Jangan Ambil Keputusan Strategis yang Masih Mentah
›
Jangan Ambil Keputusan...
Iklan
Jangan Ambil Keputusan Strategis yang Masih Mentah
Ada baiknya RUU KPK tidak disahkan oleh DPR periode 2014-2019. Draf RUU KPK membutuhkan diskusi yang lebih matang.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Pembahasan tentang revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan tidak dilanjutkan. Jangan sampai pemerintah dan DPR mengambil keputusan strategis yang mentah.
Pengurus Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, saat ditemui di Jakarta, Jumat (13/9/2019), menjelaskan, pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan agenda strategis yang harus disikapi sungguh-sungguh. Pemerintah dan DPR butuh kajian mendalam untuk merevisi Undang-undang KPK.
“Sekarang ini hari-hari terakhir DPR. Jangan sampai mengambil keputusan strategis yang mentah, yang justru kalau salah pilih bisa saja melahirkan kerangka kelembagaan yang membuat program strategis pemberantasan korupsi kembali ke titik awal (sebelum KPK berdiri),” katanya.
Dia menambahkan, ada baiknya RUU KPK tidak disahkan oleh DPR periode 2014-2019. Draf RUU KPK membutuhkan diskusi yang lebih matang.
Presiden Jokowi sudah mengirim surat presiden ke DPR, Rabu (11/9/2019), tanda dimulainya pembahasan RUU bersama DPR. Badan Legislatif DPR pun segera mempercepat pembahasan RUU KPK dengan menggelar rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Kamis malam. Dalam rapat kerja, Menkumham menyampaikan pandangan dan pendapat Presiden atas revisi UU KPK.
Presiden menyatakan, keberadaan Dewan Pengawas KPK dirasa perlu untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan kewenangan. Kewenangan penghentian penyidikan (SP3) juga diperlukan. Selain itu, pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, baik pegawai negeri sipil maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Hal ini dinilai sama dengan lembaga-lembaga mandiri lain, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilu. Presiden menambahkan, transisi supaya dilakukan dengan kehati-hatian.
Adapun pengaturan penyadapan akan sesuai dengan usulan DPR dalam draf RUU KPK. KPK harus memiliki izin dari Dewan Pengawas.
Adapun usulan supaya penyelidik KPK diambil dari lembaga Kepolisian Negara RI ditolak. Pemerintah menginginkan penyelidik ataupun penyidik KPK bisa berasal dari unsur ASN yang diangkat dari pegawai KPK ataupun instansi pemerintah lain dengan prosedur perekrutan yang benar.
Klausul usulan DPR mengenai kewajiban KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung juga dinilai tidak perlu. Sistem penuntutan yang berjalan saat ini dinilai sudah baik. Pengelolaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) juga tidak akan dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementerian atau lembaga lain. (Kompas, 13/9/2019).
Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Feri Amsari, berpendapat, revisi UU KPK sengaja dikebut agar satu paket dengan pemilihan calon pimpinan KPK periode 2019-2023.
Sebagaimana yang mengemuka di publik, ada nama bermasalah dalam lima komisioner KPK yang terpilih pada Jumat dinihari itu. Mereka adalah Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nurul Ghufron, Nawawi Pomolango, dan Lili Pintauli Siregar.
“Ini satu paket untuk mematikan KPK,” katanya.
Dia melanjutkan, pimpinan KPK yang diduga bermasalah tidak akan mampu merusak KPK tanpa ada kewenangan-kewenangan tertentu hasil revisi undang-undang. “Misalnya, pimpinan yang baru tidak akan mampu menggugurkan perkara-perkara besar seperti kasus bantuan likuiditas bank indonesia (BLBI), Century, dan lain-lain tanpa kewenangan SP3 (klausul revisi),” katanya.