Indonesia memiliki jumlah angkatan kerja yang besar, lebih 136 juta orang. Namun, kompetensi, produktivitas, dan etos kerjanya belum memenuhi kebutuhan industri. Tanpa upaya khusus mendongkrak kualitas mereka, bonus demografi yang mencapai puncak pada 2020-2024, bisa terlewat.
Kegagalan mengambil manfaat bonus demografi tak hanya mengancam kesinambungan pembangunan, tetapi bisa menjebak Indonesia dalam berbagai persoalan ekonomi, sosial, dan politik. Meski waktu yang tersedia sedikit, Indonesia masih punya kesempatan berbenah setidaknya sampai era bonus demografi selesai tahun 2037.
Upaya segera yang bisa dilakukan guna menyelamatkan bonus demografi adalah meningkatkan kualitas tenaga kerja. Sekitar 85-90 persen tenaga kerja yang dibutuhkan industri adalah tenaga pelaksana. Nyatanya, sebagian besar lulusan perguruan tinggi dicetak jadi perencana dan pemikir.
Tenaga pelaksana umumnya diproduksi politeknik atau program diploma perguruan tinggi. Namun, jumlah politeknik hanya 6 persen dari total perguruan tinggi. Minat masyarakat masuk politeknik juga rendah karena pendidikan masih dipandang sebagai upaya peningkatan status sosial.
Untuk mendukung penciptaan manusia unggul di periode kedua kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo menekankan pada penciptaan tenaga kerja terampil dengan memperbanyak jumlah sekolah menengah kejuruan, politeknik, dan balai latihan kerja (BLK).
Selain itu, jumlah penerima beasiswa bidik misi akan ditingkatkan dari 463.000 mahasiswa jadi 818.000 orang guna mendorong makin banyak anak mengenyam pendidikan tinggi. Program Indonesia Pintar pun diperkuat sehingga semua anak Indonesia bisa mengenyam pendidikan dasar 12 tahun.
Sementara bagi penduduk usia kerja yang tidak lagi masuk usia sekolah, BLK bisa dimanfaatkan. Pemerintah telah menyiapkan Kartu Pra-Kerja untuk 2 juta orang penerima tiap tahunnya. Sebanyak 500.000 penerima program tersebut akan mengikuti pelatihan kerja secara reguler dan 1,5 juta orang sisanya secara daring.
Pendidikan vokasi
Untuk itu, kurikulum pendidikan vokasi perlu dibenahi bersama industri hingga 70 persen materinya adalah praktik. Fasilitasnya pun harus dilengkapi dengan laboratorium yang memadai dan teaching factory. Lulusan pendidikan vokasi pun diwajibkan memiliki sertifikat kompetensi tertentu.
Kualitas guru dan dosen pun perlu ditingkatkan mengingat sebagian besar guru SMK dan dosen politeknik bukan lulusan SMK atau politeknik. Mereka juga tidak memiliki sertifikat kompetensi atau kemampuan praktis hingga sulit mengajarkan hal praktis pada siswa.
Namun, pendidikan vokasi itu diharapkan tak hanya mencetak anak Indonesia sebagai pekerja pelaksana semata. Mereka juga diharapkan bisa membangun usaha mandiri yang bisa menyerap tenaga kerja.
Selain itu, peningkatan kompetensi itu ditargetkan mampu menyiapkan anak Indonesia menghadapi revolusi industri 4.0. Namun, pelaksanaan industri 4.0 di Indonesia harus dihati-hati karena model industri itu didasari atas mahalnya biaya tenaga kerja di negara maju.
Sementara di Indonesia, memiliki jumlah tenaga kerja yang melimpah dan gaji jauh lebih rendah dibanding negara lain. Kemampuan mereka pun masih banyak yang sesuai dengan pola industri 1.0 hingga 3.0.
Selain upaya-upaya jangka pendek dan menengah untuk menyelamatkan bonus demografi, upaya jangka panjang pembangunan manusia Indonesia juga harus ditata. Pendekatan pembangunan manusia sesuai siklus hidupnya bisa diterapkan.
Pendekatan itu berarti pembangunan manusia harus disiapkan sejak sebelum perkawinan, selama 1.000 hari pertama kehidupan, masa kanak-kanak, usia sekolah, penduduk usia produktif, hingga masa lanjut usia (lansia). Pendekatan itu tak hanya menghasilkan manusia Indonesia dengan kesehatan fisik prima, namun juga mental dan emosi yang baik.
Pemerataan pembangunan juga menjadi isu penting. Butuh strategi dan kebijakan khusus dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah karena tantangan yang dihadapi setiap daerah berbeda-beda.
Selain itu, fokus pembangunan penduduk pun mulai harus melirik lansia. Selama ini, investasi pemerintah masih terfokus pada anak dan kelompok penduduk usia produktif. Jika lansia tak disiapkan sejak dini, mereka bisa jadi beban penduduk produktif hingga mengurangi manfaat bonus demografi hingga investasi negara pada anak dan penduduk produktif menjadi tidak optimal.