Negosiasi Tarif Belum Rampung, Metromini dan Kopaja Urung Gabung Jak Lingko
›
Negosiasi Tarif Belum Rampung,...
Iklan
Negosiasi Tarif Belum Rampung, Metromini dan Kopaja Urung Gabung Jak Lingko
Operator bus ukuran sedang belum bergabung dengan Jak Lingko karena belum tercapai kesepakatan tarif per kilometer dengan PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta.
Oleh
Fransiskus Wisnu Wardhana Dany
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Operator bus ukuran sedang belum bergabung dengan Jak Lingko karena belum tercapai kesepakatan tarif per kilometer dengan PT Transportasi Jakarta atau Transjakarta. Kedua belah pihak akan bertemu untuk membahas hal tersebut.
Berdasarkan kontrak dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada 15 April, operator bus sedang akan dibayar Rp 17.000 per kilometer. Akan tetapi, Transjakarta menawarkan pembayaran Rp 13.000 per kilometer.
Ketua Umum Koperasi Angkutan Jakarta Asyari Ilyas di Jakarta, Kamis (12/9/2019), mengatakan, belum ada titik temu antara operator bus sedang dan Transjakarta terkait kontrak itu. Padahal, penentuan tarif per kilometer sudah berdasarkan perhitungan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
”Kontrak dari LKPP sudah keluar. Sekarang ditawar, operator kaget. Tarif dari LKPP, kan, sudah sesuai perhitungan pemasukan dan pengeluaran operator untuk operasional dan perawatan kendaraan,” ucap Ilyas.
Operator bus sedang menganggap Transjakarta kurang serius dan tidak memahami risiko yang akan terjadi pada operator karena tarif yang tidak sesuai.
Direktur Utama PT Metromini Nofrialdi mengatakan, operator akan kesulitan membayar cicilan kendaraan dan operasional. Sebab investasi untuk 100 unit Minitrans sekitar Rp 75 miliar.
”Harga satu unitnya Rp 860 juta. Harus siapkan uang muka Rp 160 juta. Tarif segitu (Rp 13.000) tentu memberatkan pelunasan, belum lagi operasional,” kata Nofrialdi.
Denda
Ilyas menuturkan, persoalan lain adalah Transjakarta punya standar pelayanan minimal yang tinggi dengan syarat yang harus terpenuhi. Apabila tidak terpenuhi, operator akan didenda.
”Kalau tarifnya turun, harus jelas alasannya. Dengan harga sekian, harus jelas tanggung jawab dan kewajiban dari operator dan Transjakarta,” katanya.
Ilyas mengatakan, dalam memenuhi standar pelayanan minimal Transjakarta, operator mendapat bantuan perawatan kendaraan dari agen pemegang merek. Persoalannya agen pemegang merek punya standar operasional prosedur sendiri yang berbeda dengan Transjakarta.
Ia mencontohkan, operator harus mengganti ban empat kali setahun, sedangkan agen pemegang merek hanya dua kali setahun.
”Bus, kan, jalan terus. Otomatis layanan terganggu, tidak penuhi syarat akan didenda. Operator yang kena, bukan agen pemegang merek,” ujarnya.
Selain itu, waktu kerja yang berbeda turut menjadi kendala. Agen pemegang merek bekerja mulai pukul 09.00 sampai pukul 17.00. Sementara operator bekerja sampai pukul 23.00.
Setelah itu, operator harus mengecek unit untuk memastikan sistem bekerja dengan baik. Apabila ada gangguan, harus diperbaiki saat itu juga.
Agen pemegang merek bekerja mulai pukul 09.00 sampai pukul 17.00. Sementara operator bekerja sampai pukul 23.00.
”Agen pemegang merek tidak bisa memperbaiki karena di luar jam kerjanya. Otomatis operator langsung ganti rem, ban, dan lainnya jika ada gangguan. Jika tidak diganti, ada denda karena unit tidak beroperasi,” katanya.
Terkait persoalan ini, pihak Transjakarta belum memberikan tanggapan. Direktur Utama Transjakarta Agung Wicaksono belum merespons pesan dari Kompas.
Jumat (13/9/2019) akan berlangsung pertemuan antara Transjakarta, operator bus sedang, agen pemegang merek, dan instansi terkait di Badan Pelayanan Pengadaan Barang/Jasa. Pertemuan ini untuk membahas persoalan kontrak itu.