Kementerian Kelautan dan Perikanan Dorong Sinergi Riset
›
Kementerian Kelautan dan...
Iklan
Kementerian Kelautan dan Perikanan Dorong Sinergi Riset
Perang ke depan di dunia bukan lagi merupakan perang di bidang ideologi dan politik, melainkan perang pangan. Kecukupan energi dan pangan dinilai akan menimbulkan sumber konflik antarnegara.
Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mendorong sinergi lintas instansi pemerintah untuk mengembangkan riset dan kapasitas sumber daya manusia di sektor kelautan dan perikanan. Dengan berbasis riset, pengelolaan sumber daya perikanan diharapkan bisa berkelanjutan.
Hal itu disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dalam acara penandatanganan nota kesepahaman Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang penelitian, pemanfaatan dan pengembangan iptek, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM), di Jakarta, Selasa (10/9/2019).
Penandatanganan kerja sama juga dilakukan KKP dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tentang pencegahan terorisme di sektor kelautan dan perikanan.
Menurut Susi, perang ke depan di dunia bukan lagi merupakan perang di bidang ideologi dan politik, melainkan perang pangan. Kecukupan energi dan pangan dinilai akan menimbulkan sumber konflik antarnegara. Apabila Indonesia tidak mampu mengelola sumber daya berkelanjutan, sumber daya akan habis dieksploitasi. Oleh karena itu, regulasi untuk pembatasan diperlukan guna menjaga produktivitas.
”Kalau kita masih tidak memikirkan keberlanjutan, jangan pikir Indonesia tetap kaya. Kita pasti akan semakin miskin,” ujarnya.
Susi mencontohkan, saat ini benih sidat (Glass eel) masih diselundupkan ke luar negeri walaupun spesies ikan itu sudah masuk kategori Apendiks II. Apendiks II adalah daftar spesies yang tidak terancam kepunahan, tetapi mungkin terancam punah apabila perdagangan terus berlanjut tanpa adanya pengaturan.
Eksploitasi sidat di alam membuat stok kian merosot. Setiap budidaya ikan dari spesies yang belum bisa dibuat pembenihan akan berkurang stoknya di alam. Sebanyak 1 kg benih sidat diselundupkan ke luar negeri dengan harga Rp 5 juta. Padahal, jika dibesarkan, 1 kg bisa menjadi 50 ton dengan nilai jual mencapai 10 kali lipat.
Ia menambahkan, LIPI diharapkan mengembangkan basis riset untuk mendukung kebijakan perikanan yang berkelanjutan.
Pembatasan
Kepala LIPI Laksana Tri Handoko mengemukakan, pihaknya telah bekerja sama dengan KKP dalam mengembangkan riset sektor perikanan.
Saat ini, pihaknya tengah mengembangkan fasilitas Raiser Ikan Hias Cibinong untuk menjadi pusat pengembangan dan pemasaran ikan hias, dengan melibatkan asosiasi ikan hias. ”Kami akan mendukung risetnya,” kata Laksana.
Selain itu, membentuk konsorsium riset samudra. Infrastruktur mendasar yang akan dikembangkan antara lain kapal riset nasional. Untuk tahap awal, sebanyak 22 kapal riset akan dioperasikan guna melakukan eksplorasi mulai dari perairan pantai hingga zona ekonomi eksklusif Indonesia. Pengoperasian kapal akan melibatkan pihak swasta.
”Tanpa riset, kita tidak tahu apa yang ada di laut kita, apalagi sebagian besar laut kita laut dalam. Harapannya, kita bisa mengeksplorasi apa di laut kita termasuk mitigasi bencana dengan lebih baik,” ujarnya.
Meski demikian, kata Laksana, pemerintah belum punya pelabuhan khusus riset samudra. Konsentrasi pelabuhan di wilayah barat Indonesia ada di Jakarta, sedangkan untuk wilayah timur Indonesia di Ambon.