Layanan Kesehatan Membaik, Penderita Kusta Masih Terpinggirkan
Kemudahan mengakses layanan kesehatan bagi penderita menjadi titik krusial dalam program eliminasi kusta. Layanan kesehatan yang ramah terhadap keterbatasan yang dimiliki penderita dan mantan penderita perlu disiapkan.
Pelayanan kesehatan terus membaik. Fasilitas kesehatan makin banyak, jumlah tenaga medis makin meningkat, dan biaya kesehatan makin terjangkau bahkan gratis. Sayangnya, perbaikan tersebut belum mampu membebaskan Indonesia dari kusta.
Penyakit purba yang bisa disembuhkan ini masih menjadi hantu bagi negeri ini. Setidaknya sepuluh tahun terakhir ini Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara dengan kasus baru kusta tertinggi di bawah India dan Brasil. Tahun lalu kasus baru kusta mencapai 17.017 kasus.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong setiap negara anggota untuk meningkatkan kualitas tenaga medis serta menyediakan pelayanan yang semudah mungkin diakses penderita kusta. Model pelayanan ini terus disarankan WHO dalam seri-seri panduan lima tahunannya.
Di Indonesia, jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis menunjukkan peningkatan. Akan tetapi, kualitas dan pendistribusiannya belum merata.
Terakhir, WHO merilis The Global Leprosy Strategy periode 2016-2020 masih dengan anjuran yang sama demi mempercepat tercapainya dunia bebas kusta. Pendeteksian awal kusta dapat dilakukan oleh dokter umum di fasilitas kesehatan dasar, seperti puskesmas.
Di Indonesia, jumlah fasilitas kesehatan dan tenaga medis menunjukkan peningkatan. Akan tetapi, kualitas dan pendistribusiannya belum merata. Puskesmas mengalami peningkatan dari 9.731 pada 2014 menjadi 10.017 pada 1 Januari 2019. Namun, di Papua dan Papua Barat belum setiap kecamatan memiliki puskesmas (rasio 1 : 0,72).
Jumlah dokter umum juga mengalami peningkatan. Pada 2018 terdapat 60.137 dokter umum yang didayagunakan di fasilitas pelayanan kesehatan. Jumlah tersebut naik 46 persen dari tahun 2015 sebanyak 41.026 dokter umum.
Sayangnya, 24,4 persen puskesmas dinyatakan kekurangan dokter umum.
Sebanyak 7,2 persen puskesmas juga belum memiliki kelengkapan obat hingga 80 persen dan vaksin penting. Wilayah dengan kondisi puskesmas yang belum baik ini paling banyak ditemukan di Provinsi Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat.
Malang, keempat provinsi tersebut sekaligus merupakan provinsi dengan temuan kasus kusta baru tertinggi. Menurut Kementerian Kesehatan pada tahun 2018, jumlah kasus baru kusta per 100.000 penduduk (case detection rate) paling banyak ditemukan di Papua Barat (101,98), Maluku Utara (56,46), Papua (54,18), dan Maluku (25,65).
Deteksi dini
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta, fungsi puskesmas diutamakan untuk upaya promotif dan preventif. Puskesmas memiliki fungsi untuk melakukan surveilans, penyuluhan, registrasi pasien, serta pemantauan dan evaluasi pengobatan sehingga tenaga medis, seperti dokter umum, diharapkan memiliki kemampuan untuk mendeteksi kusta sedini mungkin.
Namun, kualitas tenaga medis masih dinyatakan sebagai kendala dalam pendeteksian kusta. Padahal, fokus agar kegiatan pencegahan kusta mengarah pada peningkatan kapabilitas petugas kesehatan telah dicanangkan Kementerian Kesehatan sejak tahun 2011.
Pada 2017, penderita kusta masih tersebar kurang lebih di 7.548 daerah di 341 kabupaten dan kota yang mencakup wilayah kerja 1.975 puskesmas. Meski di atas kertas Indonesia telah mencapai target eliminasi kusta secara nasional, masyarakat yang masih menderita penyakit purba ini tidak boleh diabaikan.
Dari 100 responden yang diwawancari secara tatap muka, sebanyak 58 di antaranya mengaku melakukan pengobatan kusta pertama kali di puskesmas.
Puskesmas harus didorong sebagai ujung tombak pendeteksian dan pengobatan kusta. Apalagi, menurut hasil survei Litbang Kompas akhir Agustus 2019 pada warga yang merupakan penderita dan mantan penderita kusta di Perkampungan Kusta Sitanala, Kota Tangerang, Banten, peran ini krusial.
Dari 100 responden yang diwawancari secara tatap muka, sebanyak 58 di antaranya mengaku melakukan pengobatan kusta pertama kali di puskesmas. Puskesmas sebagai fasilitas terdekat yang bisa diakses masyarakat sangat perlu dilengkapi dengan tenaga medis yang berkualifikasi untuk menangani kusta dan obat yang terakses dengan mudah.
Tugas puskesmas dalam melakukan pemantauan dan penyuluhan juga masih dinilai kurang. Masih dari survei yang sama, Litbang Kompas merekam bahwa pelayanan yang bersifat ”jemput bola” belum dilaksanakan secara maksimal oleh puskesmas. Dalam satu tahun terakhir, 81,5 persen responden menyatakan tidak ada pemeriksaan kesehatan dari puskesmas. Padahal, peran tersebut penting demi memutus rantai penularan kusta.
Baca Juga: Melihat Potret Kusta di Indonesia
Rumah sakit
Di tingkat lanjutan, pemerintah mengubah paradigma pelayanan kesehatan untuk penderita kusta. Rumah sakit dengan kekhususan kusta diubah menjadi rumah sakit umum. Jumlah rumah sakit khusus kusta berangsur turun. Pada 1979, rumah sakit kusta (RSK) yang dikelola oleh pemerintah tercatat mencapai 25 rumah sakit. Pada perjalanannya, jumlah RSK makin sedikit.
Sebagai gambaran, jumlah RSK pada 2015 tercatat sebanyak 13 buah dengan 1.532 tempat tidur. Pada 2018, jumlahnya turun menjadi lima buah RSK dengan 522 tempat tidur. Sebagian besar RSK bertransformasi menjadi rumah sakit umum daerah.
Menurut basis data pada laman Sirs.yankes.kemkes.go.id yang diakses pada 5 September 2019, terdapat tujuh rumah sakit yang terdaftar sebagai RSK. Dua di antaranya merupakan rumah sakit tipe A, yaitu RSK Dr Sitanala di Kota Tangerang dan RSK Dr Rivai Abdullah di Banyuasin, Sumatera Selatan.
Tiga lainnya masuk dalam kategori tipe C, yaitu RSK Kediri milik Pemprov Jawa Timur serta RSK Lembata dan RSK Alverno Singkawang yang keduanya merupakan milik swasta. Dua rumah sakit lainnya belum terakreditasi sebagai RSK, yaitu RSU Kusta Lau Simomo di Karo, Sumatera Utara, dan RS Kusta dan Cacat Umum Bunda Pembantu Abadi di Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur.
Namun, desentralisasi layanan untuk penyakit kusta justru menjadi pisau bermata dua.
Belakangan ini, RSK Dr. Sitanala yang menjadi rujukan utama juga bertransformasi menjadi rumah sakit umum pusat. Pada situs Rsk-drsitanala.go.id disebutkan layanan unggulan yang ditawarkan oleh rumah sakit ini adalah bedah plastik, medical check-up, layanan cuci darah, operasi mata, dan spesialis jantung. Meski tidak mengunggulkan perawatan kusta, RSK Dr Sitanala tetap melayani penderita kusta.
Bahkan, status RSUP akan menambah jumlah ketersediaan pelayanan untuk penyakit lainnya sehingga penderita kusta yang memiliki komplikasi penyakit juga bisa ditangani di sini. Transformasi RSK menjadi RSU merupakan upaya pemerintah untuk tidak lagi mengeksklusifkan pelayanan bagi penderita kusta.
Namun, desentralisasi layanan untuk penyakit kusta justru menjadi pisau bermata dua. Di atas kertas, langkah ini sesuai dengan anjuran WHO agar pelayanan makin mudah diakses publik. Namun, RSU tipe B atau C belum sepenuhnya siap, misalnya dalam ketersediaan histopatologi, serologis, dan polimerase chain reaction (PCR).
Pengalaman penderita
Di tengah membaik dan meluasnya pelayanan kesehatan untuk masyarakat secara umum dan skema layanan yang lebih inklusif untuk penderita kusta, di lapangan penderita kusta justru masih mengalami kesulitan. Pemberlakuan prosedur BPJS dengan mekanisme layanan kesehatan berjenjang dan perubahan RSK Sitanala menjadi RSUP membuat penderita dan mantan penderita kusta tidak bisa langsung berobat ke RS Sitanala.
Berdasarkan pengakuan sepertiga responden penderita dan mantan penderita kusta yang diwawancari bulan lalu menyatakan sulit berobat di RSK Dr Sitanala sejak program BPJS diberlakukan. Sebelumnya, mereka bisa langsung berobat dan dirawat di rumah sakit yang hanya berjarak belasan meter dari perkampungannya. Kini, mereka harus ke puskesmas terlebih dulu dan RS rujukan pertama sebelum ke RS Sitanala.
Padahal, menurut sejarahnya, penghuni Kampung Sitanala adalah para mantan penderita kusta yang sudah dinyatakan sembuh dari perawatan RS Sitanala. Permukiman ini juga dimaksudkan untuk menampung penderita yang masih dalam proses pengobatan.
Kendala terkait prosedur layanan tersebut dikeluhkan hampir separuh (47,5 persen) responden. Proses mengurus surat rujukan, mengantre, dan mengurus kebutuhan administrasi lainnya dirasa menghambat proses berobat. Hambatan ini paling dirasakan terutama responden yang memiliki keterbatasan fisik atau cacat akibat kusta.
Kendala terkait prosedur layanan tersebut dikeluhkan hampir separuh (47,5 persen) responden. Proses mengurus surat rujukan, mengantre, dan mengurus kebutuhan administrasi lainnya dirasa menghambat proses berobat.
Akses mobilitas menuju lokasi berobat juga dinilai sebagai hambatan lainnya. Keluhan yang dinyatakan menyangkut moda transportasi (22,5 persen), jarak (24,5 persen), dan biaya transportasi (29,5 persen). Sementara itu, fasilitas layanan kesehatan yang disediakan pemerintah terkait ketersediaan dokter, tenaga medis, dan alat kesehatan dinilai sudah cukup baik untuk melayani penderita kusta. Hambatan hanya dirasakan oleh 13,5 persen responden terkait tenaga medis dan oleh 14 persen responden terkait keterbatasan alat kesehatan.
Khusus mengenai biaya pengobatan, mayoritas responden sudah terlindungi dengan BPJS Kesehatan. Hanya sekitar 4,5 persen responden yang belum memiliki kartu jaminan kesehatan dari pemerintah ini. Artinya, dari pengobatan di fasilitas kesehatan, seperti dokter dan obat, penderita tidak perlu mengeluarkan biaya.
Namun, ongkos di luar itu belum masuk perhitungan bantuan pemerintah dan dirasa menjadi beban bagi penderita/mantan penderita kusta. Empat komponen biaya berobat ditanyakan kepada responden, antara lain biaya periksa dokter, obat, transportasi, dan administrasi.
Sebanyak 82,5 persen responden menyatakan biaya transportasi ditanggungnya sendiri. Pengeluaran untuk kebutuhan administrasi, seperti penyiapan/fotokopi berkas, juga ditanggung sendiri oleh 76 persen responden. Sementara itu, biaya obat bagi sebagian orang (27,5 persen) juga masih ditanggung sendiri. Besar kemungkinan biaya obat yang dimaksud adalah biaya pengobatan tambahan yang tidak disediakan BPJS. Periksa dokter masih dibayar sendiri oleh 15,5 persen responden.
Pengobatan tuntas
Proses pengobatan yang masih memiliki kelemahan di sejumlah titik tersebut berpotensi mengurangi efektivitas program eliminasi kusta di Indonesia. Padahal, pengobatan harus dilakukan secara berkelanjutan tanpa putus minimal selama 6-12 bulan tergantung tipe kustanya. Setelah proses pengobatan pun penderita juga harus tetap dipantau. Wawancara dengan responden yang masih dalam proses pengobatan mengungkap ketidakdisplinan dalam konsumsi obat kusta.
Pengobatan kusta yang saat ini diterapkan secara global adalah terapi obat kombinasi atau multidrug therapy (MDT). Berangkat dari penelitian tersebut, pada 1995 WHO menyediakan obat MDT secara gratis pada pasien di negara-negara endemik. MDT merupakan kombinasi dari rifampicin, clofazimine, dan dapsone untuk penderita tipe kusta basah (multi basiler/MB) atau rifampicin dan dapsone untuk tipe kusta kering (pausi basiler/PB).
Metode ini sudah digunakan sejak 28 tahun lalu. Pertemuan ke-44 Majelis Kesehatan Dunia (WHA) pada 1991 di Geneva menjadi tonggak dimulainya perang terhadap penyakit kusta. Dalam pertemuan tersebut dilaporkan bahwa pengujian terhadap obat antikusta telah menunjukkan hasil yang menjanjikan.
Proses pengobatan yang masih memiliki kelemahan di sejumlah titik tersebut berpotensi mengurangi efektivitas program eliminasi kusta di Indonesia.
Uji efektivitas menunjukkan bahwa implementasi MDT pada kurun 1985-1990 berhasil menurunkan kasus kusta terdaftar hingga 30 persen terhitung pada periode 1989-1990. Penggunaan MDT pada 2.000 pasien MB yang ditindaklanjuti selama lima tahun pascapengobatan tidak menunjukkan gejala kambuh. Demikian pula dari ratusan pasien PB setelah selesai pengobatan, kurang dari satu persen pasien yang mengalami reaksi kambuh.
Metode pengobatan MDT menjadi pemantik resolusi eliminasi kusta. WHA kemudian menargetkan penurunan kasus kusta hingga kurang dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Cita-cita tersebut kemudian diturunkan dalam rencana strategis yang disusun oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam The Final Push towards Elimination of Leprosy Strategic Plan 2000-2005, WHO menargetkan eliminasi kusta hingga kurang dari 1 per 10.000 penduduk di tingkat nasional pada 2005. Setiap negara anggota didorong untuk melakukan pendeteksian dini, pengimplementasian MDT, dan pencegahan kecacatan.
Pengobatan kusta yang saat ini diterapkan secara global adalah terapi obat kombinasi atau multidrug therapy.
Indonesia sendiri masih menjadi satu dari 22 negara dengan beban kusta tertinggi. Pada 2000, eliminasi kusta di tingkat nasional sudah mencapai 0,9 dari 10.000 penduduk dan menurun menjadi 0,7 pada 2017. Namun, masih tercatat 10 provinsi dan 142 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi kusta.
Pekerjaan berat yang membutuhkan keseriusan langkah dari berbagai pihak. Tidak hanya pemerintah sebagai penyelenggara layanan kesehatan namun juga masyarakat sebagai pendukung keberhasilan dengan penghilangan stigma yang menghambat deteksi dini dan pengobatan. (ARITA NUGRAHENI/LITBANG KOMPAS)