Tanda Awal Melemahnya KPK?
Di hadapan Komisi III DPR, mayoritas capim KPK menyatakan sikap setuju atas revisi Undang-Undang KPK. Ada pula calon yang mengkritik lembaga ini dan mengibaratkannya bagai orang mabuk berjalan tak pernah sampai tujuan.
Negeri ini masih berduka kehilangan sosok inspirasional, Presiden ke-3 Bacharuddin Jusuf Habibie yang berpulang pada Rabu (11/9/2019). Pada saat yang bersamaan, warisan yang pernah diamanatkan Habibie berupa penyelenggara negara yang bersih dari korupsi, kolusi, nepotisme, serta pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi terancam tinggal kenangan.
Dalam pemerintahannya yang singkat, Habibie mampu membuat peninggalan baik bagi bangsa dan negaranya. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN diikuti UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang di dalamnya memuat amanat pembentukan KPK terwujud karena Habibie.
Namun kini, KPK yang menjadi garda depan pemberantasan korupsi terancam mati suri. Masyarakat sipil mempersoalkan beberapa hal, mulai dari pemilihan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK 2019-2023, 10 nama calon yang dikirim Presiden Joko Widodo ke DPR, hingga surat presiden terkait Rancangan Undang-Undang KPK yang isinya dinilai akan melemahkan KPK.
Persetujuan terhadap revisi UU KPK yang tengah dibahas sudah dinyatakan juga oleh anggota Komisi III sebagai salah satu pertimbangan utama untuk meloloskan capim. Revisi UU KPK pun menjadi bahan uji dari Pansel KPK 2019-2023.
Diikat dengan kontrak politik bermeterai oleh Komisi III DPR, dalam uji kelayakan dan kepatutan yang diselenggarakan Rabu dan Kamis (11-12/9/2019), para calon pimpinan pun ramai-ramai menyetujui revisi UU KPK dan menyampaikan janji-janji sesuai keinginan para wakil rakyat. Kontrak itu juga disertai klausul sanksi. Jika para calon terpilih melanggar kontrak itu ketika sudah menjabat, yang bersangkutan harus bersedia mengundurkan diri dari jabatan dan bersedia dituntut secara hukum.
Para calon diwajibkan menepati janji dan melaksanakan semua hal, baik lisan maupun tertulis, yang mereka sampaikan selama proses seleksi di Panitia Seleksi Capim KPK dan Komisi III DPR. ”Kami mau evaluasi apakah para calon ini bisa dipegang atau tidak ucapannya. Ini alat untuk mengontrol ucapan mereka, bukan melemahkan,” kata Wakil Ketua Komisi III dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa.
Padahal, anggota DPR diduga telah mengantongi nama-nama komisioner KPK periode 2019-2023 jauh sebelum uji kelayakan dan kepatutan digelar. Tahapan ini juga diduga hanya formalitas. Nama salah satu calon, Firli Bahuri, bahkan disebut oleh para anggota Komisi III DPR sebagai ”calon ketua KPK”.
”Ya sudahlah. Biasa itu di DPR,” ujar anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Masinton Pasaribu.
Saat giliran Firli diuji kelayakan dan kepatutannya, beberapa anggota Komisi III DPR bahkan tak segan langsung menyampaikan akan memilihnya seperti yang diungkapkan wakil dari PDI-P, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Kebangkitan Bangsa, Nasdem, dan Partai Persatuan Pembangunan. Begitu pula dengan Gerindra memberi sinyal positif. ”Insya Allah, suara saya satu untuk Pak Firli,” ujar wakil dari PAN, Waode Nur Zaenab, yang pernah menjadi kuasa hukum untuk tersangka KPK, Lucas.
Tepuk tangan pun membahana di ruang Komisi III saat Firli menyelesaikan uji kelayakan dan kepatutan. Hal yang sama tak terjadi untuk calon lain.
Mengkritik KPK
Sementara para capim lain ibarat berusaha menyenangkan hati calon mertua. Nawawi Pomolango yang membuka tahapan ini pada hari pertama banyak mengkritik kedudukan dan kinerja KPK selama ini. Ia bahkan menyebut KPK seperti orang mabuk yang baru pulang ”dugem” tengah malam, yang berjalan sempoyongan dan tidak pernah sampai tujuan, untuk menyindir skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang stagnan.
Ucapan Nawawi mengundang gelak tawa anggota Dewan. Lebih ekstrem, Nawawi juga membandingkan nasib KPK dengan lembaga antirasuah di Korea Selatan, Anti Corruption and Civil Rights Commission (ACRC). Lembaga itu dulunya memiliki fungsi penindakan, tetapi kewenangannya dipangkas sampai sisa pencegahan. ”Indeks persepsi korupsi Korea melambung karena konsentrasi pada pencegahan saja,” ujarnya.
Mengacu pada data Transparency International, sejak lembaga antikorupsi Korea Selatan berubah hanya mencegah korupsi tanpa menindak pada 2008, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Korea menjadi tidak stabil. Pada 2008, skor IPK Korea Selatan 56, turun menjadi 55 pada tahun berikutnya dan 54 pada 2010. Skor IPK Korea kembali ke angka 56 pada 2018. Padahal, sebelum berubah menjadi komisi pencegahan korupsi, skor IPK Korsel naik tajam dari 51 pada 2007 menjadi 56 pada 2008.
Nawawi juga menyetujui substansi revisi UU No 30/2002 tentang KPK, terutama terkait kewenangan penghentian penanganan perkara, mengubah status kepegawaian KPK sebagai aparatur sipil negara, serta perekrutan penyelidik dan penyidik KPK dari Polri dan PPNS saja. Padahal, saat uji publik dengan Pansel KPK, Nawawi berpendapat berbeda.
Persetujuan substansi revisi UU KPK ini juga disampaikan para capim lain. Jaksa Johanis Tanak, misalnya, menyetujui poin penghentian perkara, pegawai KPK menjadi ASN, hingga keberadaan Dewan Pengawas. Hanya Sigit Danang Joyo dari Kementerian Keuangan yang menyepakati revisi UU KPK, tapi poinnya justru bertentangan karena penghentian perkara boleh dilakukan dengan kondisi terbatas, yakni saat tersangka sakit keras atau meninggal dan bukan menjadi diskresi penyidik.
Sementara itu, Alexander Marwata yang kini masih menjabat sebagai pimpinan dan diuji pada hari kedua mengaku setuju dengan pemberian kewenangan penyidikan perkara. Khusus untuk pasal yang membolehkan pimpinan dan pegawai KPK tetap dapat bertemu dan berhubungan dengan orang, termasuk pihak beperkara, ia pun setuju asal pertemuan terjadi tanpa disengaja.
Terkait dengan konferensi pers pelanggaran etik yang dilakukan capim lain, yakni Firli Bahuri, Marwata mengkritik pimpinan KPK lainnya. ”Tidak ada dasarnya (konferensi pers pelanggaran etik Firli). Adanya hanya rekomendasi Dewan Pertimbangan Pegawai. Saya juga tidak tahu ada rencana konpers itu,” ujar Alexander.
Ini bertolak belakang dengan pernyataan resmi Ketua KPK Agus Rahardjo yang menyatakan semua pimpinan mengetahui, tapi dua pimpinan tak menyetujui sedangkan tiga lainnya setuju. Karena itu, konferensi pers tetap berjalan.
Sia-sia
Dosen Ahli Pidana Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, yang juga pernah duduk dalam jajaran Pansel KPK pada 2011 menyayangkan proses krusial untuk masa depan KPK yang justru menjadi barter politik. Sebaliknya, langkah pemberantasan korupsi dan nasib bangsa dipertaruhkan.
”Ini jelas buang waktu, buang biaya, buang pikiran karena sudah ditentukan sejak jauh hari, lalu buat apa dilakukan uji seperti ini,” ungkap Akhiar.
Di tengah proses ini, rapat diam-diam di Badan Legislasi dengan Menteri Hukum dan HAM membahas RUU KPK pun dilakukan.
Akankah hilang warisan dari Habibie yang dibesutnya 20 tahun silam pascareformasi. Mungkin pemberantasan korupsi memang tak lagi dikehendaki.
(Agnes Theodora/Riana A IBrahim)