Kumuh di Belahan Utara Jakarta
Ribut-ribut soal Kampung Bengek menjadi pengingat bahwa masih ada kampung kumuh di Jakarta. Berbagai program pemerintah dari dulu hingga kini belum signifikan mengurangi keberadaan permukiman tak layak huni di Ibu Kota.
Kampung bengek mengacu pada kawasan yang terletak di Kampung Baru, RW 017 Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Disebut bengek karena citra kumuh yang muncul dari pemandangan di kampung itu. Pada lahan milik salah satu BUMN ini, warga mendirikan hunian rumah panggung semipermanen di atas lautan sampah. Wilayah seluas satu RW ini tadinya semacam rawa yang dijadikan tempat pembuangan sampah.
Setelah media massa mengangkat pemberitaan tentang kampung kumuh, sejumlah pemangku kepentingan DKI Jakarta mendatanginya. Tak kurang dari Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menengok kondisi kampung kumuh dan memerintahkan dilakukan pembersihan. Namun, upaya itu tak begitu saja bisa dilakukan.
Peristiwa ini mengindikasikan sulitnya menangani kekumuhan di Jakarta. Bisa dibayangkan jika kondisi kumuh itu tak diberitakan media, atau tak ada yang memerintahkan pembersihan kawasan kumuh. Bisa dipastikan kondisi tak sehat akan terus berlangsung. Belum lagi menyelesaikan persoalan manusia yang menempatinya. Hendak dibawa ke mana ribuan manusia yang berada di dalamnya.
Kawasan kumuh liar sebenarnya adalah salah satu dampak dari migrasi ke perkotaan. Kaum migran yang berasal dari golongan menengah ke bawah dan sebagian besar bermata pencarian di sektor informal cenderung mencari tempat tinggal di pusat kota. Hal ini dilakukan supaya tak terlalu jauh dari lokasi pekerjaan yang membutuhkan transportasi.
Namun, karena harga lahan dan rumah di pusat kota semakin mahal, kaum migran memilih untuk tinggal secara ilegal di tanah yang terlarang untuk bangunan atau tanah bukan milik mereka. Lahan kosong yang mudah untuk ditinggali pada umumnya bantaran sungai dan rel kereta api. Di Jakarta, kebanyakan permukiman kumuh berada di wilayah utara (Jakarta Utara dan Jakarta Barat). Tahun 2011, ada 96 RW kumuh di Jakarta Utara dan 92 RW kumuh di Jakarta Barat. Tahun 2013, Jakarta Utara dan Jakarta Barat sama-sama memiliki 55 RW kumuh.
Dari 31 kelurahan di Jakarta Utara, sebanyak 18 kelurahan di antaranya memiliki RW kumuh. Adapun di Jakarta Barat, dari 56 kelurahan, terdapat 17 kelurahan yang memiliki RW kumuh. Wilayah kelurahan yang memiliki RW kumuh di Jakarta Barat umumnya berbatasan dengan Jakarta Utara. Kelurahan itu adalah Tomang dan Wijaya Kusuma, serta Kelurahan Kalianyar, Duri Selatan, Tanah Sereal, Kredang, dan Jembatan Besi. Ada pula Kelurahan Krukut, Tangki, Keagungan, Pinangsia, Kapuk, Cengkareng Timur, dan Cengkareng Barat.
Mengapa permukiman kumuh lebih banyak berlokasi di belahan utara Jakarta? Jawabannya, hal itu terkait dengan keberadaan pusat perekonomian, seperti pelabuhan, pusat perbelanjaan, dan industri yang berpusat di utara serta barat Jakarta. Salah satu pola spasial permukiman kumuh di perkotaan adalah berlokasi di lingkar luar yang mengelilingi pusat perekonomian untuk kota metropolis (Tambunan, 1991).
Program-program
Permukiman penduduk yang padat menyebabkan kondisi lingkungan kota menjadi buruk. Kawasan kumuh padat penduduk ini juga disebut dengan istilah slum area. Penanganan permukiman kumuh tak henti dilakukan oleh Pemerintah DKI dan pemerintah pusat sejak dulu. Litbang Kompas mencatat sejumlah program.
Pembenahan kawasan kumuh diawali dengan Program Muhammad Husni Thamrin (MHT) pada periode 1969-1999. Program yang dicetuskan Gubernur Ali Sadikin ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dengan membangun sarana prasarana fisik, seperti jalan kampung, drainase, sanitasi, fasilitas air minum, sampah, puskesmas, dan sekolah.
Setelah sempat berhenti, program penanganan hunian kumuh dilanjutkan lagi dengan nama Program MHT Plus (2006). Program ini menggunakan APBD dan membentuk beberapa kelompok swadaya masyarakat agar masyarakat mandiri menjaga kampung mereka. Pada 2013, Program MHT Plus dilanjutkan dengan menggunakan dana sejumlah perusahaan lewat Program CSR.
Pada masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, dijalankan program yang berbeda, yakni Kampung Deret. Program perbaikan kampung selama 2013-2014 itu dilakukan pada kampung yang berdiri di lahan legal. Namun, program berhenti tahun 2014.
Gubernur Djarot Saiful Hidayat pada 2017 melaksanakan Program Bedah Rumah dengan menggunakan dana CSR perusahaan. Perbaikan rumah kumuh, rusak, dan tak layak huni dilakukan di beberapa kelurahan di Jakarta Utara.
Selain Kotaku, program terakhir yang berjalan adalah Community Action Plan (CAP), yang merupakan kerja sama pemerintah dan warga untuk membangun kampung. Program itu bertujuan untuk mendorong warga agar lebih mandiri merencanakan, melaksanakan, dan memelihara kualitas permukiman. Program CAP dicanangkan sejak 14 Januari 2018 oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Era kolonial
Permukiman kumuh di Jakarta sudah ada sejak era kota Batavia di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Namun, dahulu penyebabnya bukan urbanisasi, melainkan segregrasi kelas sosial yang diterapkan pemerintahan kolonial. Penduduk dibedakan antara warga Eropa sebagai kelas satu dan warga pribumi sebagai warga kelas tiga. Adapun warga kelas dua adalah Tionghoa, Arab, dan India.
Warga Indonesia tidak boleh tinggal di dalam benteng Belanda di Batavia. Akibatnya, warga pribumi bermukim menyebar di luar tembok benteng. Menurut buku Jakarta Sejarah 400 Tahun (Blackburn, 2012), pada tahun 1730 diperkirakan terdapat 10.000-15.000 orang yang tinggal di pinggiran kota Batavia. Nelayan dan pelaut Jawa tinggal di tepi barat laut, tepat di luar tembok kota, dengan drainase tidak memadai.
Pada abad ke-19, permukiman kumuh di Batavia semakin padat, terutama di pondokan tempat para kuli tinggal. Kebakaran dan banjir mengancam setiap saat. Digambarkan oleh Blackburn, rumah beratap rumbia berderet tanpa sela. Satu rumah rata-rata berukuran 70 meter persegi yang dihuni puluhan orang. Di belakangnya ada sungai yang tepiannya dihiasi jejeran jamban umum.
Pada masa kolonial, Batavia menjadi magnet perekonomian, baik sebagai kota perdagangan, jasa, ataupun pelabuhan. Meski kaum pribumi saat itu tinggal di luar benteng Batavia, tempat tinggal mereka tak jauh dari pusat aktivitas perekonomian. Kecenderungan tersebut terjadi hingga sekarang.
Belahan utara Jakarta yang sebagian wilayahnya merupakan bagian dari Jakarta Barat tetap menjadi magnet perekonomian. Kecamatan Pademangan di Jakarta Utara, misalnya, berada di kawasan perdagangan dan jasa Mangga Dua.
Penelitian Pola Persebaran Permukiman Kumuh di Kecamatan Pademangan (Khairunisa dkk, 2017) menyebutkan, permukiman kumuh tersebar pada area yang berjarak kurang dari 10 meter dari sungai. Semakin jauh dari sungai, area permukiman kumuh kian sedikit. Selain itu, permukiman kumuh juga tersebar pada area berjarak kurang dari 20 meter dari rel kereta. Semakin menjauh dari rel, area permukiman kumuh kian berkurang.
Persentase kumuh turun
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2016 persentase rumah tangga kumuh perkotaan di Jakarta turun menjadi 11,02 persen setelah pada tahun sebelumnya menyentuh 13,25 persen. Angka kekumuhan ini tertinggi di Jawa.
Sebelumnya, pada 2013, BPS DKI Jakarta mengeluarkan hasil survei RW kumuh di Jakarta. Dari data survei, sebanyak 223 RW termasuk dalam kategori kumuh, baik sangat ringan, ringan, sedang, maupun berat. RW kumuh tersebut berada di 181 kelurahan dari 261 kelurahan dengan luas 1.024,52 hektar.
Kondisi tahun 2013 lebih baik dibandingkan tahun 2008 yang mencapai 415 RW kumuh. Luasan RW kumuh tahun 2008 mencapai 1.493,27 hektar. Adapun data Potensi Desa 2014 mencatat, jumlah keluarga di permukiman kumuh di Jakarta Utara adalah yang terbanyak (dengan rata-rata lebih dari 1.276 keluarga).
Menurut penelitian Bappenas (2013), mayoritas responden yang tinggal di kawasan kumuh, baik di bantaran sungai, rel, maupun pantai menyebut dekat dengan keluarga/kerabat sebagai alasan menetap di kawasan itu.
Keluarga yang tinggal di area kumuh sudah turun temurun dua hingga tiga generasi, khususnya warga di pinggir sungai dan rel. Seperti disebut dalam penelitian tersebut, ada sekitar 40 keluarga yang tinggal di pinggir sungai dan rel masing-masing lebih dari 30 tahun. (Litbang kompas)