Pada 2020, Belanja Bunga Utang Nyaris Setara Defisit APBN
›
Pada 2020, Belanja Bunga Utang...
Iklan
Pada 2020, Belanja Bunga Utang Nyaris Setara Defisit APBN
Pada 2020, pembayaran belanja bunga utang pemerintah pusat nyaris setara dengan pembiayaan defisit APBN. Belanja bunga utang relatif tinggi seiring dengan peningkatan utang baru, ditambah beban utang masa lalu.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pada 2020, pembayaran belanja bunga utang pemerintah pusat nyaris setara dengan pembiayaan defisit APBN. Belanja bunga utang relatif tinggi seiring dengan peningkatan utang baru, ditambah beban utang masa lalu.
Dalam Rancangan APBN 2020, alokasi belanja bunga utang Rp 295,21 triliun, hanya selisih Rp 11,99 triliun dari defisit anggaran. Pemerintah mematok defisit APBN 2020 sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76 persen produk domestik bruto (PDB).
Pembayaran bunga utang menjadi pengeluaran terbesar dalam belanja pemerintah pusat tahun 2020, setelah belanja pegawai dan belanja barang. Belanja bunga utang tahun 2020 meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan tahun 2015 yang sebesar Rp 156 triliun.
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri, yang dihubungi Kompas, Jumat (13/9/2019), mengatakan, kenaikan belanja bunga utang disebabkan utang pemerintah yang semakin besar. Per Juli 2019, total utang pemerintah pusat Rp 4.603,62 triliun.
Utang pemerintah pusat terdiri dari surat berharga negara Rp 3.820,9 triliun dan pinjaman Rp 782,72 triliun.
Selain utang yang membesar, kenaikan belanja bunga utang dipengaruhi penerbitan surat utang (obligasi) masa lalu. Mayoritas obligasi bertenor jangka panjang dengan tingkat bunga atau kupon cukup tinggi, terutama obligasi berdenominasi dollar AS. Tingkat bunga bisa di atas 7,7 persen untuk obligasi yang diterbitkan saat krisis ekonomi tahun 2008.
”Jadi, walaupun suku bunga saat ini terus turun, pemerintah masih harus membayar bunga utang masa lalu yang relatif tinggi. Tenor utang juga jangka panjang mencapai 30 tahun,” kata Yose.
Menurut Yose, belanja bunga utang akan terus membebani APBN selama tingkat bunga obligasi pemerintah tinggi. Saat ini bunga obligasi yang ditawarkan Indonesia lebih tinggi berkisar 3-4 persen dibandingkan dengan negara lain. Bunga obligasi yang tinggi turut mencerminkan risiko makro ekonomi Indonesia.
Sejauh ini kemampuan pemerintah membayar bunga dan cicilan utang cukup baik dan aman. Namun, tingginya belanja bunga utang tetap membebani APBN apalagi alokasinya hampir setara dengan pembiayaan defisit. Bunga utang bisa diturunkan dengan reformasi struktural yang konsisten dan berkelanjutan.
”Jika risiko ekonomi semakin kecil, bunga obligasi akan turun. Stabilitas makro ekonomi dan reformasi struktural jadi kunci,” kata Yose.
Tingginya belanja bunga utang tetap membebani APBN apalagi alokasinya hampir setara dengan pembiayaan defisit.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengonfirmasi, kenaikan belanja bunga utang karena utang pemerintah pusat meningkat. Meski demikian, utang tetap digunakan untuk kegiatan produktif, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.
Dalam Rancangan APBN 2020, pemerintah juga menurunkan target penerbitan surat berharga negara (SBN) neto untuk pembiayaan utang menjadi Rp 389,22 triliun. Adapun proyeksi tahun 2019 sebesar Rp 381,83 triliun.
Luky menambahkan, strategi pembiayaan utang tahun 2020 tetap fleksibel. Penurunan target penerbitan SBN neto mempertimbangkan kondisi perekonomian global yang cukupi rentan. Terlebih, ada indikasi terjadi resesi di sejumlah negara maju. Pemerintah harus meningkatkan kehati-hatian.
Peringkat utang
Kepala Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu menuturkan, belanja bunga utang menjadi salah satu sumber inefisiensi APBN. Setiap tahun bunga utang yang harus dibayar pemerintah rata-rata Rp 200 triliun atau sekitar 11 persen dari total alokasi belanja APBN.
Belanja bunga utang bisa berkurang seiring kenaikan peringkat utang Indonesia. Semakin tinggi peringkat utang, tingkat bunga obligasi akan semakin rendah sehingga biaya bunga utang bisa lebih murah.
Menurut Febrio, senjata paling efektif untuk meningkatkan peringkat utang Indonesia adalah disiplin fiskal. Pemerintah mesti menjaga defisit APBN di bawah 2,5 persen PDB secara konsisten dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Untuk itu reformasi struktural harus dilakukan berkelanjutan.
”Citra mengelola fiskal yang sangat hati-hati perlu dipertahankan agar peringkat utang terus naik sehingga bunga utang bisa jauh lebih murah,” kata Febrio
Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P), Fitch Ratings, dan Moody’s Investor Service menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia dari BBB- jadi BBB salah satunya atas pertimbangan disiplin fiskal. Pemerintah dinilai berhasil menjaga defisit APBN 2018 rendah, yakni 1,79 persen.
Setelah ketiga lembaga itu menaikkan peringkat utang Indonesia, bunga obligasi pemerintah tenor 10 tahun turun menjadi 7,7 persen dari sebelumnya di atas 8 persen. Jika Indonesia bisa naik satu peringkat lagi ke level BBB+, sangat mungkin belanja bunga utang kurang dari Rp 100 triliun.
Febrio menambahkan, kenaikan peringkat utang akan berdampak luas. Alokasi belanja bunga utang bisa dialihkan ke belanja yang lebih produktif, seperti pembangunan infrastruktur atau peningkatan dana desa. Realokasi belanja memberi stimulus terhadap pertumbuhan ekonomi.