Upaya Memperkuat KPK Harus Sesuai Prinsip Lembaga Antikorupsi Dunia
›
Upaya Memperkuat KPK Harus...
Iklan
Upaya Memperkuat KPK Harus Sesuai Prinsip Lembaga Antikorupsi Dunia
Revisi Undang-Undang KPK bertentangan dengan Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) Tahun 2003 dan Pernyataan Prinsip Jakarta untuk Lembaga Antikorupsi Tahun 2012. Untuk itu, negara harus berani melindungi KPK.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Upaya memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Konvensi Antikorupsi PBB Tahun 2003 dan Pernyataan Prinsip Jakarta untuk Lembaga Antikorupsi Tahun 2012. Namun, revisi Undang-Undang KPK justru bertentangan dengan prinsip yang telah disepakati oleh ahli korupsi dari seluruh dunia itu.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dalam diskusi ”Pelemahan KPK 4.0: Mempertahankan Independensi KPK, Mempertahankan Harapan Publik” di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Selain Laode, turut hadir sebagai pembicara Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainal Arifin Mochtar, Direktur Wahid Institute Anita Wahid, dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Menurut Laode, revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK bertentangan dengan Konvensi Antikorupsi PBB (UNCAC) Tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006. Revisi UU KPK itu juga bertentangan dengan Pernyataan Prinsip Jakarta untuk Lembaga Antikorupsi yang ditandatangani sejumlah negara di Jakarta pada 2012.
”Salah satu isi Pernyataan Prinsip Jakarta itu adalah mendorong negara untuk berani melindungi lembaga antikorupsi. Pembentukan Dewan Pengawas dalam revisi UU KPK justru mengancam independensi KPK dan tidak mendukung prinsip ini,” katanya.
Salah satu isi Pernyataan Prinsip Jakarta itu adalah mendorong negara untuk berani melindungi lembaga antikorupsi.
Laode mengakui, saat ini KPK belum sempurna memberantas korupsi di seluruh Indonesia. Hal ini karena KPK hanya memiliki satu kantor dan tidak bisa menjangkau semua kasus korupsi di setiap daerah. Namun, KPK sudah mulai membenahi kekurangan ini dengan membuat kantor koordinator wilayah di sembilan regional.
Meski demikian, lanjut Laode, KPK juga secara maksimal telah melakukan tindakan pencegahan korupsi meski tidak banyak diberitakan media. Beberapa tindakan pencegahan itu mulai dari mendata izin usaha pertambangan dan kebun sawit seluruh Indonesia hingga melindungi aset perkeretaapian. Namun, hal ini dinilai bukan salah satu keberhasilan pencegahan dari KPK.
Selain itu, Laode juga menepis anggapan bahwa KPK hanya fokus pada operasi tangkap tangan. Padahal, kontribusi operasi tangkap tangan dalam kasus yang ditangani KPK diperkirakan hanya sekitar 10 persen dan 90 persen lainnya merupakan hasil pengembangan.
Zainal Arifin menyatakan, alasan DPR merevisi UU KPK dengan membuat Dewan Pengawas sebagai bentuk penguatan KPK tidak logis. Pengawasan kelembagaan tidak harus membuat lembaga baru.
”Pembuatan Dewan Pengawas sebenarnya ide yang sangat basi. Lebih konyol lagi ketika Dewan Pengawas diberi kewenangan yang besar dan dipilih oleh DPR. Padahal, ada mekanisme pengawasan di internal KPK,” ujarnya.
Pembuatan Dewan Pengawas sebenarnya ide yang sangat basi. Lebih konyol lagi ketika Dewan Pengawas diberi kewenangan yang besar dan dipilih oleh DPR.
Usman Hamid menyampaikan, Amnesty International mencatat, upaya pelemahan KPK kerap terjadi. Sasarannya adalah penyidik dan komisioner KPK. Serangan tersebut mulai dari intimidasi, ancaman pembunuhan, persekusi, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, hingga stigmatisasi.