LONDON, SELASA— Upaya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menskors parlemen Inggris selama lima pekan diterapkan sejak Selasa (10/9/2019) sampai 14 Oktober mendatang. Namun, manuver Johnson itu telah berbalik menjadi bumerang yang membuatnya kehilangan kontrol terhadap parlemen.
Hanya beberapa jam sebelum skors berlangsung, parlemen bersidang maraton sampai melewati Senin tengah malam dan berhasil meloloskan UU yang mengharuskan Pemerintah Inggris menghindari Brexit tanpa kesepakatan.
Jika PM Inggris tidak berhasil meraih kesepakatan pada 31 Oktober, pemerintah wajib meminta perpanjangan tenggat selama tiga bulan sampai Januari 2020.
Namun, jika PM Johnson berhasil meraih kesepakatan dengan Uni Eropa, Inggris akan hengkang pada 31 Oktober.
Opsi ini akan menjadi beban berat bagi Johnson karena PM Theresa May berhasil meraih kesepakatan dengan UE pada November 2018, tetapi kesepakatan itu ditolak tiga kali oleh parlemen.
PM Johnson menolak keras permintaan parlemen untuk meminta perpanjangan tenggat Brexit. Johnson menegaskan, dirinya lebih memilih ”mati di selokan” daripada harus meminta perpanjangan kepada Brussels. Dalam lima pekan reses parlemen ini, ia akan mencoba mencari ”kelemahan” UU yang membuka peluang untuk tetap bisa membawa Inggris keluar UE tanpa kesepakatan.
Spekulasi mundur
Muncul sejumlah spekulasi bahwa Johnson mungkin lebih memilih mundur daripada harus ”mengemis” kepada UE untuk meminta perpanjangan tenggat. Namun, proses itu harus diinisiasi kubu oposisi.
Spekulasi lain, Brussels kemungkinan sudah lelah dengan provokasi yang dilakukan PM Inggris dan memutuskan menolak perpanjangan tenggat Brexit. Namun, UE tentunya tidak ingin dijadikan kambing hitam penyebab kacaunya proses Brexit.
Posisi Johnson saat ini semakin terjepit. Setelah memecat 21 anggota Konservatif di parlemen, jumlah kursi Konservatif makin menyusut dan tidak mampu lagi menjadi mayoritas.. Situasi itu bukan saja akan sulit bagi Johnson untuk menjalankan pemerintahan, tetapi juga sulit untuk mewujudkan percepatan pemilu.
Harapan Johnson dengan mempercepat pemilu pada 15 Oktober, Partai Konservatif akan menguasai majelis rendah dengan wakil-wakil rakyat yang sejalan dengan dirinya. Dengan demikian, opsi Brexit tanpa kesepakatan masih bisa diperjuangkan kembali.
Apa daya, kemarin parlemen untuk keduanya kalinya menolak permintaan Johnson untuk mempercepat pemilu. Kubu oposisi yang dipimpin Partai Buruh menegaskan, mereka akan mendukung percepatan pemilu jika opsi Brexit tanpa kesepakatan dihilangkan.
Kini muncul spekulasi percepatan pemilu akan dilaksanakan pada bulan November. Opsi ini butuh dukungan dua pertiga suara parlemen.