Belum Semua Perusahaan Sawit Melengkapi Dokumen Pemulihan
›
Belum Semua Perusahaan Sawit...
Iklan
Belum Semua Perusahaan Sawit Melengkapi Dokumen Pemulihan
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini belum seluruh perusahaan sawit pemegang hak guna usaha yang berada di areal gambut menyelesaikan dokumen pemulihan lingkungan. Pemulihan ini diperlukan untuk memastikan gambut kembali basah dan mencegah kebakaran hutan/lahan.
Selain perkebunan sawit dalam skala besar, permasalahan lain yaitu memulihkan area gambut pada kebun-kebun petani swadaya dan petani plasma. Intervensi pemerintah diperlukan agar mereka bisa memenuhi aturan serta mempersiapkan diri untuk memperoleh Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO).
“Ada 175 perusahaan sawit yang telah berkontribusi dengan memiliki dokumen pemulihan gambut serta menjalankannya. Ini willingness yang baik dan perlu diapresiasi,” kata Budisusanti, Direktur Pengendalian Kerusakan Gambut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kamis (12/9/2019), di sela-sela diskusi Pojok Iklim di Jakarta.
Ia mengatakan jumlah ini masih menyusul 75 perusahaan yang sedang berkonsultasi dalam penyusunan dokumen pemulihan. Ini hampir separuh dari total 600 perusahaan sawit ber-HGU yang berada di lahan gambut. Proses penyusunan terkesan lamban karena direktoratnya memiliki keterbatasan dalam melayani konsultasi teknis tiap perusahaan.
Sepuluh bulan lalu, sejumlah 109 perusahaan sawit dan 57 perusahaan kehutanan (hutan tanaman industri/HTI) yang melengkapi dokumen pemulihan (Kompas, 28 November 2018). Kini untuk perusahaan HTI di gambut, kata Budisusanti, seluruh 68 perusahaan telah melengkapi dokumen pemulihan.
Namun perusahaan-perusahaan yang telah memiliki dokumen pemulihan tersebut diwajibkan meninjau ulang dokumen tersebut karena penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2019 tentang Penentuan, Penetapan dan Pengelolaan Puncak Kubah Gambut Berbasis Kesatuan Hidrologis Gambut.
Setiap tiga bulan, perusahaan melaporkan kepada direktoratnya terkait perkembangan pemulihan. Selain itu, dalam penyusunan dokumen, KLHK dan perusahaan sama-sama memverifikasi fakta di lapangan.
Ini diperlukan karena perintah pemulihan gambut didasarkan pada peta peta indikatif ekosistem gambut berskala terlalu rendah, 1:250.000. Ketika peta ini diterjemahkan di lapangan dan perusahaan menyusun peta operasional 1:50.000, kondisi di lapangan bisa berubah dari sebelumnya area bergambut dalam atau kawasan lindung, menjadi area mineral atau gambut dangkal maupun sebaliknya.
Sertifikat wajib ISPO
Kepatuhan menjalankan pengelolaan gambut pada perkebunan yang beroperasi di areal gambut ini menjadi syarat perusahaan untuk mendapatkan sertifikat wajib ISPO. Namun kemampuan petani kecil untuk memenuhi sertifikasi ini masih terlalu berat.
ISPO merupakan sistem terverifikasi yang memastikan perkebunan sawit memenuhi seluruh regulasi di Indonesia. Kendala pada petani kecil atau petani swadaya dimulai dari hal mendasar seperti status kepemilikan lahan yang masih berupa surat keterangan tanah (SKT) atau bahkan bodong karena berada dalam kawasan hutan.
Azis Hidayat, Kepala Sekretariat Komisi ISPO, mengatakan, hingga kini hanya 10 sertifikat ISPO yang bisa diberikan kepada koperasi pekebun plasma maupun petani swadaya. Area kebun mereka seluas 6.236 hektar atau 0,107 persen dari luas total kebun plasma/swadaya yang mencapai 5,8 juta hektar.
Ia menjelaskan, 10 sertifikat ISPO yang diberikan kepada koperasi pekebun plasma dan petani swadaya tersebut membutuhkan upaya dan biaya yang khusus. Sejumlah perusahaan, konsultan,dan organisasi/lembaga dengan kemampuan finansial mendukung proses persiapan sertifikasi selama dua tahun.
“Biaya tidak kecil. Kurang lebih 600 juta, hanya 500 hektar yang lulus. Belum biaya sertifikatnya. Kemarin lembaga sertifikasi baik hati hanya 70 juta untuk tahun pertama,” kata dia mencontohkan.
Hingga kini, petani swadaya maupun plasma belum diwajibkan mengikuti ISPO. Kewajiban pada petani swadaya/plasma mengikuti ISPO tersebut akan diatur dalam Peraturan Presiden.