Massa Tuntut Penghentian Aktivitas Tambang di Wawonii
›
Massa Tuntut Penghentian...
Iklan
Massa Tuntut Penghentian Aktivitas Tambang di Wawonii
Puluhan orang dari Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Wawonii menuntut agar pemerintah menghentikan segala aktivitas tambang di wilayah Wawonii, Konawe Kepulauan.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·4 menit baca
KENDARI, KOMPAS — Puluhan orang dari Perhimpunan Mahasiswa dan Masyarakat Wawonii menuntut agar pemerintah menghentikan segala aktivitas tambang di wilayah Wawonii, Konawe Kepulauan. Selain potensi konflik yang terjadi di masyarakat bisa semakin meluas, puluhan warga juga telah dilaporkan ke kepolisian meski mereka berusaha mempertahankan ladang tempat menanam.
Aksi demonstrasi puluhan orang ini berlangsung di depan Kantor Kepolisian Daerah Sulawesi Tenggara, dilanjutkan menuju Kantor Gubernur Sultra. Mereka ingin agar pemerintah segera mengambil langkah penyelesaian persoalan yang terjadi di Wawonii, terkait aktivitas pertambangan selama ini.
Haerul Bahdar, koordinator aksi, menyampaikan, pertambangan di Wawonii hanya memberikan dampak negatif kepada warga di pulau seluas 857.000 hektar tersebut. Terlebih dengan masuknya kembali perusahaan untuk mengolah lahan membuat konflik di masyarakat semakin tajam.
”Warga sekarang tidak lagi melakukan aktivitas sehari-hari dan terus berjaga di ladang. Mereka takut perusahaan akan masuk kembali untuk membuat jalan tambang dan merusak tanaman,” ujar Haerul, Rabu (11/9/2019), di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Saat ini, tambah Haerul, terdapat enam izin usaha pertambangan (IUP) yang masih aktif di Wawonii. Salah satu perusahaan tersebut adalah PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang dinilai hanya memberikan dampak negatif kepada warga sekitar, khususnya di Wawonii Tenggara. Terlebih, ketika 20 warga telah dilaporkan ke kepolisian dengan berbagai sangkaan.
Warga sekarang tidak lagi melakukan aktivitas sehari-hari dan terus berjaga di ladang. Mereka takut perusahaan akan masuk kembali untuk membuat jalan tambang dan merusak tanaman.
Oleh sebab itu, Haerul melanjutkan, pihaknya menuntut agar kepolisian menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap warga yang berusaha mempertahankan lahan. Selama ini warga berjuang untuk mempertahankan hak dan lingkungan yang lebih baik.
Tidak membutuhkan
Rizal, perwakilan massa lainnya, menuturkan, warga Wawonii tidak membutuhkan kehadiran perusahaan pertambangan. Sebab, dengan ukuran pulau yang termasuk pulau kecil, daya dukung lingkungan tidak cukup, hanya mengubah mata pencarian, dan mengancam kelestarian lingkungan.
Menurut dia, Wawonii dari dulu adalah penghasil mete yang terkenal. Masyarakat bisa hidup makmur dengan berkebun dan bertani. Pertambangan hanya mengeruk kekayaan alam dan menghilangkan mata pencarian asli masyarakat.
”Karena itu, kami menuntut Gubernur Sultra Ali Mazi untuk turun ke lapangan dan menyelesaikan persoalan tambang di Wawonii. Dan, sesuai janji dahulu agar mencabut IUP yang masih ada dan beroperasi sampai sekarang,” ucapnya.
Kepala Bagian Biro Otda Pemprov Sultra Ramadhan yang menerima perwakilan massa berjanji untuk menyampaikan aspirasi tersebut ke jajaran pimpinan. Sebab, menurut dia, Gubernur dan Wakil Gubernur sedang tidak berada di tempat.
Konflik sosial
Konflik tambang di Wawonii memang bukan kali ini saja terjadi. Awal tahun ini, massa menggelar aksi besar-besaran selama beberapa lama. Pemerintah akhirnya sepakat untuk menghentikan sementara aktivitas pertambangan di kabupaten yang baru mekar enam tahun itu. Pemprov Sultra mencabut sembilan IUP yang memang habis masa berlakunya. Di kemudian hari, perusahaan yang tersisa kembali beroperasi.
Salah satu yang telah beroperasi kembali adalah PT GKP yang sedang membangun jalan tambang dari perusahaan menuju terminal khusus. Akan tetapi, lokasi jalan tambang tersebut tepat berada di ladang tempat warga menanam bermacam tanaman selama puluhan tahun. Terhitung, telah beberapa kali perusahaan berusaha masuk untuk membangun jalan, tetapi dihadang warga.
Aksi penghadangan ini lalu dilaporkan oleh perusahaan ke pihak kepolisian. Total telah 20 warga yang dilaporkan, satu orang ditetapkan menjadi tersangka.
Direktur Operasional PT GKP Bambang Murtiyoso, dalam beberapa kali wawancara, menuturkan, pihaknya bingung jika disebut melakukan penyerobotan lahan. Sebab, lahan yang akan dijadikan jalan tambang tersebut adalah kawasan hutan produksi yang merupakan milik negara. ”Kami ini punya izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan terus membayar kewajiban. Saat ingin menggunakan hak, malah dihalangi dan dibilang menerobos,” kata Bambang, akhir Agustus lalu.
Upaya pembayaran tanam tumbuh milik masyarakat, katanya, telah berulang kali dilakukan. Pendekatan, sosialisasi, dan beragam upaya terus dilakukan agar masyarakat mau menerima pembayaran tanam tumbuh tanaman. ”Upaya musyawarah mufakat tidak berhasil, ya, kami gunakan hak kami. Pendekatan kami lakukan berulang kali, tidak serta-merta menyerobot. Kami ini mau investasi dan sudah melakukan kewajiban ke negara,” ucap Bambang.
Direktur LBH Kendari Anselmus AR Masiku yang juga kuasa hukum warga Wawoni yang terlapor menjabarkan, meski mempunyai izin dan prosedur lengkap, perusahaan tidak bisa sewenang-wenang memasuki lahan tanpa menyelesaikan semua hal di dalamnya.
Pembayaran tanam tumbuh merupakan salah satu syarat wajib yang harus dilakukan. Akan tetapi, jika masyarakat tidak berkenan, perusahaan tidak boleh memasuki lahan begitu saja. Jika ingin menyelesaikan, perusahaan sebaiknya menggugat secara perdata terkait hal ini.
”Warga mempertahankan hak dan lingkungannya. Karena itu pihak kepolisian juga seharusnya melihat kasus ini dalam tataran warga yang berjuang untuk lingkungannya. Oleh sebab itu, tidak patut untuk ditersangkakan dan ditindaklanjuti (pelaporannya),” ucapnya.