih. Ady mencontohkan pembangunan jalan lingkar luar Waigeo dan perluasan bandara yang mengancam habitat Cicinnurus regius (Cenderawasih Merah).
Konsep ekowisata
Perburuan pada cenderawasih dilakukan, salah satunya karena desakan ekonomi masyarakat sekitar. Dalam hal ini, pengenalan konsep ekowisata birds watching (pengamatan burung) bisa menjadi salah satu solusi. Selama ini, tak sedikit wisatawan yang tertarik datang ke Papua karena pikatan dari cenderawasih tersebut.
Menurut Ady, dengan menjadi pemandu tur penikmat burung misalnya, masyarakat bisa mendapatkan penghasilan minimal Rp 300.000 dalam sekali tur. Terlebih, cenderawasih merupakan salah satu spesies termasyur bagi para twicher atau maniak burung dari berbagai belahan dunia.
“Twicher ini rela menghabiskan uang jutaan rupiah hanya untuk melihat burung di berbagai negara sepanjang tahun,” ungkapnya.
Twicher ini rela menghabiskan uang jutaan rupiah hanya untuk melihat burung di berbagai negara sepanjang tahun.
Saat ini, FFI tengah memberikan pendampingan kepada masyarakat di Raja Ampat untuk mengembangkan ekowisata pengamatan burung. Saat ini, di sana ada 7 endemik cenderawasih. Jenis itu antara lain Cicinnurus respublica (Cenderawasih Botak), Paradisaea rubra (Cenderawasih Merah) atau Cicinnurus regius (Cenderawasih Raja).
Hal ini mereka lakukan, mengingat potensi pariwisata Raja Ampat yang cukup menjanjikan. Selain pengamatan burung, ekowisata yang tengah dikembangkan di sana saat ini adalah pembangunan rumah inap atau homestay yang menyatu dengan alam.
Ekowisata
Tidak hanya di Raja Ampat, pengembangan ekowisata pengamatan burung juga terjadi di Jayapura. Alex Waisimon menjadi salah satu pegiatnya. Ia kini mengelola ekowisata pengamatan burung di Bukit Isio, tepatnya di Rhepang Muaif Unurum Guay, Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua.
Dari 84 spesies burung yang ada di wilayahnya, enam diantaranya merupakan spesies cenderawasih. Menurut Alex, cenderawasih kini bukan hanya menghadapi perburuan liar, tapi juga pembalakan.
Oleh sebab itu, ia getol melawan seluruh tindakan yang mengancam habitat cenderawasih tersebut. Bahkan, bukan sekali dua kali ia berseteru dengan para oknum.
“Penadah itu berasal dari luar Papua, baik dipelihara atau diawetkan. Saya bilang ke mereka, ini tanah kelahiran saya, jangan ganggu saya,” katanya.
Penadah itu berasal dari luar Papua, baik dipelihara atau diawetkan. Saya bilang ke mereka, ini tanah kelahiran saya, jangan ganggu saya.
Hal tersebut terus terjadi hingga sekarang. Alih-alih gentar, pengamatan burung milik Alex kini justru menginspirasi munculnya ekowisata-ekowisata lain. Untuk tiket masuk, Alex mengaku mengenakan biaya Rp 200.000 untuk wisatawan domestik dan Rp 300.000 untuk wisatawan asing.
Program Associate Pengelolaan Sumber Daya Alam Tanah Papua Yayasan EcoNusa Alosius Numberi mengatakan, pengelolaan ekowisata perlu didukung oleh masyarakat dan pemerintah. Khususnya dalam memperhatikan kelestarian ekosistem hutan Papua.