Perbaikan kualitas udara DKI Jakarta pada hari kedua implementasi perluasan ganjil genap menjadi tercemar sedang hanya berlangsung selama enam jam.
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan kualitas udara DKI Jakarta pada hari kedua implementasi perluasan ganjil genap menjadi tercemar sedang hanya berlangsung selama enam jam. Pada hari ketiga, Rabu (11/9/2019) pagi hingga siang, Jakarta kembali menempati posisi pertama kota besar berkualitas udara terburuk dengan status tidak sehat berdasarkan pantauan situs www.airvisual.com.
Selama dua hari terakhir, kualitas udara DKI Jakarta membaik menjadi tercemar sedang sejak pukul 14.00 hingga sekitar pukul 20.00, tetapi kembali memburuk pada malam hari. Kecuali di titik pantau di Kemayoran, kualitas udara sepanjang hari dengan status tidak sehat. Bahkan, pada Rabu pukul 14.00 terus memburuk menjadi sangat tidak sehat dengan indeks kualitas udara (US Air Quality Index) 209 dengan parameter debu halus PM2,5 sebesar 117 mikron dan PM10 sebesar 41 mikron.
Peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Pusat Penelitian Perubahan Iklim (Research Centre for Climate Change) Universitas Indonesia, Budi Haryanto, mengatakan, secara umum, pantauan di www.airvisual.com sebenarnya tidak representatif untuk mencerminkan kualitas udara Jakarta secara menyeluruh. Sebab, pantauan itu hanya didasarkan pada lima titik pantau.
Peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Pusat Penelitian Perubahan Iklim (Research Centre for Climate Change) Universitas Indonesia Budi Haryanto mengatakan, secara umum, pantauan di www.airvisual.com sebenarnya tidak representatif untuk mencerminkan kualitas udara Jakarta secara menyeluruh. Sebab, pantauan itu hanya didasarkan pada lima titik pantau.
Apalagi, saat perbaikan kualitas udara yang terpantau itu hanya berlangsung beberapa jam dibandingkan kondisi umum yang terpantau selama ini, yaitu didominasi tidak sehat untuk kelompok rentan dan tidak sehat.
”Selama ini tidak terlihat perubahan signifikan pada kualitas udara Jakarta. Lebih sering merah atau tidak sehat dan kadang-kadang saja kuning atau tercemar sedang. Banyak faktor juga yang bisa memengaruhi pengukuran itu, seperti faktor kecepatan dan arah angin,” katanya di Jakarta.
Dari penelitian yang dilakukan Budi, konsentrasi emisi DKI Jakarta diprediksi terus meningkat hingga tahun 2030 kecuali ada kebijakan yang diambil untuk menekan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Namun, untuk kebijakan ganjil genap yang dilakukan saat ini, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut apakah kebijakan itu betul-betul bisa mengurangi jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta atau hanya memindahkan kendaraan bermotor dari jalan yang terkena kebijakan itu ke jalan-jalan yang tak terkena aturan pembatasan mobil itu.
”Kalau sebagai bagian dari kebijakan mengurangi kendaraan bermotor, ya, bagus-bagus saja. Tetapi perlu dievaluasi apakah memang berhasil mengurangi kendaraan yang beredar, bukan hanya memindahkan,” kata Budi.
Menurut Budi, untuk memperoleh hasil evaluasi yang valid, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu memasang alat pengukur kualitas udara di banyak tempat untuk bisa mengukur keberhasilan kebijakan pengendalian kualitas udara yang diterapkan. Alat pengukur ini tidak lagi semahal dulu karena semakin canggihnya teknologi, yaitu berkisar Rp 5 juta-Rp 15 juta.
”Tidak perlu anggarkan untuk beli alat dengan harga yang miliaran rupiah, cukup alat ukur dengan harga murah, tetapi bisa ditempatkan di banyak tempat,” ujarnya.
”Tidak perlu anggarkan untuk beli alat dengan harga yang miliaran rupiah, cukup alat ukur dengan harga murah,tetapi bisa ditempatkan di banyak tempat,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menambah stasiun pengukur kualitas udara (SPKU) sebanyak dua pengukur PM2,5 dan delapan buah pada tahun 2020. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga berencana mengajukan anggaran guna membantu dua daerah di sekitar DKI Jakarta untuk membeli alat ukur. Satu SPKU diperkirakan memakan biaya Rp 5 miliar.
Logam berat
Materi PM2,5 merupakan partikel-partikel halus yang bisa jadi merupakan logam berat dan materi-materi kimia polutan dari kendaraan bermotor seperti sulfur oksida (SOx) atau nitrogen oksida (NOx). Materi logam berat dan senyawa polutan berukuran PM2,5 ini bisa masuk ke dalam tubuh manusia. ”PM 2,5 ini hanya ukuran saja, materinya bergantung pada sumber polutannya,” kata Budi.
Logam berat pun bisa terakumulasi di dalam tubuh. Dampak panjang dari paparan polusi adalah penyakit akut, mulai dari gangguan paru-paru, jantung, ginjal hingga memicu diabetes.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Mayapada, Ade Imasanti Sapardan, mengatakan, paparan polusi udara berpotensi memicu infeksi saluran pernapasan akut hingga gangguan di jaringan alveolus paru-paru karena akumulasi partikel dari polutan.
Bahkan, menurut riset yang dipublikasikan di jurnal Circulation, paparan polusi udara dalam jangka waktu panjang bisa meningkatkan risiko penebalan otot jantung dengan gejala napas pendek dan mudah lelah. Saat ini, semakin banyak pasien yang mengalami penebalan otot jantung padahal tidak mempunyai faktor risiko.
Bahkan, menurut riset yang dipublikasikan di jurnal Circulation, paparan polusi udara dalam jangka waktu panjang bisa meningkatkan risiko penebalan otot jantung dengan gejala napas pendek dan mudah lelah. Saat ini, semakin banyak pasien yang mengalami penebalan otot jantung padahal tidak mempunyai faktor risiko.
”Saya curiga ini merupakan dampak dari polusi udara, tetapi belum bisa memastikan karena belum ada penelitian ke sana,” katanya.