Capim KPK I Nyoman Wara: Pengelolaan Pegawai KPK Bermasalah
›
Capim KPK I Nyoman Wara:...
Iklan
Capim KPK I Nyoman Wara: Pengelolaan Pegawai KPK Bermasalah
Persoalan muncul karena pengelolaan pegawai KPK tidak merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU dan DHANANG DAVID ARITONANG
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi I Nyoman Wara menilai manajemen sumber daya manusia di KPK bermasalah. Sejumlah persoalan muncul karena pengelolaan pegawai tidak merujuk pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (capim KPK) oleh Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (11/9/2019) malam, I Nyoman Wara menjelaskan, pengelolaan pegawai KPK yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Salah satunya mengenai pengangkatan penyidik internal. Hingga saat ini, KPK masih mengangkat penyidik yang kerap disebut penyidik internal dengan mekanisme yang ditentukan sendiri oleh KPK.
”Padahal, dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah dinyatakan bahwa KPK memang bisa mengangkat penyidik sendiri, tetapi perekrutannya harus mengikuti ketentuan UU ASN,” kata Nyoman.
Nyoman menambahkan, pengelolaan pegawai yang tak mengacu pada UU ASN itu memunculkan sejumlah masalah, di antaranya ketidakjelasan status pegawai. Soal penghasilan, pola pembinaan, dan pengembangan karier pun tak jelas.
Beragam ketidakjelasan itu juga rentan menimbulkan konflik. Ini terutama di antara pegawai tetap KPK dan pegawai negeri sipil (PNS) yang diperbantukan untuk bekerja di lembaga itu.
Lebih dari itu, kata Nyoman, sistem kepegawaian yang ada saat ini membuat KPK tak solid. Dia menilai pegawai terbagi ke dalam sejumlah faksi. Hal itu berdampak pada kinerja pemberantasan korupsi yang tidak efektif dan efisien.
”Permasalahan kepegawaian di KPK dapat diminimalkan jika pengelolaannya tunduk pada UU ASN. Dengan begitu, akan ada kejelasan tentang status kepegawaian, pola pembinaan, pengembangan karier, dan penghasilan. Itu akan membuat pegawai lebih solid sehingga pekerjaan lebih efektif dan efisien,” tutur Nyoman.
Ia pun mengusulkan agar ada sistem pengawasan yang ketat terhadap kerja pegawai KPK. Pengawasan itu setidaknya dilakukan dalam tiga bentuk, di antaranya pengawasan oleh atasan langsung.
Selanjutnya, perlu ada pengawasan internal yang meliputi ranah kerja dan etik pegawai. Terakhir, pengawasan eksternal, yaitu yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Dalam uji kelayakan dan kepatutan kali ini, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem, Taufiqulhadi, mempertanyakan terkait hasil audit terhadap KPK yang wajar dengan pengeculian (WDP) pada 2018. ”Saya ingin bertanya kepada anda sebagai auditor di BPK, mengapa hasil audit KPK bisa WDP?” tanyanya.
Menanggapi hal tersebut, Nyoman mengatakan, KPK belum mampu mengelola barang sitaan dan rampasan. Hal ini menyebabkan adanya kejanggalan dari hasil audit tersebut.
”Seharusnya barang rampasan yang statusnya sudah inkrah bisa dicatat di dalam neraca sebagai aset tetap KPK. Selain itu, kami mencatat adanya perbedaan data antara laporan keuangan KPK dengan pelacakan aset, pengelolaan barang bukti dan eksekusi (Labuksi) KPK. Dalam laporan keuangan KPK jumlahnya tercatat sebesar Rp 1,063 triliun, tetapi ada beberapa barang yang belum tercatat di laporan keuangan ini,” paparnya.
Lima capim KPK telah menjalani uji kelayakan dan kepatutan kemarin. Hari ini, direncanakan uji kepatutan dan kelayakan akan diikuti oleh lima capim lainnya.
Kelima capim yang akan menjalani uji kelayakan dan kepatutan adalah Alexander Marwata (Komisioner KPK), Firli Bahuri (anggota Polri), Johanis Tanak (jaksa), Luthfi Jayadi Kurniawan (dosen), dan Roby Arya B (pegawai negeri sipil di Sekretariat Kabinet).