Buntut Sengketa Dagang, Selandia Baru Menunggu Indonesia Merevisi Aturan
›
Buntut Sengketa Dagang,...
Iklan
Buntut Sengketa Dagang, Selandia Baru Menunggu Indonesia Merevisi Aturan
Pemerintah Selandia Baru merasa belum cukup dengan revisi peraturan di tingkat kementerian Indonesia sebagai bentuk kepatuhan terhadap Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia atau DSB WTO.
Oleh
MARIA PASCHALIA JUDITH JUSTIARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah Selandia Baru merasa belum cukup dengan revisi peraturan di tingkat kementerian Indonesia sebagai bentuk kepatuhan terhadap Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia atau DSB WTO. Selandia Baru menantikan revisi aturan setingkat Undang-Undang.
Dalam setahun terakhir, pemerintah telah merevisi sejumlah peraturan setingkat kementerian sebagai konsekuensi kekalahan Indonesia dalam sengketa perdagangan, salah satunya dengan Selandia Baru (nomor kasus DS 477). "Kami menunggu komitmen Indonesia (untuk patuh) kepada WTO. Kami lihat, masih ada sejumlah aturan yang belum disesuaikan," kata Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia Jonathan Austin saat ditemui di Jakarta, Jumat (13/9/2019).
Menurut Jonathan, pemerintah mesti menyesuaikan regulasi tersebut agar konsumen Indonesia memiliki beragam pilihan di pasar. Hal ini lumrah dalam perdagangan bebas. Sebagai pembanding, jumlah produk Selandia Baru di pasar Indonesia hanya mencapai setengahnya dibandingkan pasar Singapura.
Awalnya, Selandia Baru menilai aturan impor Indonesia tidak sesuai dengan prinsip perdagangan bebas dalam WTO, khususnya untuk produk hortikultura serta hewan dan turunannya. Pada Mei 2014, Selandia Baru melaporkan pada WTO terkait produk tersebut.
Tak hanya peraturan setingkat meteri, melalui laporan itu, Selandia Baru menyatakan keberatan dengan sejumlah UU di Indonesia. Aturan tersebut antara lain UU Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU Nomor 13 Tahun 2010 tentang Hortikultura, UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, dan UU Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
Australia, Brasil, Kanada, Cina, Uni Eropa, India, Jepang, Norwegia, Paraguay, Singapura, Taipei, Argentina, Korea Selatan, dan Thailand menjadi pihak ketiga yang mendukung Selandina Baru sepanjang keberjalanan sengketa perdagangan tersebut. Amerika Serikat (AS) pun turut menyengketakan Indonesia dengan keberatan sama dalam kasus bernomor DS 478.
Pada November 2017, WTO menyimpulkan ada 18 poin hambatan yang ditimbulkan oleh aturan-aturan Indonesia sesuai dengan laporan keberatan dari Selandia Baru. Ke-18 poin hambatan tersebut terbagi menjadi tiga poin utama, yakni perizinan impor produk hortikulturan, perizinan impor hewan dan produk hewan, serta pemenuhan kebutuhan domestik dari produk dalam negeri.
Indonesia kini tengah dalam proses penyesuaian poin-poin yang membuat Selandia Baru keberatan. Sebelumnya, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan, Indonesia telah mematuhi 17 poin. Satu poin lagi berkaitan dengan keharusan revisi UU.
Dalam mematuhi 17 poin tersebut, Indonesia telah merevisi aturan-aturan yang berada di tingkat kementerian. Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengatakan, regulasi-regulasi hasil revisi itu salah satunya adalah Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan serta Permendag Nomor 44 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura.
Apabila Selandia Baru menilai Indonesia belum patuh terhadap rekomendasi WTO, Pradnyawati mengatakan, kedua negara telah menyepakati sequencing agreement. Artinya, Selandia Baru berhak mengajukan panel kepatuhan (compliance panel) yang berupa sidang di DSB WTO untuk menaksir kesesuaian implementasi dengan rekomendasi WTO.
Kementerian Perdagangan mencatat, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dengan Selandia Baru sebesar 321,6 juta dollar AS sepanjang 2018. Nilai ekspor Indonesia ke Selandia Baru mencpai 490,6 juta dollar AS sedangkan nilai impornya 808,4 juta dollar AS.