”Simfoni Mata yang Indah”, Puisi untuk Ainun
Tak banyak yang mengenal Habibie sebagai penulis puisi dan pencinta seni yang bergairah. Matanya selalu berbinar-binar saat menceritakan puisi-puisi yang ia tulis dan didedikasikan buat istrinya, Hasri Ainun Besari.
Hari sudah petang ketika kabar mengejutkan itu tiba. Presiden ketiga RI Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia pada Rabu (11/9/2019) pukul 18.05 di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Kenangan-kenangan tentang lelaki bertubuh kecil ini pastilah berputar sekitar profesi utamanya sebagai teknokrat.
Hasil karya yang ditinggalkannya sebagian besar berwujud karya-karya berbasis teknologi karena ia yakin ”hanya” dengan itulah bangsa Indonesia bisa sejajar dengan bangsa lain.
Tak banyak yang mengenal Habibie sebagai penulis puisi dan pencinta seni yang bergairah. Matanya selalu berbinar-binar saat menceritakan puisi-puisi yang ia tulis dan didedikasikan buat istrinya, Hasri Ainun Besari.
Salah satu puisinya berbunyi: //Sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan tentang itu/karena aku tahu/bahwa yang pasti akan tiada pada akhirnya/Dan kematian adalah sesuatu yang pasti//. Inilah puisi yang ditulis khusus oleh Habibie kepada Ainun.
Ketika Santhi Serad dari Yayasan Habibie dan Ainun meminta saya menulis narasi untuk konser pianis Ananda Sukarlan bertajuk ”Sebuah Simfoni tentang Perempuan” , saya merasa terlalu kecil untuk seseorang dengan nama besar seperti Habibie.
Konser ini didedikasikan khusus untuk memperingati ulang tahun almarhumah Ibu Ainun Habibie, tepat pada 11 Agustus 2018. Sebagai pianis Ananda sudah membuat beberapa sesi komposisi tentang Ainun.
Beberapa hari sebelum konser benar-benar diselenggarakan, saya suntuk membuka-buka buku, mewawancarai Ilham Habibie, putra pertama pasangan Habibie-Ainun, termasuk mengobrol panjang dengan Santhi dan Ananda.
Hasil riset kecil-kecilan itu menemukan makna dari kata ”hasri ainun”, seorang anak dengan mata indah. Mata indah itulah yang pertama-tama menarik perhatian Habibie sehingga mempersunting Hasri Ainun.
Saya berangkat dari kata ”hasri ainun” untuk kemudian mengembangkan naskah dan mencari pembacanya. Ketemulah nama Maryam Supraba, aktris dan anak bungsu penyair besar bangsa ini, WS Rendra.
Maka, konser musik klasik yang diramu dengan monolog yang didedikasikan untuk Ainun Habibie berlangsung di dua tempat. Pertama di Perpustakaan Habibie untuk penonton terbatas pada 11 Agustus 2018 dan, kedua, di Soehana Hall Energi Building keesokan harinya, 12 Agustus 2018.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa pasangan yang telah mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara ini, saya mengajak Anda untuk memasuki dunia lain, dunia Habibie-Ainun yang jarang dikenal publik. Anda bisa menikmati monolog yang saya beri judul ”Simfoni Mata yang Indah” selengkapnya di sini.
Simfoni Mata yang Indah
untuk: Ainun
…..dari rahim malam yang kelam
aku datang menjengukmu dengan cinta yang menyala
kutandai seluruh jejak perjalanan kita dengan ciuman
hangat yang tak putus dipukul musim dingin….
Masih kusimpan secarik kertas biru, di mana kau pernah mencoretkan isi hatimu. Aku selalu ingat kau bilang: sebenarnya ini bukan tentang kematianmu, bukan tentang itu. Karena aku tahu bahwa yang ada pasti tiada pada akhirnya. Dan kematian adalah suatu yang pasti….
Rudy, aku tidak ke mana-mana. Kau tahu pasti itu. Sebagai perempuan dan ibu dari kedua anak kita, aku hanya kembali ke pelukan ibuku, Bunda Pertiwi. Hanya kepadanyalah segala sesuatu menjadi abadi. Begitu pula caraku memilih jalan agar kecintaan kita kepada anak-anak, dan kini kepada cucu-cucu kita, menjadi cerita yang tak habis kau kisahkan.
Bukan sebagai dongeng pengantar tidur, tetapi semoga ia menjadi cerita yang mengilhami anak-anak bangsa ini untuk berdiri tegak, mengepalkan tangan, dan berani menantang kabut kelam di ujung cakrawala sana. Sebagaimana telah kau buktikan, bahwa kita harus ambil bagian dalam gemuruh perubahan zaman. Dan zaman itu kini berada dalam genggaman anak-anak kita, cucu-cucu kita, Rudy. Hanya sekali sentuh, segalanya bisa berubah seketika atau tidak sama sekali.
Aku berkeyakinan dalam diriku, di situlah seorang ibu akan dibutuhkan sebagai penuntun jalan. Bukan berarti kau ayah yang buruk, Rudy. Tetapi seorang ibu memiliki apa yang tidak dimiliki seorang lelaki seperti dirimu, yakni: pelukan paling indah dan lembut yang pernah dirasakan seorang anak seumur hidupnya. Pelukan juga yang membuat seorang lelaki bersemangat menjalani hari-harinya di ruang kerja, lalu pulang ke rumah dengan gairah yang menyala-nyala.
Ah, aku ingin lebih lama menjadi ibu. Selepas reformasi dulu di mana kau menjadi sais dari kereta bangsa ini, aku berusaha menjadikan diriku sebagai ibu, tempat seluruh rakyatmu mengadu, wadah bagi semua peluh dan keluh, serta saluran bebas hambatan bagi segenap perempuan yang teraniaya di kaki para lelaki.
Tetapi begitulah kereta, selalu meninggalkan jejak kuda dan roda, bahkan terkadang kotoran di sepanjang jalanan. Oleh sebab itu, sampai kini aku merasa tugasku belumlah usai. Masih tersisa setumpuk pekerjaan di meja, bahkan menggunung seperti koran pagi, yang selalu menyodorkan masalah demi masalah.
Bangsa ini, seperti selalu katamu, hanya bisa maju jika memiliki perempuan yang keibuan. Sudah terlalu banyak perselisihan demi perselisihan, terlalu banyak kata-kata kebencian, terlalu banyak teriakan-teriakan yang menimbulkan kegaduhan, juga terlalu rentan disusupi kasus-kasus korupsi. Saat aku bertanya kepadamu, dari mana kita harus membereskan segalanya?
Dengan tenang kau berkata kepadaku, masalah-masalah yang kita hadapi kini, hanya bisa dibereskan dari hati seorang ibu! Aku memang perempuan, tetapi apakah aku memiliki hati seorang ibu? Kau tak segera menjawabku. Pandanganmu beralih tepat di mataku.
Katamu, jiwa seorang ibu memancar dari matamu. Aku tak pernah lupa, ketika ayahmu menceritakan perihal nama Hasri Ainun Besari. Pada mata yang indah itulah aku dan bangsa ini menumpukan impian masa depan. Pada matamu yang bening itu pulalah, saat aku berjumpa pertama, seluruh hati dan cita-cita hidup ini aku layarkan. Kepadamu, cuma kepadamu, Ainun.
Kau tahu, seluruh persoalan bangsa ini bisa dipetakan dan kemudian dibereskan lewat mata, sekali lagi mata yang keibuan. Sebab hanya dengan mata ibu, seluruh cinta, kasih, keteduhan, ketulusan, kesabaran, kejujuran, serta kerja keras, bisa mengalir sampai ke dasar jiwa, jiwa bangsa ini. Bukankah itu yang dibutuhkan sebuah bangsa yang sedang beringsut bangkit dari puing-puing api reformasi?
Rudy, jawabanmu yang dalam selalu memberiku semangat untuk bangkit. Semangat untuk terus mengabdi bersamamu. Aku tahu, aku belum menuntaskan tugas sebagaimana yang kau inginkan. Tetapi bukankah kasih seorang ibu, tak berhenti ketika ia kembali ke pelukan Bunda Pertiwi? Aku berharap, lewat angin yang berembus lembut di celah gorden rumah kita, akan mengalir spirit kehidupan, yang akan menemani hari-harimu.
Lewat bening mataku, sebagaimana yang kau simpan dalam-dalam pada ingatanmu, semoga terhampar cita-cita mulia yang membawa bangsa ini pada kemajuan. Seperti juga dirimu, aku ingin menyaksikan para perempuan tidak melulu disimpan di dapur atau bahkan dipajang sebagai manekin di toko-toko busana.
Aku ingin turut serta bermain lumpur bersama anak-anak dan para ibu di sawah-sawah pedesaan. Aku juga ingin bersama para petani menggaru tanah, lalu menanam pohon-pohon kecintaan kita semua. Jadi para perempuan tak berbeda dengan kebanyakan kaum lelaki. Sebab berdiri pada posisi setara, justru akan membawa seluruh warga negara bangsa ini, bahu membahu memberi kebaikan pada negerinya sendiri.
Kini, biarkan aku di sini, bersama Bundaku yang senantiasa memelukku di saat-saat aku merasa kesepian. Aku titipkan seluruh rasa cintaku kepada negeri ini, kepada anak-anak, dan kepada cucu-cucu kita. Semoga kelak mereka paham, bahwa rasa cinta seorang ibu tak pernah putus ditebas usia. Aku akan selalu mengingat negeriku sebagai negeri paling romantis, tempat kita pulang setelah bertahun-tahun berkelana.
Aku selalu ingat apa yang kau coretkan dari hatimu: kau dulu tiada untukku/dan sekarang kembali tiada/selamat jalan sayang/cahaya matamu/penyejuk jiwaku… Kata-katamu, sayangku, meninggalkan kenangan yang takkan terhapus ditelan waktu. Dari pelukan Bunda Pertiwi, cita-cita kita tak akan pernah padam: kita ingin negeri ini berdiri sama tinggi di hadapan bangsa-bangsa di dunia. Bertarung sama tangguh, mewujudkan angan-angan menjadi bangsa yang bermartabat di mata bangsa-bangsa besar di dunia..
……dari rahim malam yang kelam
aku datang menjengukmu dengan cinta yang menyala
kutandai seluruh jejak perjalanan kita dengan ciuman
hangat yang tak putus dipukul musim dingin……