DEPOK, KOMPAS — Keragaman merupakan keniscayaan. Bangga terhadap ragam identitas diri harus disertai dengan kesadaran bahwa manusia merupakan makhluk multi identitas sebagai umat beragama, warga negara, dan bagian dari masyarakat global. Penciptaan keseimbangan ini yang memunculkan toleransi, saling menghargai, dan perdamaian.
Hal tersebut menjadi inti pembahasan dalam seminar "Perdamaian dalam Pemikiran Islam dan Filosofi Kitab Sutra Teratai" di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Jumat (13/9/2019). Kegiatan ini adalah bagian dari pameran replika manuskrip Kitab Sutra Teratai di Perpustakaan UI yang bekerja sama dengan Soka Gakkai Indonesia dan Institut Filsafat Oriental di bawah naungan Soka Gakkai Internasional.
Direktur Wahid Foundation Mujtaba Hamdi memaparkan konsep yang dikemukakan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama periode 1984-1991, Kyai Haji Ahmad Shiddiq, yaitu ukhwah islamiyah (saudara seagama Islam), ukhwah wathoniyah (saudara sebangsa dan senegara), serta ukwah basyariyah (saudara sesama umat manusia). Ketiga identitas ini harus dikelola dengan seimbang agar tidak saling mendominasi.
"Ukhwah wathoniyah ekstrem akan melahirkan gerakan seperti Nazisme di Jerman pada awal abad ke-20 atau penumpasan etnis Rohingya di Myanmar karena hanya mementingkan kelompok etnis tertentu dan meniadakan kelompok lainnya," ujar Mujtaba.
Di sisi lain, ukhwah islamiyah ekstrem menghasilkan gerakan seperti Negara Islam Iran dan Suriah (NIIS) yang menegasikan agama lain, bahkan umat Islam yang tidak sepandangan dengan NIIS. Adapun contoh ukhwah basyariyah ekstrem adalah pemerintahan fasis yang memaksakan penyeragaman rakyatnya sehingga identitas pribadi, agama, dan suku bangsa tidak diakui.
"Ekstremisme bukan fenomena mendadak, melainkan tumbuh karena ada pembiaran dalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu, penting sekali menggaungkan nilai-nilai berkesadaran bahwa kita merupakan bagian dari agama dan kelompok etnis tertentu, tetapi sekaligus juga bangsa Indonesia dan warga dunia sehingga segala tindakan tidak melanggar hak yang lain," tutur Mujtaba.
Ekstremisme bukan fenomena mendadak, melainkan tumbuh karena ada pembiaran dalam kehidupan sehari-hari.
Simbiosis mutualisme
Ketua Umum Soka Gakkai Indonesia Peter Nurhan menerangkan filosofi kesetaraan dan perdamaian dalam Kitab Sutra Teratai, kitab terpenting dalam ajaran Buddha yang mengisahkan pencerahan yang dialami oleh Siddharta Gautama dalam proses menjadi Sakyamuni. Dalam kitab itu dikisahkan Sakyamuni mengibaratkan permusuhan antar manusia bagaikan ikan yang menggelepar di air dangkal.
"Salah satu penafsirannya ialah sifat duniawi yang melekat di hati manusia semakin diperparah dengan kerusakan alam. Tidak ramahnya perbuatan manusia kepada alam mengakibatkan kita memperebutkan kelayakan hidup. Dalam prosesnya, manusia hanya mementingkan pribadi dan golongan," kata Peter.
Tidak ramahnya perbuatan manusia kepada alam mengakibatkan kita memperebutkan kelayakan hidup.
Perbedaan menjadi landasan bagi permusuhan, padahal semestinya perbedaan memperkaya mutu hidup manusia. Adanya keragaman budaya memunculkan simbiosis mutualisme di masyarakat yang memungkinkan setiap kelompok saling mengisi sesuai peran masing-masing demi kebaikan bangsa.
Ia menjelaskan konsep "Jaring Indra", yakni hubungan sebab akibat di semua komponen kehidupan. Artinya, perbuatan tidak adil kepada satu pihak akan memiliki dampak negatif kepada keseluruhan masyarakat karena mengaburkan nilai-nilai kebajikan universal.
Kekuatan narasi
Menanggapi hal ini, peneliti budaya dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI Zeffry Alkatiri menjelaskan pentingnya narasi perdamaian sebagai senjata. Hal ini berbeda dari senjata berupa teknologi arsenal layaknya yang digunakan dalam peperangan untuk merebut kekuasaan. Narasi justru memiliki kekuatan lintas golongan, seperti yang dilakukan oleh Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, dan Nelson Mandela dalam menggaungkan kesetaraan dan perdamaian.
"Perlu dijelaskan kepada masyarakat bahwa legalitas tidak berarti moralitas. Dulu, penjajahan, perbudakan, dan eksploitasi adalah legal walaupun menyakiti orang lain. Sekarang premis kebijakan wajib sejalan dengan moral, yaitu mengangkat harkat dan martabat semua manusia," ujarnya.
Sekarang premis kebijakan wajib sejalan dengan moral, yaitu mengangkat harkat dan martabat semua manusia.
Butuh pemimpin yang kuat secara politik dan memiliki sifat mengayomi rakyatnya. Di saat yang sama, butuh rakyat yang kritis dan senantiasa memastikan tidak ada pelanggaran hak dan penunaian kewajiban di masyarakat.
Sementara itu, moderator Juhdi Syarif yang juga dosen program studi Arab FIB UI mengutip sabda dari Nabi Muhammad SAW yang mengatakan bahwa perbuatan baik sekecil apapun tidak boleh dianggap remeh. Perilaku saling menghargai dalam kehidupan sehari-hari justru yang memperkuat masyarakat.
"Narasi keagamaan yang bisa diperdalam adalah konsep seseorang mengenal Tuhan ketika ia mengenal diri sendiri. Artinya, apabila kita menghormati diri sendiri tentu menyadari kewajiban menghormati orang lain pula," ucapnya.