JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pers menampik rumor yang beredar bahwa seolah-olah lembaga independen ini kalah melawan gugatan yang diajukan Serikat Pers Republik Indonesia, Persatuan Pewarta Warga Indonesia, Wilson Lalengke dan Heintje Grontson Mandagie. Mereka menggugat keabsahan Peraturan Dewan Pers soal kewajiban wartawan Indonesia mengikuti Uji Kompetensi Wartawan yang sesuai dengan Standar Kompetensi Wartawan.
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun menyayangkan adanya pihak-pihak dan media pers tidak profesional yang membangun framing atau opini ke publik bahwa Dewan Pers sebagai Terbanding (dahulu Tergugat) diputuskan kalah oleh Majelis Hakim Tinggi PT DKI Jakarta. Hoaks tersebut bahkan menyebut pengadilan telah memenangkan perkara gugatan dari Pembanding (dahulu Pengugat I dan Penggugat II).
“Kewenangan Dewan Pers sesuai dengan fungsinya sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 ayat 2 huruf f Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pasal itu menyebut, Dewan Pers memfasilitasi organisasi-organisasi pers dalam membuat peraturan-peraturan pers. Jadi Standar Kompetensi Wartawan dan Uji Kompetensi Wartawan itu niscaya dan sudah diikuti oleh semua pemangku kepentingan pers, karena memang diperlukan,” ujar Hendry, Rabu (11/9/2019) di Jakarta.
Standar Kompetensi Wartawan dan Uji Kompetensi Wartawan itu niscaya dan sudah diikuti oleh semua pemangku kepentingan pers, karena memang diperlukan.
Menurut Hendry, kebijakan Dewan Pers bersama seluruh konstituen dalam membuat peraturan Standar Kompetensi Wartawan dan Uji Kompetensi Wartawan sudah sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh UU Pers.
Tolak gugatan
Sebelumnya, Dewan Pers menerima gugatan hukum dari SPRI dan Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI). Namun demikian, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak gugatan SPRI dan PPWI terkait peraturan standar kompetensi wartawan pertengahan Februari 2019. Majelis hakim beranggapan, pokok materi gugatannya adalah perihal permohonan pembatalan kebijakan (peraturan) Dewan Pers sehingga harus diuji apakah regulasi yang dibuat Dewan Pers bertentangan dengan undang-undang atau peraturan yang ada.
Hakim ketua Abdul Kohar mengatakan, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, maka kewenangan untuk menguji sah atau tidaknya kebijakan (peraturan) dari Dewan Pers bukan menjadi kewenangan pengadilan negeri, melainkan badan peradilan lain. Kedudukan peraturan Dewan Pers lebih rendah dari undang-undang sehingga pengujian sah atau tidaknya menjadi kewenangan Mahkamah Agung.
Bahkan, setelah penggugat menyatakan banding, dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak seluruh gugatan dari Pembanding (dahulu para Penggugat) dalam pokok perkara atau substansi perkara. Di tingkat banding Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Dewan Pers menang lagi setelah sebelumnya menang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Menurut mantan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo, pihak-pihak yang melayangkan gugatan hukum kepada Dewan Pers sebelumnya telah membentuk lembaga “Dewan Pers tandingan” bernama Dewan Pers Indonesia.
Dewan Pers Indonesia terbentuk dalam Kongres Pers Indonesia 2019 yang digelar di Gedung Serba Guna Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur pada 6 Maret 2019).
“Kalau mereka akhirnya membentuk Dewan Pers Indonesia, lalu siapa saja anggota yang akan mengadu ke mereka? Ini adalah salah satu bentuk kejahatan karena mereka mencoba mengangkangi Undang-Undang Pers. Di Indonesia hanya ada satu Dewan Pers, yaitu Dewan Pers,” kata Yosep.