Kegagalan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang isinya amat kuat ini antara lain disebabkan kelembagaan lemah dan pendanaan kecil.
Oleh
Brigitta Isworo Laksmi dan Ichwan Susanto
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Kegagalan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang isinya amat kuat ini antara lain disebabkan kelembagaan lemah dan pendanaan kecil. Undang Undang yang telah berusia 10 tahun itu isinya amat komprehensif, mencakup perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukumnya.
Demikian diungkapkan dalam Diskusi Panel “Review 10 tahun Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup” yang diadakan oleh Institut for Sustainable Earth and Resources bersama FMIPA Universitas Indonesia, Rabu (11/9/2019) di Depok. Diakui, ada beberapa kelemahan dalam pelaksanaan dan konsep di dalam undang-undang tersebut, namun tidak berarti undang-undang tersebut harus direvisi.
Sonny Keraf, Menteri Lingkungan Hidup (1999-2001) menegaskan, “Mohon Undang undang ini jangan direvisi dulu karena banyak hal yang sudah diatur di sini belum sepenuhnya diimplementasikan.” Di antaranya ada peraturan pemerintah yang harusnya sudah keluar namun belum diterbitkan.
Guru besar IPB Hariadi Kartodihardjo yang juga melakukan penelitian bersama KPK mengungkapkan, instrument amdal (analisa mengenai dampak lingkungan) sebagai salah satu intrumen perlindungan lingkungan hidup, dalam pelaksanaannya sering dilanggar.
“Ada 32 titik korupsi di mana kalau kita lihat uang suap setahun bisa mencapai Rp 51 triliun. Uang pembuatan amdal itu kira-kira Rp 300 juta-Rp 400 juta average. Untuk menggolkan itu tidak pernah kurang dari Rp 1,5 m,” ujar Hariadi.
“Ada 32 titik korupsi di mana kalau kita lihat uang suap setahun bisa mencapai Rp 51 triliun. Uang pembuatan amdal itu kira-kira Rp 300 juta-Rp 400 juta average. Untuk menggolkan itu tidak pernah kurang dari Rp 1,5 m.”
Menurut dia, “Mestinya ini tidak dalam konteks merevisi pasal-pasal amdalnya, … tapi ini persoalan kapasitas kelembagaan dan pendanaan.” Di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, anggaran lingkungan hidup hanya 20 persen dari seluruh anggaran KLHK. Anggaran tahun 2019 pada Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, anggaran untuk planologi Rp 1,1 triliun sedangkan tata lingkungan Rp 3,7 miliar.
Pesan lingkungan hidup tidak bisa hanya dibawa lembaga resmi lingkungan hidup tapi juga harus didukung perguruan tinggi jadi ada PASL (pusat studi lingkungan), masyarakat, dan seterusnya. Jadi tidak sesempit ini adalah sektor lingkungan.” Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik yang dikenal sebagai online single submission (OSS) adalah bentuk pelemahan secara resmi.
Lemahnya undang-undang antara lain juga terdapat dalam detil, misalnya terkait emisi gas rumah kaca yang tidak bisa dihukum bagi perusahaan yang menyebabkan emisi tersebut karena masalah gas rumah kaca belum tercantum dalam undang-undang.
Pakar hukum lingkungan UI, Andri Gunawan Wibisana, menyatakan, “Saya tidak setuju dilakukan revisi hanya karena kelemahan di detilnya. Sementara Menteri Lingkungan Hidup (2004-2009) Rachmat Witoelar mengatakan, “UU ini amat bagus namun belum efektif.”
Otonomi daerah
Persoalan lain yang mengemuka adalah jaminan negara dalam undang-undang itu tak bisa dipastikan akibat berlakunya sistem otonomi daerah. Bunyi UU PPLH antara lain menyebutkan bahwa negara menjamin hak-hak warga negara untuk mendapatkan kesejahteraan dari pemanfaatan sumber daya alam, lingkungan hidup yang sehat, dan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup.
Sebagian kewenangan perlindungan lingkungan hidup berada di daerah antara lain amdal dan izin lokasi. Sementara, pejabat dinas lingkungan di daerah tidak seringkali tidak kompeten. Pakar hukum dari guru besar Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan, sejumlah kepala dinas di beberapa daerah tidak punya kompetensi. “Dalam praktiknya, negara menjamin ini ada problem. Untuk menjamin konsekuensinya yaitu harus ada kapabilitas, juga akuntabilitas…”
Menteri lingkungan hidup pertama Indonesia, Emil Salim menegaskan pentingnya lingkungan hidup dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. “Kita memiliki bonus demografi. Kualitas SDM hanya bisa dicapai dengan kualitas lingkugnan hidup yang bagus, untuk tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan,” ujarnya.