Sesuai pantauan situs www.airvisual.com, selama dua hari terakhir, kualitas udara DKI Jakarta tercemar sedang sejak pukul 14.00 hingga sekitar pukul 20.00, tetapi memburuk lagi pada malam hari.
Oleh
Irene Sarwindaningrum dan J Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sesuai pantauan situs www.airvisual.com, selama dua hari terakhir, kualitas udara DKI Jakarta tercemar sedang sejak pukul 14.00 hingga sekitar pukul 20.00, tetapi memburuk lagi pada malam hari.
Kecuali di titik pantau di Kemayoran, kualitas udara sepanjang hari dengan status tidak sehat, bahkan pada Rabu (11/9/2019) pukul 14.00 terus memburuk menjadi sangat tidak sehat dengan indeks kualitas udara (US Air Quality Index) 209 dengan parameter debu halus PM 2,5 sebesar 117 mikron dan PM 10 sebesar 41 mikron.
Peneliti perubahan iklim dan kesehatan lingkungan dari Pusat Penelitian Perubahan Iklim (Research Centre for Climate Change) Universitas Indonesia, Budi Haryanto, mengatakan, secara umum, pantauan di www.airvisual.com sebenarnya tidak representatif untuk mencerminkan kualitas udara Jakarta secara menyeluruh. Sebab, pantauan itu hanya didasarkan pada lima titik pantau.
”Selama ini tidak terlihat perubahan signifikan dalam kualitas udara Jakarta. Lebih sering merah atau tidak sehat, kadang-kadang kuning atau tercemar sedang. Banyak faktor yang bisa memengaruhi pengukuran itu, seperti faktor kecepatan dan arah angin,” katanya di Jakarta.
Dari penelitian yang dilakukannya, konsentrasi emisi DKI Jakarta diprediksi terus meningkat hingga 2030, kecuali ada kebijakan yang diambil untuk menekan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta. Namun, untuk kebijakan ganjil genap yang dilakukan saat ini perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut apakah kebijakan itu betul-betul bisa mengurangi jumlah kendaraan yang beredar di Jakarta atau hanya memindahkannya dari jalan yang terkena kebijakan itu ke jalan lain yang tak terkena pembatasan.
Menurut Budi, untuk memperoleh hasil evaluasi yang valid, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta perlu memasang alat pengukur kualitas udara di banyak tempat untuk bisa mengukur keberhasilan kebijakan pengendalian kualitas udara yang diterapkan. Alat pengukur ini tidak lagi semahal dulu karena semakin canggihnya teknologi, yaitu berkisar Rp 5 juta-Rp 15 juta. ”Tidak perlu anggarkan miliaran rupiah. Cukup alat ukur murah, tetapi bisa ditempatkan di banyak tempat,” ujarnya.
Logam berat
Materi PM 2,5 merupakan partikel-partikel halus yang bisa jadi merupakan logam berat maupun materi-materi kimia polutan dari kendaraan bermotor, seperti sulfur oksida (SOx) atau nitrogen oksida (NOx). Materi logam berat ataupun senyawa polutan berukuran PM 2,5 ini bisa masuk ke tubuh manusia.
”PM 2,5 ini hanya ukuran, materinya tergantung sumber polutan,” kata Budi.
Logam berat pun bisa terakumulasi di dalam tubuh. Dampak panjang paparan polusi adalah penyakit akut, mulai dari gangguan paru-paru, jantung, ginjal hingga memicu diabetes.
Dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Mayapada, Ade Imasanti Sapardan, mengatakan, paparan polusi udara berpotensi memicu infeksi saluran pernapasan akut hingga gangguan di jaringan alveolus paru-paru karena akumulasi partikel dari polutan.
Bahkan, menurut riset yang dipublikasikan di jurnal Circulation, paparan polusi udara dalam jangka waktu panjang bisa meningkatkan risiko penebalan otot jantung dengan gejala napas pendek dan mudah lelah. Saat ini, semakin banyak pasien yang mengalami penebalan otot jantung, padahal tidak mempunyai faktor risiko.
”Saya curiga ini merupakan dampak dari polusi udara, tetapi belum bisa memastikan karena belum ada penelitian ke sana,” katanya.
Kepala Subbidang Analisis dan Informasi Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Adi Ripaldi mengatakan, kemarau memang bisa ikut memicu penurunan kualitas udara. Salah satu faktornya, massa udara kering lebih mudah terangkat dibanding massa udara yang lembab. Partikulat debu lebih mudah terbang.
”Selain itu, aktivitas transportasi pada musim kemarau juga cenderung lebih banyak mengingat orang-orang lebih nyaman berkendara karena tidak ada hujan, tidak ada gangguan,” ucap Adi.
Catatan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, sekitar 75 persen polusi udara di Ibu Kota disumbang oleh aktivitas transportasi darat.
Adi menambahkan, warga di Jakarta mesti bersiap mengantisipasi dampak kemarau hingga satu-dua bulan lagi mengingat musim kemarau diperkirakan lebih panjang dari normalnya. Musim hujan di Jakarta yang biasanya mulai masuk pada Oktober kemungkinan baru bermula di pertengahan atau akhir November. Salah satu yang mesti diantisipasi adalah risiko dehidrasi.