Aryani Dwi Agustina Sitio, Kegigihan Sang Putri Betawi
Di balik perawakannya yang mungil, tersimpan semangat besar untuk mempertahankan aset tanah keluarga. Saat pertama kali belajar membatik, Tina kerap diledek keluarganya.
Di balik perawakannya yang mungil, tersimpan semangat besar untuk mempertahankan aset tanah keluarga. Saat pertama kali belajar membatik, Tina kerap diledek keluarganya. Kini, batik Betawi Terogong justru menjadi senjata ampuh untuk bertahan dari penggusuran.
Pagi itu, Tina mengajak kami berbincang di sebuah balai di bawah pohon jambu afrika. Meski sinar matahari mulai terik, udara terasa sejuk dalam naungan rindang pohon. Di lingkungan kota yang cukup asri itu, rumah keluarga besar keturunan kakek Tina, guru Minan, berada. Di depan rumah keluarga besar itu juga terdapat masjid dan sekolah yang didirikan oleh guru Minan dan istrinya.
Aset tanah keluarga itulah yang ingin dipertahankan oleh perempuan yang akrab disapa Tina ini. Sejak kecil, ia sudah terbiasa tinggal dengan dikelilingi keluarga besarnya. Mereka sering berkumpul, bercengkerama bersama. Terkadang, saat berkumpul mereka makan makanan khas, seperti nasi goreng mengkudu dan manisan cermai.
Penggusuran seolah menjadi mimpi buruk bagi keluarga Tina. Awalnya, kegelisahan itu hanya diungkapkan oleh ibunya saat melihat masifnya pembangunan infrastruktur di Jakarta. Di awal tahun 2000-an, proyek pembangunan infrastruktur memang sedang gencar dilakukan. Kampung Terogong yang terletak antara kawasan elite Pondok Indah dan Fatmawati tersebut menjadi incaran para pengembang untuk berekspansi. Tanah milik warga lokal dibeli, kemudian mereka pindah ke pinggiran Jakarta.
”Kami warga Terogong melihat sendiri bagaimana pembangunan mengelilingi kampung, air-air warga juga jadi surut. Nah, ibu saya cemas kita kena gusur karena, kan, keluarga besar sudah terbiasa kumpul dan tinggal berdekatan,” ujar Tina, Kamis (5/9/2019).
Terbersit ide dari Tina untuk melakukan sesuatu. Ia tidak mau keluarganya tercerai-berai. Apalagi, sekolah dan masjid wakaf kakeknya masih dikelola keluarganya. Awalnya, Tina ingin membuka rumah baca untuk anak-anak. Namun, ide itu lebih banyak ditentang keluarganya.
Lalu, datang ajakan dari pamannya untuk mengikuti sebuah pelatihan membatik dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2012. Saat itu, Tina kebetulan sedang cuti hamil dan tidak memiliki kesibukan apa pun. Ia langsung menyambut antusias ajakan tersebut dan datang esok paginya untuk berlatih membatik bersama pemilik Batik Semarang 16, Umi S Adi Susilo.
Setelah pertemuan pertama, Tina terlanjur jatuh cinta kepada proses membatik yang membantu pikiran menjadi tenang dan damai. Ibu tiga anak ini akhirnya membulatkan tekad untuk menjadi perajin batik Betawi. Selain mampu menambah nilai daerah Terogong, ia juga hendak menjaga warisan budaya Betawi yang semakin lama terpojok hingga sulit menjadi jawara di tanahnya sendiri.
”Saya lakukan ini bukan untuk saya, tapi untuk tanah saya. Saya ingin keluarga saya melestarikan budaya. Saya juga ingin keluarga saya tidak kena gusur. Jadi, saya berambisi untuk membuat kampung ini sebagai kampung wisata belajar batik,” ucapnya.
”Saya harus berangkat pagi sekali pukul 06.00, dan naik taksi. Sehari bisa habis biaya Rp 600.000 untuk bolak-balik Marunda-Terogong,” kata Tina.
Saat berangkat pelatihan pun, ia kerap diledek keluarganya. Sebab, keluarganya berpendapat, membatik adalah pekerjaan nenek-nenek yang tidak bersekolah. Mereka kerap mengambil pekerjaan menembok (teknik menutup warna dengan lilin) dari para tauke.
”Kalau dulu bolehlah batik pekerjaan nenek-nenek, kalau sekarang saya belajar supaya bisa jadi bosnya,” kilah Tina.
Bakat
Hanya butuh waktu dua bulan bagi Tina untuk bisa membatik. Sebab, Tina juga sudah memiliki bakat menggambar. Imajinasinya yang banyak berasal dari tumbuh-tumbuhan ia tuangkan ke dalam motif batik. Meski tidak memiliki dasar dan pengetahuan tentang batik, ia menikmati proses itu. Apalagi, saat itu dirinya sedang cuti hamil. Membatik menjadi semacam meditasi yang membuatnya merasa waktu berjalan cepat.
Setelah menguasai teknik membatik, ia mulai mengompori keluarganya. Ia ingin keluarga besarnya mau mendalami batik. Apalagi, saat itu ia mendapatkan banyak bantuan modal barang dari Pemprov DKI. Sementara itu, modal yang ia kumpulkan bersama keluarga besar dan pinjaman bank mencapai Rp 50 juta. Ia kemudian mengajak keluarga dan tetangga sekitar untuk mau belajar membatik. Fokusnya adalah untuk menjaga dan mengembangkan batik dengan motif khas Betawi.
Tahun 2013, batik Betawi Terogong mulai dikenal masyarakat. Lewat bantuan tokoh publik Kasandra Putranto dan Maudy Koesnaedi, batik Betawi Terogong dikembangkan. Maudy Koesnaedi memesan batik untuk kostum sanggar tari miliknya. Sementara psikolog Kasandra meminta bantuan untuk kegiatan program pemberdayaan ibu rumah tangga.
”Selain bantuan dari dua public figure tadi, kami juga dibantu oleh Jakarta International School (JIS). Mereka banyak berkunjung dan belajar membatik ke sini sehingga batik Terogong lebih dikenal,” ucap Tina.
Sekarang, dari total delapan anak dari kakeknya, enam keluarga mau bekerja sama mengembangkan batik Betawi Terogong. Mereka lebih banyak memasarkan produk melalui pameran atau membeli langsung ke Terogong. Batik yang diproduksi ada dua macam, yaitu batik cap dan batik tulis. Khusus batik tulis, biasanya pengerjaannya sesuai pesanan.
Ibu-ibu di sekitar Terogong pun banyak bekerja sebagai buruh untuk menembok. Mereka mengambil kain yang sudah digambari motif, kemudian diblok dengan lilin sebelum proses pewarnaan. Teknik menembok dibutuhkan untuk menghasilkan variasi warna berbeda pada batik.
Motif khas batik Betawi Terogong adalah buah mengkudu dan cermai. Selain itu, juga ada motif modifikasi, seperti ondel-ondel, gedung bertingkat, tarian Yapong, dan Monumen Nasional (Monas). Dalam setahun ada paling tidak enam sampai tujuh motif yang dikembangkan oleh rumah batik Betawi Terogong. Sejumlah motif juga sudah didaftarkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
”Motif khas batik Terogong itu ada maknanya. Cermai berarti ceria dan ramai. Makanya, sering dipakai perempuan karena perempuan ceria dan ramai. Laki-laki motifnya tebar mengkudu karena laki-laki itu tekun dan sabar emang kudu,” terang Tina.
Kini, setelah tujuh tahun berkecimpung di dunia batik, usaha rumahan batik Betawi itu terus berkembang. Berbagai motif terus diproduksi sesuai pesanan. Dan, akhirnya keluarga Tina masih bisa mempertahankan asetnya meski terjepit kawasan bisnis Fatmawati dan permukiman elite Pondok Indah. (***)
Aryani Dwi Agustina Sitio
Lahir: Jakarta, 16 Agustus 1978
Pendidikan: MI Al Hurriyah Jakarta
SMPN 86 Jakarta
SMA Taman Siswa Pematang Siantar
Universitas Muhammadiyah Jakarta
Kegiatan: melatih membatik semua kalangan, mulai dari anak sekolah hingga ibu-ibu