Taiwan Bujuk Kepulauan Solomon Tak Berpaling ke China
›
Taiwan Bujuk Kepulauan Solomon...
Iklan
Taiwan Bujuk Kepulauan Solomon Tak Berpaling ke China
Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mendesak Kepulauan Solomon tidak mengalihkan kesetiaan diplomatiknya kepada China. Hal itu disampaikan karena negara tersebut tampak mempertimbangkan menjalin hubungan ekonomi dengan Beijing.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
TAIPEI, JUMAT — Presiden Taiwan Tsai Ing-wen mendesak Kepulauan Solomon untuk tidak mengalihkan kesetiaan diplomatiknya kepada China. Permintaan ini disampaikan karena negara Pasifik Selatan itu tampak mempertimbangkan untuk menjalin hubungan ekonomi dengan Beijing. Pemerintah Kepulauan Solomon menyatakan hubungan diplomatiknya dengan Taiwan akan berlanjut dengan baik.
Kepulauan Solomon adalah satu di antara 17 negara yang mempertahankan hubungan resmi dengan Taiwan. Namun, Perdana Menteri Manasseh Sogavare telah berjanji untuk meninjau kembali hubungan tersebut.
Beijing telah merebut hubungan lima negara sekutu diplomatik dari Taipei sejak terpilihnya Presiden Taiwan Tsai Ing-wen pada 2016. Hal itu menjadi bagian dari langkah Beijing mengisolasi Taiwan. Partai pendukung Tsai menolak menerima bahwa Taiwan adalah bagian dari ”satu China”.
Taiwan berupaya mencegah kehilangan sekutu diplomatik lainnya. Pekan lalu, Pemerintah Taiwan pun memperingatkan, ”janji-janji palsu” China untuk membangun infrastruktur telah mendorong negara-negara Pasifik lain ke dalam ”perangkap utang”. Pada awal pekan ini, Tsai mengatakan kepada Menteri Luar Negeri Kepulauan Solomon yang sedang berkunjung, Jeremiah Manele, bahwa Taiwan adalah mitra yang bertanggung jawab dalam komunitas internasional.
Dia menyerukan ”dukungan berkelanjutan” Solomon dan menegaskan bahwa Taiwan akan bekerja dengan negara itu untuk ”lebih meningkatkan hubungan bilateral”.
Sejumlah anggota parlemen dan kelompok lainnya di Kepulauan Solomon mendesak agar pemerintah mereka beralih ke China.
Manele mengatakan pada konferensi pers saat itu bahwa Solomon ”menghargai hubungan persahabatan, kaya dan progresif” dengan Taiwan. Ia mengatakan, peninjauan itu adalah bagian dari penilaian yang lebih luas dalam skala global.
”Seperti dalam demokrasi apa pun, tidak ada pendapat tunggal tentang ini... bagi kami pada dasarnya mencoba melihat apa yang menjadi kepentingan terbaik terkait kebijakan luar negeri kita ke depan,” ujar Collin Beck, sekretaris tetap di perdagangan luar negeri dan Kementerian Luar Negeri Solomon. ”Suatu saat ini bisnis seperti biasa bagi kita,” katanya.
Terdata hanya kurang dari setengah populasi Solomon yang memiliki akses ke listrik dan sangat bergantung pada bantuan asing. Perdebatan soal dukungan itu pun menawarkan kesempatan untuk menimbang janji-janji dukungan, baik dari sisi Taipei maupun Beijing. Sejumlah anggota parlemen dan kelompok lain di Kepulauan Solomon mendesak agar pemerintah mereka beralih ke China, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia.
Taiwan secara de facto memiliki pemerintahan sendiri selama tujuh dekade terakhir. Namun, Beijing melihat Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang ingin disatukan kembali dengan China, bahkan dengan kekerasan jika perlu. Komite hubungan luar negeri parlemen Kepulauan Solomon menerima pengajuan tentang masalah Taiwan-China itu sampai akhir bulan ini dan memiliki batas waktu 31 Oktober untuk melaporkannya kepada legislatif.
Kementerian Luar Negeri Kepulauan Solomon mengatakan, tidak ada keputusan yang dibuat dan masalah itu tidak akan diselesaikan sampai kabinet meninjau secara khusus laporan gugus tugas terkait hal itu. Negara-negara seperti Australia dan Amerika Serikat khawatir terhadap langkah Beijing didorong oleh tujuan jangka panjang untuk mendirikan pangkalan militer di negara-negara pulau di Pasifik Selatan.
Menteri Pertahanan AS Mark Esper, bulan lalu, menuduh China membuat kestabilan di kawasan itu dengan menggunakan aneka taktik. Esper menyebut Beijing menggunakan taktik ekonomi yang ganas dan kesepakatan utang demi sebuah kedaulatan. Namun, Duta Besar China untuk Samoa Chao Xiaoliang menyebut para kritikus itu ”bodoh” dan ”berprasangka”. (AFP/REUTERS)