Rancangan KUHP Berisi Pasal-pasal yang Mempersulit Wartawan
›
Rancangan KUHP Berisi...
Iklan
Rancangan KUHP Berisi Pasal-pasal yang Mempersulit Wartawan
Sejumlah pasal yang tertuang dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai bakal menghambat kerja jurnalistik. Sengketa pemberitaan yang berujung pada proses pidana akan mempersulit hidup wartawan.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah pasal yang tertuang dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dinilai bakal menghambat kerja jurnalistik. Sengketa pemberitaan yang berujung pada proses pidana akan mempersulit hidup wartawan.
Dalam diskusi di Dewan Pers, Rabu (11/9/2019), Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, pada zaman Orde Baru, pemerintah memangkas kebebasan pers dengan memberedel surat izin penerbitan.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, polanya berganti. Wartawan diintimidasi melalui jalur hukum, salah satunya dengan mengesahkan Rancangan KUHP.
Menurut kajian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, pasal-pasal bermasalah itu meliputi pasal penyerangan kehormatan atau harkat martabat presiden dan wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang melawan penguasa; dan Pasal 262 tentang berita bohong.
Selain itu, ada juga Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 353 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara; Pasal 440 tentang pencemaran nama baik; Pasal 446 tentang pencemaran orang mati; dan Pasal 450 tentang tindak pidana pembukaan rahasia.
Menurut Abdul Manan, muatan pasal-pasal di atas berpotensi memidana wartawan. Sebut saja pasal tentang pencemaran nama baik. Situasi ini terjadi ketika ada pihak yang tidak puas terhadap pemberitaan suatu media.
”Mereka mungkin tidak bakal sampai membunuh wartawan, tetapi membuat hidupnya sulit dengan dipidanakan,” katanya.
Dia mengatakan, berurusan dengan aparat penegak hukum sangat merepotkan. Proses penulisan berita acara pemeriksaan (BAP) yang sangat lambat hingga masa menunggu penuntutan di kejaksaan yang entah kapan waktunya.
”Ketika sudah dilaporkan tindak dugaan pidana, itu akan menyita waktu dan menyita pikiran. Kapan mau bikin berita? Dan ini menjadi alat ampuh untuk menakuti wartawan,” katanya.
Diskusi itu dihadiri pula oleh anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo; Sekretaris Jenderal Serikat Perusahaan Pers Pusat Asmono Wikan; dan Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriana.
Yadi menambahkan, DPR seperti tidak menghiraukan keberatan pekerja pers. DPR tidak memahami betapa Rancangan KUHP sangat berbahaya bagi kebebasan pers. Wartawan bakal kesulitan menjadi mitra pemerintah dalam memberikan kritik yang membangun.
Oleh sebab itu, katanya, tak perlu lagi dialog. Dia mengajak membuat petisi yang ditandatangani tokoh pers, kemudian bersurat ke presiden.
Asmono menyatakan, DPR sebaiknya tidak perlu terlalu mendorong Rancangan KUHP ini segera disahkan. DPR harus menghapus pasal-pasal bermasalah yang berpotensi memangkas kebebasan pers. Iklim industri pers tetap membutuhkan pers yang bebas.
”Masa depan industri pers ini bakal mengalami kiamat kalau pasal bermasalah di Rancangan KUHP itu tetap disahkan,” katanya.
Agus Sudibyo menyatakan bahwa pada prinsipnya Dewan Pers sepakat untuk menolak Rancangan KUHP disahkan. Sebab, pasal-pasal itu akan memberangus kebebasan pers. Selain pemilu yang demokratis, kebebasan pers juga merupakan kebanggaan yang dimiliki bangsa Indonesia.
”Di sepak bola, kita kalah. Dalam percaturan perang dagang, juga demikian. Hanya kebebasan pers ini yang masih bisa kita banggakan. Kalau DPR tetap mengesahkan Rancangan KUHP, berarti mereka tidak nasionalis,” katanya.
Dihubungi secara terpisah, anggota Panja Rancangan KUHP dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, belum bisa memastikan Rancangan KUHP itu disahkan atau tidak pada periode ini. ”Jumat depan akan dibahas lagi,” katanya.