Krisis Hong Kong dan Kegelisahan Pemerintahan Xi Jinping
Aksi unjuk rasa massa prodemokrasi di Hong Kong telah berlangsung selama 14 minggu atau 3,5 bulan. Pertanyaan dan kritik bermunculan menggugat langkah Pemerintah China.
Tidak tanggung-tanggung, aksi unjuk rasa massa prodemokrasi di Hong Kong telah berlangsung selama 14 minggu atau 3,5 bulan. Pertanyaan dan kritik bermunculan menggugat langkah Pemerintah China, yang berpuncak pada Presiden Xi Jinping, dalam mengendalikan krisis politik terbesar sejak 1997 itu.
Pemerintah China terkesan lamban merespons aksi protes tersebut dan kemudian terkejut ketika kedengkian dan permusuhan semakin merasuk para demonstran. Xi dinilai telah menerapkan strategi untuk menunda-nunda tanpa adanya gagasan yang lebih baik dan maju dalam mengakhiri krisis Hong Kong.
Aksi berawal dari penolakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekstradisi yang memungkinkan Hong Kong mengekstradisi penjahat jika mendapat permintaan dari China daratan, Makau, atau Taiwan atas kasus per kasus, awal Juni 2019. Namun, Otoritas Hong Kong meresponsnya dengan hanya menunda RUU Ekstradisi pada 15 Juni 2019.
Pengunjuk rasa pun tidak puas. Mereka ingin agar RUU Ekstradisi itu ditarik sepenuhnya. Alhasil, aksi unjuk rasa berkembang menjadi gerakan yang lebih masif untuk menuntut demokrasi yang lebih besar.
Massa pengunjuk rasa memiliki setidaknya lima tuntutan utama, yakni penarikan RUU Ekstradisi, pembatalan cap ”perusuh” kepada pengunjuk rasa, pembebasan ribuan pengunjuk rasa yang ditahan, penyelidikan independen terhadap kekerasan polisi, dan pemberian hak memilih pemimpin Hong Kong.
Pengunjuk rasa juga menuntut agar Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengundurkan diri. Meskipun begitu, Lam telah menolaknya.
Baca juga: Unjuk Rasa Makin Memprihatinkan
Dalam aksi protes selama tiga bulan terakhir, Pemerintah Hong Kong secara berkala mengecam aksi kekerasan dan menahan sejumlah pengunjuk rasa. Hanya saja, pemerintah enggan membuka ruang dialog dengan pengunjuk rasa.
Penahanan pengunjuk rasa, penutupan bandara, hingga Pemerintah Hong Kong akhirnya menarik RUU itu pada 4 September 2019 dinilai sejumlah pihak sebagai langkah yang sudah terlambat. Sebak, aksi unjuk rasa masih saja berulang.
Suasana Hong Kong justru tetap mencekam karena aksi unjuk rasa terus berlangsung setelah penarikan RUU Ekstradisi. Aksi terbaru adalah pengunjuk rasa berdemonstrasi pada Minggu (8/9/2019) di depan Konsulat Amerika Serikat untuk meminta bantuan Presiden AS Donald Trump.
Peran Beijing
Para pengamat berkali-kali menuding Beijing di balik teguhnya pendirian Pemerintah Hong Kong untuk tidak menarik RUU Ekstradisi. Tudingan makin kuat setelah terungkap keterangan tiga pejabat anonim bahwa Beijing menolak usulan Lam untuk berkompromi dengan tuntutan pengunjuk rasa.
Baca juga: China Tolak Usulan Carrie Lam
Pada Juli 2019, dalam sebuah pertemuan yang belum diungkap kepada publik, Presiden Xi bertemu dengan sejumlah pejabat senior untuk membahas aksi protes di Hong Kong. Cakupan opsi penanganan tidak diketahui dengan jelas, tetapi mereka sepakat agar pemerintah pusat tidak mengintervensi secara paksa.
Beberapa pejabat yang paham mengetahui isu pertemuan itu menceritakan, Presiden Xi dan para pejabat senior menyimpulkan, Pemerintah Hong Kong dan kepolisiannya pada akhirnya akan dapat memulihkan ketertiban masyarakat.
Terdapat sejumlah petunjuk tentang adanya perpecahan dalam kepemimpinan China dan ketidakpuasan atas kebijakan atau langkah-langkah Xi.
Pengajar ilmu politik Hong Kong Baptist University, Jean-Pierre Cabestan, mengatakan, para pejabat China kembali menghadapi perpecahan dalam penanganan krisis di Hong Kong. Muncul sebuah perdebatan dalam pertemuan tahunan para pemimpin tersebut di Beidaihe, China, Agustus 2019.
”Beberapa pemimpin partai menyerukan konsesi. Sementara pihak lainnya mendesak untuk membawa Hong Kong berada di bawah kendali langsung Pemerintah Pusat,” tulis Cabestan dalam artikel ”Is Xi Mishandling Hong Kong Crisis? Hints of Unease in China’s Leadership” di New York Times, Senin (9/9/2019).
Cabestan mengatakan percaya bahwa ”kepemimpinan China terpecah atas masalah Hong Kong dan bagaimana menyelesaikan krisisnya”.
Baca juga: Krisis Hong Kong, Perang Dingin Baru
Mantan pengajar politik di Tsinghua University, Beijing, Wu Qiang, mengatakan, Presiden Xi menerapkan strategi untuk menunda-nunda dalam menanggapi tuntutan pengunjuk rasa. Penundaan terjadi sebab tidak ada ide yang lebih baik untuk menyelesaikan krisis tersebut.
”Mereka tidak ingin mengintervensi langsung atau mengusulkan solusi. Idenya adalah menunggu hingga ada perubahan,” ujar Wu.
Pihak yang berani mengkritik Presiden Xi sangat sedikit. Faktor itu membuat solusi politik untuk Hong Kong lebih sulit untuk ditemukan.
Hasilnya adalah alih-alih meredakan atau mengendalikan krisis, pemerintahan Xi telah membantu memperluas jurang politik antara pemerintah pusat dan sebagian besar warga Hong Kong. Strategi menunggu selama tiga bulan terakhir justru memperdalam jurang politik antara Beijing dan Hong Kong.
Kelambanan respons tersebut tidak ayal membuat publik kian marah. Apalagi, Beijing menyebut unjuk rasa sebagai aksi terorisme dan mengintimidasi dengan parade militer di Shenzhen, kota yang berbatasan dengan Hong Kong. Aksi unjuk rasa pun berlanjut.
Gaya Xi
Gaya pemerintahan Presiden Xi, yang telah berusia 66 tahun, terkenal otoriter. Media massa milik pemerintah dan Partai Komunis kerap memanggilnya sebagai ”Pemimpin Rakyat”, sebutan kehormatan yang sebelumnya hanya ditujukan kepada Mao Zedong, pendiri Republik Rakyat China.
”Pemimpin Rakyat mencintai rakyatnya,” tulis People’s Daily, setelah Xi mengunjungi Gansu, sebuah provinsi di China barat.
Pihak yang berani mengkritik Presiden Xi secara langsung sangat sedikit. Faktor itu membuat solusi politik untuk Hong Kong lebih sulit untuk ditemukan. Para pejabat senior takut mengajukan solusi agar tidak bertentangan dengan Xi.
Belakangan, muncul gerutu dari berbagai pihak mengenai gaya pemerintahannya yang membuat Beijing salah membaca situasi Hong Kong. Padahal, Xi telah memperingatkan pejabat senior Partai Komunis China untuk mewaspadai risiko ekonomi dan politik pada Januari 2019.
”Beijing telah melampaui batas, melebih-lebihkan kemampuannya untuk mengendalikan berbagai peristiwa, dan meremehkan kompleksitas Hong Kong,” ujar pengajar Academy of Hong Kong Studies di Education University of Hong Kong, Brian Fong Chi-hang.
Seperti yang diketahui, Hong Kong memiliki sistem pemerintahan sendiri sejak diserahkan ke China pada 1997. Kembalinya Hong Kong ke China merupakan kebanggaan nasional setelah diduduki oleh Inggris.
Baca juga: Dewan Legislatif Hong Kong Terbagi Dua
Hong Kong merupakan pusat keuangan terbesar di Asia dan turut berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi China. Namun, warga Hong Kong memiliki kebebasan berpendapat yang lebih luwes ketimbang di China.
Keributan di Hong Kong dapat berisiko bagi Xi. Apalagi jika krisis politik tersebut turut memperburuk ketidakpuasan dan perselisihan dalam kepemimpinan Beijing dalam masalah lain.
Selama aksi protes berlangsung, Presiden Xi tidak pernah menyebutkan krisis Hong Kong di depan publik secara langsung. Ia terakhir berkunjung ke Hong Kong pada 2017, tepat di peringatan 20 tahun Hong Kong bergabung ke China.
Beijing kerap kali menuding, ada kekuatan asing yang mendalangi krisis politik Hong Kong. Meskipun begitu, tidak ada pihak atau negara tertentu yang disebutkan secara langsung.
”Dengan menggambarkan ada kekuatan asing yang bermusuhan atau bahkan tantangan internal yang tak henti-hentinya dihadapi Partai Komunis dalam mempertahankan kekuasaan, itu membantu menjustifikasi tindakan tegas yang diambil Beijing,” ucap Christopher K. Johnson, pengamat Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) di Washington.
Perubahan siasat
Reuters melaporkan, Beijing sudah menolak usulan Lam untuk mengabulkan dua tuntutan pengunjuk rasa, yakni pencabutan RUU Ekstradisi dan penyelidikan independen atas kekerasan polisi. Namun, Lam akhirnya menarik RUU Ekstradisi pada 4 September 2019, satu dari lima tuntutan pengunjuk rasa.
Baca juga: Pemimpin Hong Kong Umumkan RUU Ekstradisi ”Sudah Mati”
Lam mengklaim, dirinya memperoleh dukungan dari Beijing atas putusan tersebut. Klaim yang menunjukkan secara tidak langsung ada koordinasi antara Hong Kong dan pemerintah pusat.
”Ruang politik Pemimpin Eksekutif Hong Kong untuk bermanuver sayangnya sangat, sangat, sangat terbatas. (Saya) harus melayani dua tuan dengan konstitusi, yaitu pemerintah pusat dan rakyat Hong Kong,” kata Lam.
Belum diketahui dengan jelas bagaimana Presiden Xi akhirnya setuju dengan Lam. Keheningan para pejabat dan media massa China mengenai keputusan itu memberi kesan Beijing memang mengabulkan langkah Lam dan ingin menghentikan pembahasan isu Hong Kong.
Baca juga: Carrie Lam: China Dukung Penarikan RUU Ekstradisi
Sehari sebelum penarikan RUU, Presiden Xi membawakan pidato di Sekolah Partai dari Komite Sentral Partai Komunis pada 3 September 2019. Ia meminta pejabat partai menunjukkan tekad untuk berjuang, tetapi menyarankan agar kepemimpinan dapat menyesuaikan taktik untuk mencapai tujuan.
”Mengenai masalah prinsip, tidak ada satu inci pun yang akan dikorbankan. Namun, mengenai taktik bisa fleksibel,” ucap Xi.
Beijing kini mewaspadai gejolak baru pasca-penarikan RUU Ekstradisi di Hong Kong, yaitu tuntutan prodemokrasi melalui hak pemilihan umum. Pemerintahan Xi pun gelisah karena tuntutan ini dapat memengaruhi gerakan serupa muncul di daratan China. (AFP/REUTERS/THE NEW YORK TIMES/PASCAL S BIN SAJU)