Presiden akhirnya memberikan keterangan mengenai sikap pemerintah atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Oleh
Nina Susilo
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Presiden akhirnya memberikan keterangan mengenai sikap pemerintah atas revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. RUU inisiatif DPR ini akan disepakati dalam beberapa hal. Klausul penyadapan oleh KPK memerlukan izin Dewan Pengawas, KPK juga akan memiliki kewenangan menghentikan perkara.
Dalam keterangan pers di Istana Negara, Jakarta, Jumat (13/9/2019) pukul 10.00, Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko.
”Kita tahu UU KPK telah berusia 17 tahun, perlu penyempurnaan secara terbatas sehingga pemberantasan korupsi makin efektif. Kita jaga agar KPK tetap lebih kuat dibanding lembaga lain dalam pemberantasan korupsi,” ujar Presiden.
Presiden tidak menyetujui substansi yang berpotensi mengurangi kewenangan KPK. Namun, keberadaan Dewan Pengawas dirasa perlu untuk meminimalkan potensi penyalahgunaan kewenangan. Dewan Pengawas diambil dari tokoh masyarakat, akademisi, atau pegiat antikorupsi, bukan politisi, birokrat, atau aparat penegak hukum aktif.
Kewenangan penghentian penyidikan (SP3) juga diperlukan. ”Sebab, penegakan hukum harus menjadi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan memberikan kepastian hukum. Kalau DPR (meminta) maksimal satu tahun, kami minta dua tahun supaya memberikan waktu memadai bagi KPK untuk memberikan SP3 yang bisa digunakan ataupun tidak digunakan,” tutur Presiden.
Selain itu, pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara, baik pegawai negeri sipil maupun pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Hal ini dinilai sama dengan lembaga-lembaga mandiri lain, seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilu. Presiden menambahkan, transisi supaya dilakukan dengan kehati-hatian.
”Intinya, KPK harus tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai dan harus lebih kuat dibandingkan dengan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi,” ujar Presiden.
Adapun pengaturan penyadapan akan sesuai dengan usulan DPR dalam draf RUU KPK. KPK harus memiliki izin dari Dewan Pengawas.
”Saya tidak setuju jika KPK harus memperoleh izin dari pihak eksternal untuk melakukan penyadapan, misalnya harus izin ke pengadilan. KPK cukup memperoleh izin internal dari Dewan Pengawas untuk menjaga kerahasiaan,” lanjut Presiden.
Intinya, KPK harus tetap memegang peran sentral dalam pemberantasan korupsi. Karena itu, KPK harus didukung dengan kewenangan dan kekuatan yang memadai dan harus lebih kuat dibandingkan dengan lembaga lain dalam pemberantasan korupsi.
Adapun usulan supaya penyelidik KPK diambil dari lembaga Kepolisian Negara RI ditolak. Pemerintah menginginkan penyelidik ataupun penyidik KPK bisa berasal dari unsur ASN yang diangkat dari pegawai KPK ataupun instansi pemerintah lain dengan prosedur perekrutan yang benar.
Klausul usulan DPR mengenai kewajiban KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung juga dinilai tidak perlu. Sistem penuntutan yang berjalan saat ini dinilai sudah baik.
Pengelolaan laporan harta kekayaan pejabat negara (LHKPN) juga tidak akan dikeluarkan dari KPK dan diberikan kepada kementeriam/lembaga lain. ”Saya minta LHKPN tetap diurus oleh KPK sebagaimana yang telah berjalan selama ini,” ujar Presiden.
Sikap pemerintah ini, menurut Presiden, diambil setelah mempelajari naskah RUU usulan DPR serta mengikuti masukan-masukan masyarakat, baik dari pegiat antikorupsi, akademisi, mahasiswa, maupun tokoh-tokoh bangsa yang menemui Presiden.
Kendati demikian, kenyataannya, masyarakat umum, pegiat antikorupsi, serta akademisi sudah secara luas menyatakan penolakan atas revisi UU KPK ini. Komisioner KPK pun menolak revisi ini.
Ketua KPK Agus Rahardjo secara tegas menyatakan revisi UU KPK akan memperlemah KPK secara institusional ataupun pemberantasan korupsi di Indonesia.
Penolakan juga disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia Mgr Ignatius Suharyo, dan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia Gomar Gultom, Sabtu (7/9/2019).
Namun, Presiden Jokowi mengabaikan masukan-masukan tersebut dan mengirimkan surat presiden, Rabu (11/9/2019). Badan Legislatif DPR pun segera mempercepat pembahasan RUU KPK dengan menggelar rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly sehari setelahnya. Dalam rapat kerja, Menkumham menyampaikan pandangan dan pendapat Presiden atas revisi UU KPK.
Dalam rapat kerja tersebut, rapat sekaligus memutuskan untuk membahas dua rancangan aturan lainnya, yakni RUU Peraturan Pembentukan Perundang-undangan revisi UU No 12/2011 serta RUU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD revisi UU No 2/2018. DPR pun menilai, tidak diperlukan lagi masukan publik dalam pembahasan revisi UU KPK.