Kebijakan Lokalisasi Pusat Penyimpanan Data Masih Jadi Pro Kontra
›
Kebijakan Lokalisasi Pusat...
Iklan
Kebijakan Lokalisasi Pusat Penyimpanan Data Masih Jadi Pro Kontra
Pro kontra kebijakan lokalisasi pusat penyimpanan data dan data pemulihan atau cadangan masih bergulir. Sementara pada saat bersamaan, transformasi digital di berbagai sektor industri terus berlangsung.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pro kontra kebijakan lokalisasi pusat penyimpanan data dan data pemulihan atau cadangan masih bergulir. Sementara pada saat bersamaan, transformasi digital di berbagai sektor industri terus berlangsung, salah satunya ditandai dengan pemanfaatan data.
Vice President Rubrik Asia Pasifik dan Jepang Kamal Brar, dalam wawancara terbatas dengan sejumlah media di Jakarta, Kamis (12/9/2019), menyatakan, tren yang kini berkembang adalah penempatan data pemulihan atau cadangan di penyimpanan berbasis sistem komputasi awan (cloud) publik. Public cloud disediakan oleh pihak ketiga dan digunakan bersama-sama oleh beberapa perusahaan atau perseorangan. Cara ini banyak dilakukan oleh perusahaan di Amerika dan Eropa.
Sementara di Indonesia, lanjutnya, data pemulihan atau cadangan tidak diperbolehkan ditempatkan di penyimpanan public cloud. Penempatannya harus di pusat penyimpanan data yang bersifat on premise atau privat milik perusahaan bersangkutan.
Situasi lain yang berkembang, sejumlah perusahaan penyedia perdagangan secara elektronik atau e-dagang menjalankan layanan infrastructure as a service (IAS) di public cloud. Hal ini diperbolehkan oleh ketentuan Indonesia.
Menurut Kamal, ketentuan seperti itu mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik. Dia memandang, karena tantangan regulasi ini, sejumlah pelaku industri penyimpanan data, termasuk cloud dan manajemen data, juga melakukan penyesuaian.
Penyedia penyimpanan data berbasis cloud, terutama yang biasa menawarkan public cloud, mulai masuk dan membangun infrastruktur fisik penyimpanan di Indonesia. Penyedia teknologi manajemen data, seperti Rubrik, juga beradaptasi dengan cara memasarkan penempatan data pemulihan atau cadangan secara privat.
”Meski demikian, kami telah mempunyai inovasi teknologi yang memungkinkan penempatan data pemulihan atau cadangan berbasis public cloud,” ujar Kamal.
Rubrik berkantor pusat di Amerika Serikat. Rubrik berdiri pada 2014 dan masuk Indonesia sejak 2016. Di Indonesia, Rubrik lebih banyak dipakai oleh perbankan dan perusahaan telekomunikasi.
Menurut Kamal, teknologi yang dimiliki Rubrik sebenarnya bisa dipakai oleh segala jenis sektor industri, seperti perdagangan secara elektronik atau e-dagang, perkebunan, dan manufaktur.
Sejauh ini, industri perbankan dinilai sebagai sektor industri yang paling siap bertransformasi digital. Untuk urusan data pemulihan atau cadangan terkait konsumen, misalnya, peraturan perbankan di Indonesia mengharuskan penyimpanan lima hingga sepuluh tahun. Besarnya potensi pasar inilah yang digarap salah satunya oleh Rubrik.
Kamal berpendapat, tantangan bisnis penyimpanan dan manajemen data ke depan akan tetap berkutat pada regulasi selama belum ada perubahan kebijakan. Dia secara spesifik menyoal ketentuan klasifikasi jenis data elektronik yang diperbolehkan ditempatkan di pusat penyimpanan berbasis public cloud ataupun privat di dalam negeri atau tidak.
Ketua Umum Asosiasi Cloud Computing Indonesia (ACCI) Alex Budiyanto, yang ditemui secara terpisah, mengatakan, isu finalisasi draf revisi PP No 82/2012 masih berkutat pada lokalisasi penempatan apa pun jenis data. Sejumlah pelaku industri digital nasional, seperti ACCI, tetap bersikukuh pentingnya lokalisasi. Mereka berpedoman pada pidato Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2019 yang menekankan menjaga kedaulatan data.
Revisi PP No 82/2012 didengungkan sejak dua tahun terakhir. Dalam perjalanannya, revisi tersebut mengalami pro dan kontra sehingga terjadi perubahan substansi yang direvisi.
Pada November 2018, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengatakan, salah satu poin penting adalah klasifikasi data elektronik. Data elektronik didefinisikan sebagai data berbentuk elektronik yang tidak terbatas, antara lain pada tulisan, suara, dan gambar. Klasifikasi terdiri dari data elektronik strategis, data elektronik tinggi, dan data elektronik rendah.
Dalam draf revisi per 19 Juni 2019, misalnya, Kemkominfo memasukkan poin penyelenggara sistem elektronik privat (swasta) dan publik. Pada draf revisi PP No 82/2012 Pasal 20 Ayat (2) disebutkan, penyelenggara sistem elektronik publik wajib menempatkan sistem dan data elektronik di wilayah Indonesia. Adapun pada Ayat (3), penempatan di luar wilayah Indonesia wajib mendapatkan persetujuan presiden.
Pada Pasal 21 Ayat (1) disebutkan, penyelenggara sistem elektronik swasta dapat menempatkan sistem dan data elektronik di luar wilayah Indonesia. Pada Ayat (3) dikatakan, mereka wajib memastikan efektivitas keamanannya kepada menteri.
Data elektronik strategis berasal dari sembilan instansi, antara lain administrasi pemerintahan, transportasi, dan keuangan.
”Transformasi digital bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Penyimpanan data menggunakan cloud sudah jamak dan bahkan beberapa perusahaan memanfaatkan multi-cloud. Banyak di antara mereka memakai milik penyedia global yang, menurut kami, penyedia tersebut belum patuh terhadap PP No 82/2012,” tutur Alex.
Sebelumnya, beredar kabar bahwa pemerintah berencana mengesahkan revisi PP No 82/2012 pada 16 September 2019. Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan, yang dikonfirmasi secara terpisah, menegaskan, 16 September 2019 merupakan batas akhir respons kementerian/lembaga atas naskah revisi yang diusulkan Kemkominfo.
”Tanggal 16 September 2019 bukan waktu tanda tangan menteri/lembaga. Poin perubahan yang kami usulkan tetap sama,” ujarnya tegas.
Dalam acara G-20 Ministerial Meeting on Trade and Digital Economy, Sabtu-Minggu, 8-9 Juni 2019, di Tsukuba, Jepang, isu aliran data gratis dengan kepercayaan atau data free flow with trust (DTTF) mendominasi pembahasan. DTTF adalah gagasan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe.
Dia mengatakan, negara-negara di dunia menghadapi kenyataan bahwa ”data digital” memegang peranan penting untuk segala sektor. DTTF seharusnya menjadi agenda utama dalam perekonomian dan perdagangan internasional.
DTTF terdiri atas empat prinsip utama. Misalnya, perusahaan harus mempunyai tata kelola data bertanggung jawab, terlepas di mana mereka menyimpan, memproses, ataupun mentransfer data. Regulator industri keuangan dan sekuritas, misalnya, harus fokus pada perusahaan yang menyediakan akses ke data. Jadi, fokus regulator ini bukan ke tempat data disimpan.