JAKARTA, KOMPAS – Upaya restorasi ekosistem gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut atau BRG sejak 2016 belum cukup untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kendati demikian, mereka mengklaim langkah yang dilakukan sudah tepat meski membutuhkan kesabaran dari berbagai pihak.
Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead mengatakan, dibutuhkan waktu hingga puluhan tahun untuk merestorasi ekosistem gambut di Indonesia. Mengingat, saat ini ada sekitar 2 juta hektar lahan yang menjadi target BRG. Sebagai perbandingan, Jepang membutuhkan waktu 10 tahun untuk merestorasi ekosistem gambut seluas 300 hektar lebih.
“Untuk sampai pada pemulihan ekosistem gambut dengan kemungkinan terbakar nol, dibutuhkan waktu puluhan tahun,” katanya dalam Diskusi Media di Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Kendati demikian, selama ini BRG telah melakukan upaya pemulihan melalui pembasahan dengan membangun Infrastruktur Pembasahan Gambut (IPG). IPG yang dibangun misalnya melalui sumur bor dan penyekatan kanal. Bahkan di kawasan konservasi, kanal tersebut disekat dengan cara ditimbun tanah sehingga gambut tetap bisa dibanjiri air.
“Kita harus banjiri gambut setinggi mungkin pada musim hujan. Masalahnya, hal itu tidak mungkin dilakukan di kawasan permukiman,” kata Nazir.
Adapun, upaya restorasi gambut telah dilakukan BRG pada 2,67 juta hektar lahan yang meliputi 203.496 hektar lahan konservasi, 1,78 hektar lahan konsesi dan 688,752 hektar lahan lainnya. Upaya tersebut dilakukan pada 7 provinsi yakni Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Di satu sisi upaya restorasi belum usai, di sisi lain manusia masih terus berulah dengan membuka lahan dengan cara membakar. Cara tersebut masih sulit ditinggalkan. Sebab, selain murah, abu hasil pembakaran tersebut juga bermanfaat untuk menaikkan pH tanah sehingga bisa ditanami dengan tanaman seperti padi, jagung dan lain-lain.
“pH tanah di lahan gambut cukup asam sekitar 3. Maka dari itu, kami juga memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk menggunakan mikroba dalam menambah pH tanah,” kata Nazir.
Deputi Perencanaan dan Kerja Sama BRG mengatakan, kondisi lahan gambut selama ini dipantau melalui Pranata Informasi Restorasi Ekosistem (PRIMS) Gambut. Mulai dari pemetaan IPG, indeks pembasahan hingga indikasi pembukaan lahan bisa dipantau melalui PRIMS Gambut tersebut.
“Kita bisa mengecek pembangunan IPG tersebut baik dari BRG atau mitra BRG seperti masyarakat, lengkap dengan dana dan bentuknya,” katanya.
Nazir menambahkan, restorasi akan lebih efektif jika dilakukan berdasarkan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Selama ini, pemulihan masih dilakukan secara parsial. Hal ini tidak mudah dilakukan mengingat satu KHG bisa mencapai ratusan ribu hektar dan melingkupi banyak wilayah administrasi.
“Dibutuhkan satu kebijakan yang bisa mengubah pendekatan ini. Saat ini sedang disiapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),” ujarnya.
Buka data
Dalam berbagai forum dan olah data, Manajer Kampanye Pangan Air dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Wahyu A Perdana menilai, selama ini BRG kesulitan dalam pengawasan restorasi di lahan konsesi. Menurutnya, BRG sebaiknya membuka nama-nama perusahaan mana saja yang tidak patuh.
“Ini juga bisa menjadi kontrol masyarakat,” ujarnya saat dihubungi.
Menurut Wahyu, upaya restorasi gambut tidak akan efektif menekan kebakaran hutan dan lahan selama penegakan hukum tidak diperkuat. Peninjauan izin dan audit lingkungan terhadap lahan konsesi yang terus menerus terbakar perlu dilakukan.
Hingga Jumat petang, kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di sejumlah lahan gambut hingga menyebabkan kabut asap. Berdasarkan pantauan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui satelit LAPAN, terdapat 5071 titik panas (hotspot) dalam kategori sedang dan tinggi. Titik panas terbanyak berada di Kalimantan Tengah sebanyak 1.984 titik.
Kebakaran hutan dan lahan masih terjadi di sejumlah lahan gambut hingga menyebabkan kabut asap
“Water bombing sudah dilakukan di banyak lokasi tapi api belum juga padam. Total ada 9.172 personel yang sudah dikerahkan,” ujar Plt Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Agus Wibowo.
Hasil pemantauan kondisi kualitas udara dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), partikel pencemar udara ukuran 10 mikron (PM10) di Pekanbaru, Riau dikategorikan berbahaya pada Jumat siang. Adapun, pada saat yang sama, kualitas udara di Pontianak, Kalimantan Barat dikategorikan sedang.
Selain itu, pada Jumat pagi, sebaran asap juga terdeteksi memasuki wilayah Semenanjung Malaysia dan wilayah Serawak. Hal ini terjadi karena angin bertiup dari arah tenggara menuju barat laut.