Para Pakar Dorong Kerja Sama Industri dan Pariwisata di Laut China Selatan
›
Para Pakar Dorong Kerja Sama...
Iklan
Para Pakar Dorong Kerja Sama Industri dan Pariwisata di Laut China Selatan
Para pakar dari tujuh negara di kawasan Laut China Selatan bertemu dalam sebuah lokakarya di Batam, Kepulauan Riau. Mereka akan mengusulkan dua potensi kerja sama, yaitu bidang industri dan pariwisata.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Para pakar dari tujuh negara di kawasan Laut China Selatan bertemu dalam sebuah lokakarya di Batam, Kepulauan Riau. Mereka akan mengusulkan dua potensi kerja sama untuk memperkuat rasa saling percaya dan menimbang kemudahan akses maritim di kawasan tersebut. Dua potensi kerja sama itu adalah bidang industri dan pariwisata.
Lokakarya Penanganan Konflik di Laut China Selatan (LCS) itu diselenggarakan selama dua hari, berakhir Kamis (12/9/2019). Tercatat 54 pakar dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Laos, Taiwan, dan China hadir dalam agenda itu untuk mendorong percepatan perundingan kerja sama di level pemerintah.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri Siswo Pramono, di Batam, mengatakan, pertumbuhan ekonomi negara-negara di sekitar LCS telah berkembang pesat dalam 30 tahun terakhir. Geliat industri di sana menentukan ketersediaan pangan dan energi dunia.
Saat ini terdapat lebih dari 1.600 zona ekonomi di Asia Tenggara. Sejumlah pelabuhan baru ikut bermunculan seiring tumbuhnya kawasan industri di lokasi itu. Jalinan rantai perdagangan tersebut membuat negara-negara di sekitar LCS saling terhubung dan semakin tergantung satu sama lain.
”Pertumbuhan ekonomi di LCS saat ini lebih pesat dibandingkan dengan Eropa ataupun Amerika Serikat. Setiap tahun, aliran investasi di LCS nilainya mencapai 27 triliun dollar AS,” kata Pramono.
Menurut dia, situasi damai tanpa perang yang awet terjaga selama 50 tahun terakhir di Asia Timur tercipta karena perekonomian negara-negara di kawasan itu sangat tergantung satu sama lain. ”Kalau ada yang berbuat nakal sama tetangga berarti dia menghancurkan pasarnya sendiri,” ujarnya.
Para pakar dari tujuh negara yang hadir menilai, ketergantungan di bidang ekonomi itu bisa dikapitalisasi untuk mewujudkan rasa saling percaya di antara negara-negara LCS. Selain itu, mereka berpendapat sektor pariwisata maritim juga merupakan potensi yang strategis untuk digarap bersama di kawasan LCS.
Pengelolaan taman bumi
Kepala Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Multilateral Kemlu Dindin Wahyudin mengatakan, di lingkaran LCS ada 46 geopark (taman bumi). Kolaborasi pengelolaan taman bumi dinilai bisa mendorong pertumbuhan pariwisata sekaligus menumbuhkan kepedulian terhadap konservasi alam dan budaya.
Menurut dia, keberhasilan Malaysia mengelola Taman Bumi Langkawi patut dicontoh. Jumlah wisatawan di Langkawi meningkat dari 1,8 juta orang pada 2006 menjadi 3,5 juta orang pada 2015. Nilai investasi yang masuk juga melambung dari Rp 15,2 triliun pada 2006 menjadi Rp 43,3 triliun pada 2012.
Hal yang sama hendak ditiru Indonesia dengan membangun Taman Bumi Natuna. Tujuannya, selain untuk menciptakan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi lokal, pembangunan taman bumi di Natuna juga dirancang untuk membantu pencapaian target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
”Kerja sama menciptakan network bisa diwujudkan dengan mengombinasikan paket-paket wisata di antara taman bumi di negara-negara di LCS. Kerja sama ini akan membuat arus wisatawan mengalir dari satu negara ke negara lain,” ujar Dindin.
Ubah potensi konflik
Para pakar yang hadir dalam lokakarya itu datang dalam kapasitas pribadi. Tujuannya adalah berdiskusi dan merancang ide baru dalam suasana yang bebas dan didasari rasa saling percaya untuk mendukung percepatan upaya perundingan antarpemerintah dalam menyelesaikan konflik di kawasan LCS.
”Para pakar itu datang karena memiliki kesadaran untuk mengubah potensi konflik menjadi potensi kerja sama,” kata Pramono.
Dalam lokakarya itu muncul kesadaran bersama bahwa negara di kawasan LCS terkait satu sama lain. Momentum perang dagang yang mendorong migrasi industri ke Asia Tenggara akan terlewat jika negara-negara di kawasan itu terlalu sibuk berkonflik dan tidak memikirkan langkah kerja sama yang strategis.
Penduduk di kawasan LCS jumlahnya diperkirakan mencapai 3,5 miliar manusia, sebagian besar berada dalam usia produktif. Artinya, di satu sisi potensi itu bisa mendorong perkembangan industri manufaktur yang luar biasa, tetapi di sisi lain juga bisa menghasilkan sampah yang banyak.
Oleh karena itu, strategi pembangunan yang berkelanjutan perlu dirumuskan bersama. Pertumbuhan ekonomi harus diupayakan tanpa mengesampingkan kelestarian lingkungan. ”Jika tidak dikelola dengan baik, LCS hanya akan menjadi keranjang sampah,” ujar Pramono.