Pemugaran Benteng Ujungpandang — juga dikenal sebagai Fort Rotterdam — pada awal tahun 1970-an, sempat diwarnai kontroversi. Kegiatan proyek yang disokong Pangeran Bernhard dari Belanda itu, memberi angin segar demi hadirnya ruang ekpsresi seni budaya yang reprsentratif bagi para seniman di Sulawesi Selatan. Namun, di sisi lain, kegiatan proyek fisik tersebut menguak kisah miris eksistensi institusi kesenian.
Harian Kompas edisi 13 September 1973 memberitakan, Akademi Kesenian Makassar (AKM) harus “angkat kaki” dari kompleks benteng sehubungan rencana pemugaran benteng tersebut. Selama ini, AKM sejak berdiri tahun 1969, memang menumpang di gedung nomor 6 dalam kompleks benteng peninggalan Raja Gowa ke-9 itu. Secara keseluruhan benteng ini seluas 2,5 hektar, di dalamnya terdapat 16 buah bangunan dengan luas 11.605,85 meter persegi.
Jawatan Kebudayaan Sulawesi Selatan memandang kondisi fisik gedung sudah rapuh. Dimintanya AKM hengkang sementara dari benteng. Langkah ini mengonfirmasi kisah jamak di berbagai daerah akan lemahnya posisi tawar komunitas seni di mata birokrasi. Sudah jadi pengetahuan umum, para seniman di sejumlah daerah Tanah Air tidak memiliki bangunan permanen yang dikelola secara otonom.
Di mana-mana komunitas seni hanya bertatus “menumpang” di bangunan pemerintah, atau cukup puas dibiayai dengan APBD yang jauh dari standar memadai untuk pembinaan kesenian. Bisa jadi, para komunitas seni di daerah, “cemburu” melihat para koleganya di Ibu Kota yang dapat berekspresi di Taman Ismail Marzuki dengan nyaman dan leluasa.
Panglima Komando Wilayah Pertahanan III, Letjen AJ Witono, berbaik hati menampung sementara barang-barang seni AKM, mencakup lukisan, patung-patung, dan properti pendukung. Masalahnya, ruang yang disiapkan di kediaman panglima, tidak memadai untuk menampung benda-benda seni milik AKM.
Pemugaran benteng itu akhirnya tuntas setahun kemudian dan alhasil menjawab impian seniman akan hadirnya ruang ekspresi yang representatif. Klub teater, tari, dan musik dari kampus belum terlegitimasi jika belum tampil di sini. Salah satu pementasan yang menyedot perhatian dunia adalah pertunjukan teater epos I La Galigo tahun 2011. Festival sastra tahunan, Makassar International Writers Festival (MIWF) yang dimulai tahun 2012 juga rutin dihelat di sini.
Salah satu bangunan di tengah benteng menjadi saksi bisu dibahasnya isu-isu kritis. Contohnya, ketika pembangunan mal di “alun-alun” (lapangan) Karebosi tahun 2008 ditentang aktivis lintasbidang. (NAR)